Ternyata kata humor itu mempunyai dua arti yaitu cairan atau zat setengah cair dalam tubuh dan kemampuan merasai sesuatu yang lucu atau yang menyenangkan,itu menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),tentu yang dibahas disini bukan tentang cairan tubuh, tetapi yang lucu itu, sedangkan dalam kamus bahasa Sunda kata humor tidak ada, ada padanan yang hampir sama artinya yaitu kata heureuy, artinya banyol, kelakuan yang bisa menyenangkan baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Katanya humor yang baik adalah humor setelah kita dibikin tertawa, kita juga disuruh berpikir merenungkan isi kandungan humornya dan diakhiri dengan mawas diri (Achdiat K Mihardja 1982).
Ada yang berpendapat orang Sunda suka humor, apabila orang Sunda kumpul atau bergerombol maka disana akan terdengar riuh rendah ketawa, karena disana sedang terjadi heureuy itu, sedang terjadi “kegembiraan”. Hidup penuh toleransi, darehdeh someah hade ka semah, raut muka lebih banyak tersenyum daripada ketus, begitupun tidak pernah berbuat semena-mena, berbuat tega terhadap orang lain, tapi cukup dengan tertawa dan menertawakan, apabila terdesak dilanjutkan dengan menertawakan ketololan diri sendiri (Utuy T Sontani 1957).
Tokoh humor dalam cerita yang paling terkenal di masyarakat Sunda ialah Si Kabayan, tokoh ini telah menjadi kekayaan batin orang Sunda, telah menjadi folklore yang disayangi orang Sunda. Si Kabayan sering digambarkan sebagai orang bodoh, tetapi saat itu pula tampak kepintarannya, jadi ada sifat paradok dalam diri Si Kabayan, malah bisa jadi ada sifat dualisme primordial.
Apabila digambarkan bodoh, akan nampak sangat bodoh seperti dalam cerita Si Kabayan Ngala Tutut (Si Kabayan Mencari Siput Sawah), dianggapnya sawah itu sangat dalam karena langitpun kelihatan dalam beningnya air sawah, setelah dia tahu sawah itu dangkal dia ngomong “ Eeel da deet “ (Eh kok dangkal), maka diapun terpingkal menertawakan dirinya sendiri. Lain lagi dalam cerita Si Kabayan Ngadeupaan Lincar (Si Kabayan Mengukur Panjang Papan Rumah), karena merasa tidak diundang tetangganya yang hajatan, maka dia bertelanjang dada mengukur lingkar papan rumah yang berdekatan dengan yang hajatan, maka yang punya hajat menegur “Kabayan kok kelakuanmu kayak anak kecil saja..”, maka si Kabayan spontan menjawab “Kalau dianggap orang tua ya tentu diundang dong….”.
Tokoh lain ialah Ki Lengser (ada yang menyebut Mama Lengser, Mamang Lengser, Ua Lengser) dalam pantun, cerita tutur Sunda. Sebutan Lengser itu sendiri bukan nama tetapi kedudukan dalam keraton kerajaan dalam cerita pantun itu.
Penggambaran tokoh Ki Lengser ini relatip sama dalam setiap cerita pantun yaitu orang yang telah berusia tua, kelucuan lebih sering digambarkan karena kepandaian juru pantun dalam bertutur menceritakan tingkah laku, berdandan, cara jalan ataupu ucapan-ucapannya (Ajip Rosidi 1984). Ki Lengser berfungsi sebagai medium yang arif antara dunia raja-raja dan dunia jelata, bagaimana caranya dia menyampaikan titah raja kepada rakyatnya, begitupun bisa sebaliknya menceritakan keadaan rakyat yang sebenarnya kepada raja, baik keadaan rakyat yang sengsara ataupun saat bahagia, tanpa ditambah atau dikurangi.
Ada tokoh lain lagi yaitu Si Cepot atau Astrajingga dalam dunia wayang golek Sunda, dalam pagelaran wayang golek kemunculan Si Cepot sering ditunggu-tunggu oleh para penonton karena bobodorannya yang dapat menyegarkan suasana.
