18 November 2010

CUKUP Rp 1 MILIAR SETAHUN


Oleh : MAMAT SASMITA

Kata Ganjar Kurnia, Rektor Universitas Padjadjaran, jumlah kesenian Sunda lebih kurang 300 jenis. Dari 300 jenis itu, 200 telah „wafat“ alias punah, 50 sedang sekarat akhir, 30 sekarat awal, 10 „ngos-ngosan“ dan hanya 10 jenis yang masih hidup. Hal tersebut disampaikan dalam sebuah seminar tentang etnopaedagogi dan pengembangan budaya Sunda di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, di penghujung bulan September 2010. Untuk mengatasi semakin banyaknya kesenian Sunda yang punah, menurut Ganjar Kurnia, sekolah harus dijadikan sebagai pusat kesenian. Anak didik diajak wanoh dan terlibat didalam mengembangkan kesenian. Siapa tahu suatu saat nanti setelah anak-anak menjadi inohong tidak akan lupa akan kesenian Sunda.
Perkara kesenian Sunda terancam punah dikatakan juga oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat. Katanya ada 355 kesenian Sunda (menurut Litbang Kompas ada 391), 40% terancam punah, 10% sudah punah. Mudah-mudahan yang 50% lagi masih hidup.

Punah bisa diartikan sebagai sesuatu yang telah (lama) hilang lenyap atau musnah. Kalau sebuah kesenian telah musnah, artinya tidak ada lagi yang mengetahui bentuk, cara menampilkan, alat apa yang dipergunakan dan sama sekali tidak ada dokumentasinya. Kalau memang seperti itu, apa mau dikata, relakan saja kepunahannya. Biarkan kesenian yang telah punah itu mengisi ceruk paling dalam relung hati sejarah tak tertulis bangsa Sunda.
Namun bagi kesenian Sunda yang sedang sakarat (terancam punah) perlu diupayakan bangkit dari kesekaratannya. Kesenian Sunda yang sedang sekarat bisa diartikan karena sudah bertahun-tahun tidak ada yang nanggap, padahal para pelaku kesenian tersebut mungkin masih ada.

Upaya tersebut meliputi, pertama, inventarisir dengan seksama semua jenis kesenian yang sedang sekarat, termasuk daerah asal kesenian tersebut. Kedua, mencari orang yang memahami satu jenis kesenian, melalui kerja sama dengan aparat desa atau kecamatan. Siapa tahu akan ditemukan seorang seniman yang paham dan tahu prak-prakanana.
Ketiga, apabila ditemukan seorang seniman yang paham dan tahu prak-prakanana, harus dibageakeun oleh Disparbud dan segera membuat nota kesepakatan. Isinya, antara lain, harus memperkenalkan kesenian tersebut ke sekolah terdekat dan di tempat tinggalnya harus ngamuridkeun, ngawariskeun elmuna, minimal selama satu tahun.

Adalah kewajiban Disparbud menyediakan atau membuat alat atas petunjuk dari yang bersangkutan. Disparbud harus memberi penghargaan berupa uang kadeudeuh, besarnya Rp 1 juta setiap bulan. Jangan sekali-kali ini dianggap gaji, tetapi harus dianggap sebagai salah satu langkah strategi untuk melestarikan kesenian Sunda.
Uang kadeudeuh ini akan sangat berarti bagi seniman untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Uang tersebut jangan sekali-kali dipotong satu sen pun oleh siapa pun. Perlihatkan bahwa pemerintah punya niat baik, penuh kejujuran dan dapat dipercaya. Dengan uang kadeudeuh tersebut diharapkan sang seniman atau kokolot kesenian dapat lebih memusatkan perhatiannya pada kesenian yang dipahaminya.

