30 October 2009

TOILET UMUM DI BANDUNG

Oleh : MAMAT SASMITA

Cobalah tengok toilet umum yang ada di ruang publik, bisa di terminal bus atau di stasiun kereta api, di Kota Bandung ini. Kesan pertama yang timbul adalah jorok, tidak diurus dengan baik. Sepertinya semakin mengukuhkan bahwa kita adalah masyarakat negara sedang berkembang, masyarakat dunia ketiga yang identik dengan serba kekurangan dan serba jorok.

Pengunjung yang kebelet ingin buang air kecil atau hajat besar dipaksa menyerah kepada situasi yang tidak ada pilihan. Dipaksa harus menyerah. Di tempat jorok itulah mereka melaksanakan hajatnya dengan tidak nyaman.

Padahal, untuk mengurus toilet saja tidak perlu menunggu menjadi negara maju dulu, tidak perlu menunggu menjadi negara modern dulu. Dengan biaya yang tidak terlalu besar sudah dapat dibuat toilet yang bersih dan nyaman. Uruslah dengan baik. Untuk pemeliharaannya, bukankah pengunjung yang menggunakan harus membayar. Jangan dibiarkan kesan jorok itu terus menempel di ingatan pengunjung Kota Bandung.

Persamaan kata jorok dalam bahasa Sunda adalah odoh, lodro, ledrek, botrok, dan jorok itu sendiri yang artinya tidak mengindahkan urusan kebersihan. Odoh, lodro, dan ledrek lebih cenderung kepada cara memakai baju yang jarang dicuci, sedangkan botrok lebih cenderung kepada kebersihan anak, umpamanya anak flu yang ingusnya tidak dibersihkan atau kalau mau makan, tidak mencuci tangan dulu. Lawan kata odoh, botrok, lodro, dan jorok adalah berseka.

Hadirnya sebuah kata dalam suatu bahasa menandakan kata tersebut dimengerti maknanya dan keadaan itu, dalam hal ini keadaan lodro atau jorok, terjadi pada masyarakat pengguna bahasa tersebut. Ironisnya, keadaan jorok itu masih tampak sampai sekarang, setidaknya masih tecermin pada kondisi toilet umum di Tatar Sunda atau khususnya di Kota Bandung.

Perihal toilet ini, ada baiknya membaca kembali naskah Sunda kuno, yaitu naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) yang dibuat pada tahun 1518 M. Pada akhir Bab IX dan pada awal Bab X, di situ disebutkan, apabila pulang ke kota jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah di ujung bagian yang tidak berumput, agar tidak tercium baunya oleh menak dan gusti (pejabat dan raja).

Masih menurut SSK, sebaiknya berak itu tujuh langkah dari pinggir jalan, dan apabila kencing, sebaiknya tiga langkah dari pinggir jalan. Mengapa naskah SSK sampai harus memuat aturan ini? Setidaknya bisa ditafsirkan bahwa masyarakat saat itu sangat jorok dalam hal buang air besar atau buang air kecil. Sampai-sampai aturannya harus ditulis dalam sebuah naskah.

Hal ini sebenarnya hampir sama sampai pada dekade tahun 1970 di daerah pinggiran, atau di daerah terpencil bila akan buang hajat besar, cukup pergi ke reuma (hutan perdu). Hampir tak bisa dipercaya dalam rentang waktu lebih kurang 450 tahun, dari SSK ditulis sampai dekade 1970, kondisinya hampir tidak berubah dalam hal buang hajat besar. Mungkin menurut ukuran masyarakat saat itu, hal tersebut bukan hal jorok, sebaliknya menurut ukuran masyarakat sekarang atau masyarakat perkotaan, hal itu sangat jorok.

Masyarakat urban

Kota Bandung sarat dengan masyarakat urban, masyarakat dari luar Kota Bandung, baik rakyat biasa maupun pejabatnya. Mungkin saja pikiran masa lalu, pikiran arkeologis, masih menempel kuat dengan tidak disadarinya tak peduli kepada pejabat sekalipun. Toilet di ruang publik disamakan dengan reuma atau pacilingan atau tampian di tempat asalnya.

