27 January 2009

MENGKAJI HAJI HASAN MUSTAPA ,DULU DAN KINI

LAPORAN SEMILOKA

Haji Hasan Mustapa (HHM) adalah ulama besar sekaligus sastrawan Sunda besar yang karya-karyanya mewarnai khasanah Sastra Sunda. HHM lahir tahun 1852 di Garut dan bermukim lama di Mekah untuk belajar agama. Pada tahun 1882 Haji Hasan Mustafa meninggalkan Mekah, karena dipanggil oleh RH. Muhammad Musa, penghulu Garut pada masa itu. Ia dipanggil pulang untuk meredakan ketegangan akibat perbedaan paham di antara para ulama di Garut. Berkat usaha Haji Hasan Mustafa dan bantuan RH. Muhammad Musa, perselisihan itu dapat diredakan. Karena pengetahuan agamanya yang luas, Tahun 1889 Snouck Hurgronje memintanya untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Ketika itu Snouck Hurgronje adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang masalah Bumiputra dan Arab. Ia menjadi pembantu Snouck Hurgronje selama 7 tahun. Atas usul Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda mengangkat Haji Hasan Mustafa menjadi kepala penghulu di Aceh pada tanggal 25 Agustus 1893. Jabatan kepala penghulu di Aceh dipegangnya selama 2 tahun (1893-1895). Kemudian pada tahun 1895 ia kembali ke Bandung dan menjadi penghulu Bandung selama 23 tahun. Akhirnya pada tahun 1918, atas permintaannya sendiri ia memperoleh pensiun. Selama hidupnya HHM banyak menulis dangding dalam bahasa Sunda. Isi dari dangding tersebut banyak yang menganggap dominan bernuansa tasawuf.
Untuk membahas karya HHM tersebut diadakan semiloka pada hari Rabu tanggal 21 Januari 2009 di UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Terselenggaranya semiloka ini berkat kerjasama tiga lembaga yaitu PSS (Pusat Studi Sunda), UIN SGD dan Monash University Australia. Dengan pembicara HW Setiawan yang membahas dari sisi Sastra (Sunda), Ahmad Gibson Al-Bustomi yang membahas sisi tasawuf, Ruhaliah yang memberikan pengalaman mentransliterasi naskah karya HHM (dari pegon ke latin), Mukhlas yang membahas dari sisi filsafat bahasa, Julian Millie yang menganggap penting adanya kegiatan peringatan tokoh masayarakat dari sisi antroplogi dan Al-Fathri yang membahas dari sisi filsafat.
Filolog pada dasarnya adalah pembuka jalan untuk meneliti naskah-naskah (kuno), hal ini dikemukan oleh Ibu Ruhaliah, soal isi akan diteliti melalui disiplin ilmu apapun itu bisa dilaksanakan tentunya setelah proses transliterasi selesai. Naskah HHM hampir seluruhnya memakai aksara Arab (pegon). Transliterasi naskah HHM memerlukan kemahiran membaca aksara Arab sekaligus dituntut kemahiran berbahasa Sunda. Terdapat ciri tersendiri misalnya penulisan tanda vokal, e, o e dan eu, atau pada konsonan seperti aksara ny, ng atau c. Kesulitan mulai timbul apabila kondisi naskah tidak jelas atau sudah mulai lapuk. Yang dilakukan Ibu Ruhaliah lebih banyak melakukan transliterasi bukan langsung dari naskah aslinya tetapi dari mikrofilm. Pembacaan dari mikrofilmpun tidak mudah, selain ada bagian tertentu yang kurang jelas tetapi juga alat untuk membacanya sangat langka, kalaupun ada yang menjadi monitornya terasa tingkat radiasinya masih tinggi, diperlukan teknik tersendiri untuk mengatasinya. Walaupun selama proses transliterasi bukan bertujuan untuk meneliti isi atau kandungn dari naskah tersebut, tetapi karena bersinggungan langsung mau tidak mau membaca isinya. Dari pengamatan Ibu Ruhaliah isi dari naskah HHM terdiri dari beberapa genre ada prosa, puisi, campuran prosa dan puisi dan prosa percakapan. Ciri naskah HHM diujung naskah sebagian besar ada cap kepanghuluan, penomoran halaman ada yang setiap halaman ada juga setiap dua halaman. Disamping itu HHM selalu memberikan petunjuk mengenai jumlah bait pada setiap teks. Hal ini cukup memudahkan dalam proses transliterasi, untuk menghindari ada yang terlewat. Ada juga naskah yang menggunakan tanda ralat tambahan, tetapi dari setiap naskah tidak ditemukan iluminasi.
