23 February 2007

"SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN" KRITIK KORUPTOR

MEMBACA naskah kuno (pengertian naskah adalah sebuah karya tulis tangan di atas media daluang, lontar, atau media lain) adalah membaca masa lalu atau bisa juga disebut memahami budaya masa itu, yakni masa ketika naskah tersebut dibuat. Memahami budaya pada dasarnya memahami inti dari budaya itu sendiri yang berupa nilai-nilai dan konsep konsep dasar yang memberikan arah bagi bermacam tindakan, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kolektif.
Tersebutlah sebuah naskah Sunda kuno yang disebut Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK). Naskah ini tidak diketahui siapa penulisnya, ditulis dalam aksara Sunda kuno, dan menyebutkan tahun penulisannya melalui candra sengkala yang berbunyi nora (0) catur (4) sagara (4) wulan (1), yang berarti tahun 1440 Saka (1518 M). Naskah ini ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Pada dasarnya, isi naskah ini memberikan gambaran tentang ajaran moral umum untuk kehidupan masyarakat pada masa itu.
Sezaman dengan SSK, Tome Pires, orang Portugis yang mengunjungi Pajajaran antara tahun 1513-1515 menyebutkan, keadaan di Pajajaran sudah ramai, rumah-rumah yang kokoh bertiang kayu beratap rumbia. Menurutnya juga, Pajajaran mempunyai enam pelabuhan (bandar) yaitu Bantan (Banten), Pomdam (Pontang), Cheguide (Cikande), Tangaram (Tangerang), Calapa (Kalapa) dan Chemano (Cimanuk), pelabuhan yang paling timur. Perdagangan telah maju, berupa komiditas kain, hasil pertanian, rempah-rempah, dan lain-lain. Begitu pun persentuhan antarbudaya telah terjadi akibat perdagangan di pelabuhan pelabuhan tersebut didatangi oleh berbagai bangsa.
Keadaan Pajajaran demikian, tentu saja memerlukan tuntunan barupa aturan-aturan yang harus diketahui dan dipatuhi oleh warganya, yang di antaranya dimuat di dalam SSK. Mulai dari yang sederhana sampai aturan hubungan antarwarga, walaupun aturan itu lebih bersifat keagamaan.
Aturan sederhana misalnya: "...bila kita pulang ke kota, jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah di ujung bagian yang tidak berumput, agar tidak tercium oleh menak dan gusti". Di bagian lain dituliskan cara buang air besar harus tujuh langkah dari pinggir jalan, dan apabila buang air kecil harus tiga langkah dari pinggir jalan. Nampaknya, saat itu belum dikenal adanya pacilingan (toilet), atau masyarakat saat itu tidak memedulikan kebersihan, membuang hajat besar maupun hajat kecil dilakukan dengan sembarangan sehingga aturannya dianggap perlu dimuat di dalam SSK, supaya menjadi pedoman bagi masyarakat banyak.
Hal lain yaitu tentang kritik. Di dalam SSK disebutkan, "kalau ada yang mencela (mengkritik) kepada kita, terimalah kritik orang lain itu, yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita sedang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian, ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit bagaikan datang orang meminyaki, ibarat kita sedang lapar bagaikan datang orang yang memberi nasi, ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantarkan minuman."
Keterbukaan dan penyikapan atas sebuah kritik telah ditulis sejak masa lalu oleh leluhur orang Sunda. Sikap jembar manah (berbesar hati) sangat diperlukan saat menerima kritik. Jadi, sangat tidak beralasan apabila ada orang Sunda yang dikritik bersikap seperti orang kebakaran jenggot, tentu saja kritik yang diperlukan adalah kritik yang beralasan dan tidak bersifat mencaci maki.
Korupsi di Jawa Barat (Tatar Sunda), menurut dugaan beberapa orang, masih marak. Malah ada yang menyebutkan Jawa Barat adalah provinsi nomor satu paling korup.
Di dalam SSK ada istilah nyangcarutkeun (mengkhianati). Yang dimaksud nyangcarutkeun adalah mipit mo amit (memetik tanpa izin), ngala mo menta (mengambil tanpa meminta), ngajuput mo sadu (memungut tanpa memberi tahu), maka nguni tu tumumpu, maling, ngetal, ngabegal sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngaranna .
Peringatan akan perbuatan tidak baik, curang, khianat telah diberikan kebudayaan masa lalu, oleh kearifan lokal, dan relevan dengan kehidupan sekarang. Demikianlah sebagian kecil petikan yang dibaca dari naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian.***
Mamat Sasmita, pengelola toko buku Kaseundeuhan, matsasmita@telkom.net.

(Tulisan ini dimuat pada koran PR tgl 22 Pebruari 2007 pada Suplemen Kampus di rubrik Literasi
atau bisa diakses di :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/22/kampus/literasi.htm)
Tulisan ini mengalami editing dari Redaksi, tulisan aslinya bisa dibaca yang berjudul Nyangcarutkeun adalah....

1 comment:

Ojel/Yusandi said...

Hatur nuhun, Ua. Kaanggo pisan haturanna. Abdi rerencangan Sinta, kapungkur kantos ka bumi Ua. Insaaloh ke nganjang deui ka ditu. Rampes, rahayu. Assalamualaikum.