Pacilingan adalah tempat buang hajat besar. Tempat itu biasanya dibuat di pinggir kali atau kali itu sendiri sebagai pacilingan, atau dibuat di atas kolam yang tidak terlalu memerlukan pemeliharaan kebersihan. Sebab, konsepnya adalah porocot leos, bila sudah selesai, langsung ditinggalkan (pola air mengalir).

Tampian adalah pemandian umum. Tempatnya bisa di pinggir tebing yang ada sumber air alam (seke atau cai nyusu) atau di pinggir kali (walungan).

Di tampian biasanya ada pancuran, yaitu air yang mengalir terus-menerus dari bambu utuh yang ruasnya dilubangi. Di tampian ini pemeliharaan kebersihan pun hampir tidak ada walaupun kegiatannya hanya mandi serta mencuci baju dan perabot dapur.

Keberadaan pacilingan dan tampian tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakat Sunda sebagai peladang (ngahuma) dalam memilih tempat permukiman, yaitu daerah lengkob (daerah bagian bawah di antara dua bukit) yang ada sumber airnya, baik seke maupun sungai. Ini bisa dilihat di beberapa kampung adat, seperti Kampung Naga dan Kampung Kuta.

Sesuai pola masyarakat yang ngahuma, jumlah pemukim pun tidak banyak, hanya berupa keluarga dekat sehingga pacilingan dan tampian tidak perlu di setiap rumah, cukup satu dipakai bersama-sama. Tampian merupakan salah satu tempat bersosialisasi satu dengan yang lain. Cerita dan gosip kaum perempuan muncul saat menunggu mandi atau saat sedang mencuci perabot dapur. Apabila daerahnya gersang atau saat kemarau tiba air tidak mengalir deras, buang hajat besar cukup di reuma.

Budaya membersihkan

Di Bandung pun keberadaan toilet di rumah pribadi umumnya belum terlalu lama kecuali di hotel dan rumah-rumah gedongan atau rumah bekas Belanda. Kemunculan toilet di rumah pribadi sejalan dengan maraknya kompleks perumahan yang dibuat pengembang perumahan sekitar awal tahun 1980. Sebelumnya masih banyak sumur galian sebagai sumber air yang dilengkapi dengan tempat mandi, cuci, dan kakus yang dipakai bersama-sama.

Hal itu memunculkan istilah batur sasumur sebagai kata lain dari tetangga dekat. Tanggung jawab pemeliharaan kebersihan lebih kepada kesadaran masing-masing pengguna. Tidak ada ketentuan khusus, apalagi hukuman apabila melanggarnya. Dengan demikian, adalah hal wajar bila toilet umum selalu berkesan jorok. Ini karena budaya membersihkan hampir tidak ada.

Sebagai kado menjelang ulang tahunnya ke-200, tahun depan, Kota Bandung sudah saatnya merenovasi toilet umum yang jorok menjadi toilet umum yang bersih dan nyaman di semua ruang publik. Pekerjaan ini bukan pekerjaan besar dan mahal, tidak perlu debat bernuansa politik di DPRD, tidak perlu lobi ke setiap fraksi, tidak perlu menghitung angka yang rumit di APBD, dan tidak perlu membentuk Bandung Water Closet Watch (BWCW). Cukup dengan menjentikkan jari kelingking wali kota tanda setuju, bersih dan nyamanlah toilet umum.

Yang juga penting adalah pemeliharaan kebersihannya berkesinambungan. Sudah saatnya mengikis habis pikiran arkeologis yang jorok itu, baik dari penjaga toilet umum maupun dari pejabat. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman. Hidup Bandung Berseka supaya Bermartabat.

MAMAT SASMITA

Penggiat Rumah Baca Buku Sunda

(Dimuat di rubrik Forum Kompas Jabar tanggal 30 Oktober 2009)