Mengingat kebanyakan hasil karya HHM dalam bentuk dangding, HW Setiawan melihat sebagai karya sastra Sunda yang mempunyai keunikan tersendiri. Yang dibahas HW sebatas bentuk dangdingnya tidak merambah kepada isi dangding, hal ini menurut HW isi lebih pas kalau diteliti oleh ahli dalam bidang teologi Islam. HW merasakan ketika mendekati dangding HHM tiada bedanya mendekati arus kali, ada keinginan menyentuhnya tetapi satu sisi ada perasaan takut terbawa arus, itu alasan yang dikemukakan untuk tidak menyentuh isi. Dangding merupakan puisi yang terikat aturan baku yang terpelihara secara turun temurun. Bagi HHM sebagai penyair mistik, begitu HW menyebutnya, ragam puisi itu sendiri bukanlah hal yang penting. Boleh jadi dia menggubah puisi itu bukan demi puisi itu sendiri, melainkan demi permenungan yang hendak disampaikan, nampaknya puisi itu lahir dengan sendirinya. Seperti mengepulnya uap dari jerangan air yang telah memanas. Bahasa Sunda yang sangat dikuasai oleh HHM. Bahasa yang terdiri kata-kata barangkali hanya kata yang mempunyai makna seperti yang tertera didalam kamus, bagi penyair mistik seperti HHM kata itu tidaklah cukup. Pada tititk ini penyair terlebih penyair mistik tergerak untuk menemukan idion baru dan mencipta metafora dengan demikian sedikit banyak memperbaharui bahasa itu sendiri. Dalam waktu yang relatif singkat HHM menghasilkan ribuan dangding, kiranya hal seperti itu mendudukan HHM sebagai penyair yang telah melewati kendala teknis persajakan. Disamping menguasai bahasa Sunda HHM juga sangat fasih berbahasa Arab, didalam dangdingnya banyak kata bahasa Arab, walaupun mungkin tetap memakai gramatika bahasa Sunda. Disamping itu terdapat uungkapan yang paradok seperti didalam dangding : Ngalantung memeh ngalantung/ ngalinjing memeh ngalinjing/ neangan memeh neangan/ nepi ka memeh indit/ datang samemeh iang/ indit samemeh mimiti. HW mengatakan ungkapan seperti terasa luar biasa, apabila membaca secara visual akan didapatkan sebuah lingkaran, dimana titik awal dalam tarikan garisnya sekaligus menjadi titik tujuan. HHM terkenal sebagai seorang ulama luhung, tetapi dia juga mengolah idiom-idiom yang tampak berasal dari pra-Islam.
Berbeda dengan HW, Ahmad Gibson dalam telaahnya langsung menembus ke jantungnya yaitu ngaguar Sasaka Di Kaislaman. Naskah karya HHM, Sasaka di Kaislaman, menceritakan tahapan-tahapan capaian atau maqomat yang terdiri dari tujuh tingkatan capaian. Yaitu maqomat Islam, Iman, Soleh, Ihsan, Sahadah, Sidikiah dan Qurbah. Pada dasarnya naskah ini mengungkap prosesi perjalanan kehidupan manusia dalam menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan dan kondisi tertentu baik internal mapun eksternal dirinya. Menurut Gibson , HHM secara dramatik menggelar proses dialog yang terjadi dalam diri manusia ketika menyikapi fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalaninya, menentukan pilihan, serta melakukan evaluasi atas pilihannya prosesi dalam mencari jatidiri. Jatidiri bisa semakna dengan esensi dalam teorema filsafat. Dalam