Perguruan Tinggi

Hal lain yang tidak kalah penting ialah harus ada pendamping, sebaiknya dari perguruan tinggi yang lebih menjurus kepada kesenian seperti Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Tugasnya memberikan peluang semakin luas akses seniman tersebut. Kalau perlu, pendamping membuat catatan pendokumentasian untuk menjadi sebuah buku lengkap tentang kesenian itu.
Selain itu Disparbud ada baiknya nanggap kesenian tersebut secara rutin bergantian setiap jenis kesenian. Tempat nanggap tak perlu gedung apalagi membangun gedung baru, tetapi cukup di halaman Gedung Sate. Bukankah Gedung Sate itu tempatnya pegawai pemerintah yang harus mengabdi kepada rakyat? Untuk itu berilah rakyat kebebasan untuk menatapnya, dengan menonton kesenian seminggu sekali yang digelar di halamannya.
Biasanya setiap kegiatan terbentur dengan biaya. Itu bila kegiatan dilaksanakan oleh perorangan. Karena Disparbud itu pemerintah mestinya biaya tidak masalah, asal masuk APBD. Biayanya tidak besar hanya Rp 1 miliar sertiap tahun. Rp 1 miliar itu kecil untuk harga kekayaan budaya sebuah bangsa. Apabila tidak bisa tahun ini, upayakan tahun berikutnya, yang penting ada upaya penuh kesungguhan.

Hal lain yang bisa ditempuh melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari perusahaan besar yang ada di Jawa Barat supaya menjadi bapak asuh yang asih. Perusahaan besar itu jangan direpotkan oleh pendataan awal. Beri data yang akurat tentang jenis kesenian, lokasi dan pelaku keseniannya yang masih ada oleh Disparbud Jawa Barat. Himbauan menjadi bapak asuh kepada perusahaan besar di Jawa Barat, akan semakin peurahan bila dilakukan oleh gubernur yang mencintai kesenian Sunda.

Penggunaan Rp 1 miliar sebagai berikut, sebut saja kesenian yang sedang sekarat ada 50 jenis. Kokolot setiap jenis kesenian diberi uang kadeudeuh Rp 1 juta setiap bulan, satu tahun hanya menghabiskan Rp 600 juta. Sisanya untuk keperluan pendamping dan penyediaan alat kesenian apabila diperlukan. Bandingkan dengan biaya makan minum pejabat di sebuah kabupaten dalam setahun atau biaya makan minum pejabat di provinsi, barangkali lebih besar.

Terdokumentasi

Menurut Kepala Disparbud Jawa Barat, kesenian Uyeg dari Sukabumi telah hilang, tetapi telah terdokumentasi melalui buku Sanghyang Raja Uyeg dari Sakral ke Profan karya Arthur.S. Nalan (Humaniora Utama Press, 2000). Setidaknya melalui buku itu dapat ditelusuri keberadaannya dan yang penting pelaku keseniannya masih ada (Anis Jatisunda). Mungkin jenis kesenian yang lain juga seperti itu.
Memang diperlukan keikhlasan, kejujuran dan kerja cerdas untuk menanganinya. Kata para ahli, kebudayaan lokal (tradisional) akan semakin mengarah ke tepi zaman bila tidak sanggup merespon tantangan zaman yang semakin mengglobal.

Bukan hanya itu, tetapi ada tantangan lain contohnya dalam karawitan Sunda terutama dalam hal titilaras (tangga nada), seperti yang terungkap dalam buku Laras Pada Karawitan Sunda karya Mariko Sasaki (p4st UPI, 2007). Di bagian kesimpulan butir 3 (hal 241), Mariko Sasaki menyebutkan : „Oleh karena itu teori Machyar Kusumadinata tentang ketiga laras [Di Sunda, gamelan salendro melahirkan laras pelog (pelog degung) maupun laras sorog] dapat dikatakan keliru, maka perlu didekonstruksi dan sebaiknya tidak diajarkan di kalangan sekolah“.
Pernyataan Mariko Sasaki ini direspons oleh Priadi Dwi Hardjito (dosen STSI Bandung) yang mengatakan karawitan Sunda dalam ancaman „Mun teori Machyar dirakrak bakal ngarakrak kalembagaan akademik seni Sunda jeung umumna budaya Sunda“ Priadi juga menambahkan bahwa urang Sunda kudu beunta (MajalahCupumanik No.81 April 2010).
Alangkah eloknya bila Disparbud Jawa Barat mengadakan seminar tentang titilaras Sunda, untuk menyikapi pernyataan Mariko Sasaki. Hasil seminar sebaiknya dijadikan buku. Buku dilawan dengan buku, penelitina dilawan dengan penelitian. Viva urang Sunda!

MAMAT SASMITA
Pengelola Rumah Baca Buku Sunda, Bandung.
(Dimuat di Kompas Jabar Kamis 18 Nopember 2010, rubrik Riungan)