naskah tersebut pencapaian jatidiri atau pencapaian esensi ditemukan setiap tingkat atau maqomat yang dilaluinya. Pencapaian dalam setiap tingkat atau maqomat bukanlah merupakan esensi yang sesungguhnya. Maqomat bukan merupakan titik akhir perjalanan kehidupan karena pada akhirnya letika mencapai titik puncak pada setiap tahap ia kembali masuk pada pengembaraan atau pencarian lebih lanjut untuk mencapai maqom yang lebih tinggi. Dengan demikian HHM memandang kehidupan sebagai suatu proses yang tiada henti, seperti dalam dangdingnya : Kacatur martabat tujuh/ tujuhna dipiriwinci/ teu karasa ngarujakna/marukan dihiji-hiji/ hiji misah ti kadua/ unggal hiji taya bukti/ puguh tujuh bukur/ bukur hiji kuma hiji/ dirujak jadi manusa/ sahiji asaling jati/ jati di rasa pangrasa/ mukti teu kurang teu leuwih/ leuwih matak langguk tangtung/ kurang matak kurunyinyi/ rasa nyiar pamuntangan/ tandaning henteu walagri/ tacan sirna lalugina/ sulit ati taya budi. Mulai maqomat Islam hingga Sahadah masing-masing dibagi dalam dua kecenderungan dan perbawa, yaitu iblis dan Kapangeranan. Keadaan manusia sebagai individu digambarkan sebagai sosok yang senantiasa memiliki dua kecenderungan radikal yang berada dalam pengaruh yang saling bertentangan antara pengaruh Kapangeranan dan pengaruh Iblis. Pada maqomat Sidikiah, suatu maqom dimana seseorang telah masuk pada kedirian yang utuh yang tidak terpilah lagi antara yang ruhani dan yang jasmani. Suatu keadaan ketika individu telah menggunakan dimensi rasanya, rasa ruhaniah bukan rasa secara fisik. HHM dalam Sasaka di Kaislaman menyebutnya rasa Rahmaniah, rasa secara interdependensi dengan hilangnya dominasi persepsi fisikal, realitas hanya sebagai simbol. Pada maqomat Sidikiah, dalam sistematika HHM merupakan maqomat dimana seseorang tidak lagi berada dalam tekanan pengaruh atau perbawa iblis. Pada maqomat Qurbah merupakan maqom terakhir dalam perjalanan menuju Insan Kamil, HHM menyebut : Beak carita/ ku bawaning dalit/ gulet sababda saboga/ abdi jeung Gusti sakulit sadaging satuluyna.
Menelaah dangding HHM tidak berhenti sampai disitu, Mukhlas melihat dari sisi fisafat bahasa. Langkah yang terpenting bagi tumbuhnya sebuah peradaban adalah kepiawaian manusia dalam memperkembangkan bahasa yang ditulis. Tanpa adanya bahasa yang ditulis, sangat sulit untuk mempunyai kemajuan. Bahasa yang tertulis memungkinkan menjadi gudang tempat penyimpanan pengetahuan-pengetahuan lama, dan bahasa tersebut mempunyai kemampuan untuk mengatasi keterbatasan tempat dan waktu, juga untuk mempertahankan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam transmisi lisan. Berkaitan dengan makna filsafat yang berusaha untuk menemukan hakikat realitas dan mendapatkan kearifan dalam hidup, tentunya sudah menjadi tujuan akhir bagi semua manusia bijak. Salah satu tokoh yang belum banyak dikenal tetapi sangat produktif dalam karya-karya pemikirannya adalah HHM. HHM juga dikenal sebagai sosok ulama (Islam) dan seorang birokrat dengan menjadi penghulu agama pada masa kolonial Belanda. Tiga karakter (sosok budayawan, ulama dan birokrat), bagi Haji Hasan Mustafa sangat berpengaruh dalam khazanah pemikirannya, sehingga hasil karya pikirannya sangat bercorak mulai dari yang bertema agama, tasawuf, bahasa dan sastra, adat-adat Sunda dan pandangan hidup manusia Sunda. Pokok-pokok dari ajaran tasawuf Haji Hasan Mustafa sangat tertera pada hasil karyanya yang berjudul Gelaran Sasaka Dikaislaman, Martabat Tujuh, dan Patakonan jeung Jawaban. Berpijak dari karya Haji Hasan Mustafa yang bercorak tasawuf, ada hal yang menarik dan sangat cocok dengan tema filsafat abad XX yaitu bahasa. Haji Hasan Mustafa mengemas ajaran tasawufnya dengan bahasa sehari-hari, meskipun corak tasawufnya tasawuf falsafi. Dengan demikian penelitian ini berobjek material bahasa tasawufnya Haji Hasan Mustafa, sementara objek formalnya adalah sebuah tinjauan filsafat bahasa biasa dengan menggunakan pemikiran John Langshaw Austin. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode hermeneutika dengan melalui unsur-unsur metodis: deskripsi, kesinambungan historis, bahasa inklusif atau analogal dan interpretasi. Dari penelitian itu didapat bahwa bahasa yang digunakan Haji Hasan Mustafa dalam menyampaikan ajaran-ajaran tasawufnya lebih banyak pada pemakaian bahasa biasa, yaitu bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan ditambah idiom-idiom budaya kesundaan yang ada pada masyarakat. Ungkapan-ungkapan bahasa tasawuf Haji Hasan Mustafa dalam tinjauan filsafat bahasa biasa John Langshaw Austin dapat dimasukan pada ungkapan performatif, karena tidak menjelaskan hal-hal yang faktual dan tidak mengandung nilai benar-salah. Bahasa tasawuf Haji Hasan Mustafa, telah memenuhinya ciri-ciri dan syarat ungkapan performatif
Adapun dalam analisis tindakan bahasa (speech act), ungkapan-ungkapan bahasa tasawuf Haji Hasan Mustafa yang tertera pada naskah Gelaran Sasaka Dikaislaman, Martabat Tujuh, dan Patakonan jeung Jawaban, ternyata menunjukan adanya kesesuaian dengan tindakan lokusi, tindakan illokusi, dan tindakan perlokusi.
Untuk menelaah lebih jauh lagi Afathri Adlin menelaah karya HHM dari sisi filsafat dan teologi simulakra. Adlin merasa kecewa dengan pernyataan Annemarie Schimmel yang mengatakan dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun televisi, yang mengatakan bahwa kitab-kitab tasawuf nusantara tidak memiliki orisinilitas, dengan kata lain itu hanya epigon dari kitab tasawuf terkemuka lain. Hampir dipastikan, menurut Adlin, bahwa Annemarie Schimmel belum membaca karya HHM, dalam hal ini Gelaran Sasaka di Kaislaman. Adlin mengatakan karya HHM adalah karya yang orisinil baik dalam bentuk maupun temanya. Adlin membedah karya HHM dari sudut pandang filsafat barat dan terakhir membedah karya HHM dengan teologi simulakra sebagai karakter khas rumusan teologi kontemporer yang dominan menggunakan rasionalitas, termasuk filsafat Islam, untuk menegaskan kekuatan dan keutamaan pemikiran HHM.
Sedangkan Julian Millie (dosen dan peneliti dari Univ Monash, Melbourne Australia) melihat pentingnya memperingati ketokohan seseorang, salah satunya yang disorot oleh Julian adalah HHM. Menurut Julian, HHM tidak diperingati sebagai pahlawan atau apapun yang berkaitan dengan kepahlawan tetapi justru dari keunikannya tulisan-tulisan HHM. Ditilik dari keunikan tersebut, karya HHM ada pencampuran antara lambang-lambang keislaman dan lokalitas. Warisan itulah yang menarik peneliti akademisi dan penggemar puisi Sastra Sunda. Para akademisi Sunda, menganggap ada sesuatu yang bisa digali terutama inti Kebudayaan Sunda (patrimony). Peringatan ketokohan HHM bukan saja dilakukan secara formal tetapi juga bisa dengan bentuk lain umpamanya membuat kaos oblong yang ditulisi oleh bagian dari puisi HHM ( Julian pernah melihat anak muda yang memakai kaos oblong seperti itu). Setidaknya dengan cara itu ada kesinambungan pemikiran HHM hingga kini.

Semiloka ini dibuka oleh Rektor UIN SGD Bandung, dan diberi pengantar oleh Penanggung Jawab Diskusi, Ketua PSS dan perwakilan dari Univ Monash. Selama semiloka berlangsung banyak pertanyaan yang muncul yang lebih kepada pendalaman materi atas makalah yang disampaikan.

Demikian laporan Semiloka HHM di UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Mohon maaf apabila dalam laporan ini terdapat hal yang kurang tepat.


MAMAT SASMITA
Moderator

05 January 2009

LSM KEUR URANG SUNDA

Laporan : MAMAT SASMITA

Cék gampangna mah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) téh organisasi nu diadegkeun ku masarakat, boh kalawan sosoranganan boh babarengan, pikeun babakti ka masarakat umum, bari teu néangan kauntungan tina kagiatanana.
LSM sotén cék urang dieu. Aya deui nu nyebutna ONP, kalan-kalan ornop (organisasi non pemerintah), meleg-meleg ngindung ka basa Inggris NGO (non government organization).
Minangka cirina nu mandiri, LSM mah tétéla lain bagian ti birokrasi pamaréntahan, dina kagiatanana teu néangan kauntungan (nirlaba), ngutamakeun kapentingan balaréa.
Réa rupa LSM téh. Aya LSM nu jadi organisasi donor pikeun LSM lianna, aya nu jadi mitra pamaréntah, aya deuih nu jadi oposan, nyaéta organisasi nu ngimbangan kawijakan pamaréntah, ku jalan nepikeun kritik atawa kontrol sangkan pamaréntah teu méngpar dina nyieun tur ngajalankeun kawijakanana.
Mindeng kacaturkeun LSM téh sok meunang biaya ti organisasi donor mancanagara, bari jeung gedé: ti ratusan juta tepi ka milyaran rupia.
Di séjén pihak, loba kagiatan budaya nu sipatna lokal, kacida kékéréhétna. Loba nu boga idé, tapi nyakitu geuning mun geus jol kana biaya sok terus alum, lalayu sekar, siga kembang nu teu kacébor.

Adumanis

Pikeun ngadumaniskeun kagiatan LSM nu sok meunang biaya badag ti lembaga donor jeung kagiatan budaya lokal nu mindeng kékéréhét, sawala bulanan PSS (Pusat Studi Sunda) bulan kamari antarana ngadurényomkeun hal perkara LSM kasundaan. Panyaturna nyaéta Irfan Amalee, nu sapopoéna digawé di penerbit Mizan tapi réa kagiatananana nu patali jeung widang LSM. Panyatur kadua nyaéta Darpan, nu sapopoéna jadi guru di SMA Garut tapi kungsi jadi aktivis LSM. Sawala dilaksanakeun poé Juma’ah, 12 Désémbér 2008, di Bandung.
Cék Irfan mah, istilah LSM téh saenyana eupimistis (beunang ngalemes-lemes), minangka “gaganti” tina istilah NGO. Ma’lum téa baé, dina jaman Orde Baru mah, sakur nu kasebut “non-pamaréntah” tangtu ngundang kacuriga.
Padahal mah, carék dina falasifahna, pamaréntahan téh bisa kuat mun nu disebut good governance jeung good nongovernance téh sareundeuk saigel, sabobot sapihanéan, nya éta nu disebut civil society téa. Ari civil society bisa kuat ku ayana silih rojong antara pamaréntah jeung masarakat.
Upamana, aya lembaga donor, sebut wé USAID. Pasti dina proyék nu dipigawé téh bakal aya tulisan nu nyebutkeun éta téh bantuan ti “rayat Amérika”. Hartina, éta proyék téh dibantuan ku masarakat, najan ngaliwatan pamaréntahna.
Nu jadi masalah: kumaha carana meunang lolongkrang kana éta biaya nu dibikeun ku lembaga donor?
Cék Irfan, kudu aya dadasar, titincakan pikeun muka lawang sangkan diheueuhan ku nu boga duit. Ari nu boga duit lolobana ti nagara deungeun, tangtu wé nyawang pasualan téh tina kacamatana, nu kalan-kalan teu sarua jeung urang.
Nya di dieu kudu aya kaparigel enggoning nyieun proposal kalawan ngawadahan isu-isu nu dianggap penting. Contona isu nu dianggap penting ayeuna téh global warming, siaga bencana, sasalad flu manuk atawa masalah hak asasi manusa.
Upama milih isu siaga bencana, kagiatan nu diayakeun téh kudu ngahudang kasadar masarakat yén lingkungan urang nu aya dina basisir dua samudera, atawa aya dina zona gunung aktif, téh kudu dijaga. Kumaha carana nyalametkeun diri tur asét mun aya bahaya rongkah, naha tsunami naha gunung bitu. Hal ieu ku maranéhna (lembaga donor) dianggap penting pikeun ngajaga asét dirina, ulah nepi ka kaganggu.
Aya kalana ngajukeun hiji proposal proyék ka lembaga donor téh hésé pisan, malah nepi ka ditolak pisan. Tapi aya kalana dibéré bantuan kalawan logor, nepi ka duit nu nyésa gé kudu dibéakeun, da maranéhna mah teu perlu refunding.
Kumaha ngadumaniskeun antara kagiatan budaya nu sipatna lokal jeung kagiatan LSM nu meunang waragad ti lembaga donor?
Irfan ngélingan sangkan ningali budaya téh ulah heureut teuing, tapi kudu lega. Pan nu disebut budaya téh sakabéh kagiatan masarakat nu dipangaruhan ku kabiasaan masarakat. Nu disebut budaya lain ukur kasenian, sastra atawa pintonan, tapi ngawengku sakabéh pola pikir masarakatna. Tah, cenah, mun nyawangna kitu tangtu bisa diadumaniskeun.
Kari kumaha carana nyieun program nu aya pakaitna kana unsur budaya tadi bari mikanyaho agénda nu disiapkeun ku lembaga donor. Agénda maranéhna perlu dipikawanoh. Lain hartina urang kudu dikadalikeun ku maranéhna, tapi paling copélna ngarah nu boga duit teu ngarasa gaplah dina nyatujuan proyék. Bisa baé éta téh kapentingan ékonomi nu saperluna.
Aya bédana antara lembaga donor ti Amérika, Jepang jeung Inggris. Amérika jeung Jepang leuwih deukeut kana téknologi, da cenah éta téh penting pisan keur nyumponan kabutuh dasar (basic needs) masarakat, najan bisa baé aya maksud séjén: sangkan urang tetep gumantung kana hasil téknologi beunang Jepang atawa Amérika. Ari Inggris mah leuwih nyoko kana industri kréatif nepi ka aya nu disebut CEO (Creatif Economic Officer). Salah sahiji nu dijieun pilot project dina hal ieu téh kota Bandung nu katémbong parigel ngahasilkeun industri kréatif.
Irfan gé ningali sisi séjén, nyaéta deukeutna hubungan antara jalma-jalma boh nu aktif di LSM jeung nu aya di lembaga donor. Sangkan bisa deukeut kudu aya ajén kapercayaan jeung tangtu wé sikep ti nu ngajukeun proposal. Lian ti éta, kudu aya pangaruh budaya bari jeung aya pangaruh sosial.
Rada béda ti Irfan, Darpan réa nyawang kahirupan LSM di Jawa Barat, hususna nu kagiatanana tumali kana budaya Sunda.
Kawilang renung saenyana mah LSM di Tatar Sunda téh. Aya nu bagerak dina widang sastra kayaning LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda), PPSS (Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda), Yayasan Kabudayaan Rancagé, jlld. Aya nu neuleuman rupaning kaulinan barudak kayaning Komunitas Hong, aya deuih nu ngokolakeun perpustakaan di désa-désa kayaning Yayasan Percéka. Nu ngagarap seni atuh teu kurang-kurang deuih, misalna Yayasan Cangkurileung atawa Yayasan Padalangan.
Arang langka LSM di Jawa Barat nu merenahkeun manéh minangka oposisi ka pamaréntah, padahal poténsi ka lebah dinya téh ublug ablag kénéh. Upamana baé can kareungeu aya LSM nu toh-tohan ngabéla kapentingan masarakat nu katideresa lantaran kawijakan pamaréntah dina widang industri jeung tata rohang.
Cohagna mah réa kénéh LSM nu nyokona kana jadi mitra pamaréntah, nu ngan ngandelkeun biaya tina APBD. LSM siga kitu sok disarebut “LSM polét beureum”. LSM polét beureum tangtu wé dina kiprahna téh ngan jadi kalangkang pamaréntah nu antukna teu bisa minculak dina harti oposisi, minangka lembaga masarakat sipil nu indepénden.
Komo deui nu bagerak dina widang kabudayaan, keur mah ongkoh siga nu ngotok ngowo atawa kurung batokeun, turug-turug teu boga figur inohong nu bisa ngajalanan sangkan aya panghiap ti lembaga donor.
Darpan gé nyebutkeun yén LSM téh katémbongna réréana mah rada élitis jeung ngota. Élitis dina harti teu pati ngakar ka masarakat handap tur LSM téh museur di Bandung atawa di kota kabupatén. Asa can kapanggih aya LSM nu basis kagiatanana di pilemburan atawa nyieun jaringan ka tepis wiring. Ku kituna pangaruhna teu pati karasa keur urang pilemburan mah.

Jembar

Dina enas-enasna mah, Irfan jeung Darpan siga nu sapuk yén kagiatan budaya téh sabenerna bisa jadi titincakan pikeun muka lawang lembaga donor nu badag. Saratna téh ningali budaya téh kalawan jembar, ulah heureut atawa kurung batokeun.
Irfan méré conto: kumaha sangkan korupsi teu mahabu ditilik tina jihat budaya? Budayawan sabenerna bisa ngayakinkeun yén tarékah numpes korupsi téh bisa ogé ngali inspirasi tina widang budaya nu nyampak di urang.
Aya pamanggih ti pamilon sangkan LSM saperti PSS (Pusat Studi Sunda), upamana, jadi lembaga kajian, upamana pikeun nyukcruk leuwih jero dampak sosial, ékonomi, atawa lingkungan ti hiji pausahaan badag nu aya di Tatar Sunda keur masarakat di sabudereunana. Ulah nepi ka masarakat téh ngan bisa lalajo, nu teu walakaya.
PSS bisa jadi ruruhit tumbak keur ngarobah sikep pausahaan jeung masarakat sangkan aya kauntungan keur dua pihak nu luyu jeung aturan.
Aya deuih nu ngélingan sangkan kagiatan LSM ulah dikadalikeun ku lembaga donor, utamana dina pola pikir tur kapentingan nu leuwih badag. Cék cohagna mah kudu tetep kritis.


Mamat Sasmita, panumbu catur matuh Sawala Bulanan PSS
(Dimuat dina Majalah Basa Sunda Cupumanik No.66 Januari 2009)