Si Cepot mempunyai watak tersendiri sering cepat menyatakan sanggup, suka omong besar, mau menang sendiri, agak cunihin (kelakuan yang iseng ketika berhadapan dengan perempuan) dan cilimit (kelakuan yang selalu ingin merasakan setiap makanan atau kekayaan orang lain), walaupun demekian Si Cepot terkenal berani mengorbankan diri untuk membela kebenaran, setia dan banyak akal (Ajip Rosidi,1984)
Antara Ki Lengser dan Si Cepot sama sama abdi (punakawan) raja, berbeda dengan Si Kabayan yang mewakili rakyat yang lugu, keinginannya tidak berlebihan yang menjadi acuan dasarnya adalah kejujuran, bila dilihat ada penyimpangan Si Kabayan hanya tertawa, justru disanalah akan muncul guyonannya.
Humor Sunda hampir tidak pernah menertawakan kelemahan orang lain, tetapi lebih ditujukan sebagai otokritik, mentertawakan kelemahan dirinya sendiri. Dalam bahasa Sunda ada kata ngageuing dan ngageuhgeuykeun, dua-duanya mengandung unsur kritik. Ngageuing berarti menasehati supaya orang sadar akan ketidakbaikan atau ketidakbenaran dirinya sehingga bisa berubah, sedangkan ngageuhgeuykeun menasehati dengan berbaju humor bisa berbentuk sindiran atau bentuk lain sehingga ketidakbaikan atau ketidakbenaran menjadi ketawaan orang tertmasuk orang yang disindir itu sendiri menjadi tertawa (Achdiat K Mihardja 1982).
Dalam era pergaulan antar bangsa dan antar etnis yang rumit seperti sekarang ini, mungkin saja kedalaman humor Sunda tidak bisa ditangkap seutuhnya terutama oleh orang non Sunda, malah malah bisa menjadi bumerang karena dianggap orang Sunda itu selalu tertawa dan dianggap tidak pernah bisa daria (sungguh-sungguh) termasuk didalam pekerjaan. Nah.
Katanya humor yang baik adalah humor setelah kita dibikin tertawa, kita juga disuruh berpikir merenungkan isi kandungan humornya dan diakhiri dengan mawas diri (Achdiat K Mihardja 1982).
Ada yang berpendapat orang Sunda suka humor, apabila orang Sunda kumpul atau bergerombol maka disana akan terdengar riuh rendah ketawa, karena disana sedang terjadi heureuy itu, sedang terjadi “kegembiraan”. Hidup penuh toleransi, darehdeh someah hade ka semah, raut muka lebih banyak tersenyum daripada ketus, begitupun tidak pernah berbuat semena-mena, berbuat tega terhadap orang lain, tapi cukup dengan tertawa dan menertawakan, apabila terdesak dilanjutkan dengan menertawakan ketololan diri sendiri (Utuy T Sontani 1957).
Tokoh humor dalam cerita yang paling terkenal di masyarakat Sunda ialah Si Kabayan, tokoh ini telah menjadi kekayaan batin orang Sunda, telah menjadi folklore yang disayangi orang Sunda. Si Kabayan sering digambarkan sebagai orang bodoh, tetapi saat itu pula tampak kepintarannya, jadi ada sifat paradok dalam diri Si Kabayan, malah bisa jadi ada sifat dualisme primordial.
Apabila digambarkan bodoh, akan nampak sangat bodoh seperti dalam cerita Si Kabayan Ngala Tutut (Si Kabayan Mencari Siput Sawah), dianggapnya sawah itu sangat dalam karena langitpun kelihatan dalam beningnya air sawah, setelah dia tahu sawah itu dangkal dia ngomong “ Eeel da deet “ (Eh kok dangkal), maka diapun terpingkal menertawakan dirinya sendiri. Lain lagi dalam cerita Si Kabayan Ngadeupaan Lincar (Si Kabayan Mengukur Panjang Papan Rumah), karena merasa tidak diundang tetangganya yang hajatan, maka dia bertelanjang dada mengukur lingkar papan rumah yang berdekatan dengan yang hajatan, maka yang punya hajat menegur “Kabayan kok kelakuanmu kayak anak kecil saja..”, maka si Kabayan spontan menjawab “Kalau dianggap orang tua ya tentu diundang dong….”.
Tokoh lain ialah Ki Lengser (ada yang menyebut Mama Lengser, Mamang Lengser, Ua Lengser) dalam pantun, cerita tutur Sunda. Sebutan Lengser itu sendiri bukan nama tetapi kedudukan dalam keraton kerajaan dalam cerita pantun itu.
Penggambaran tokoh Ki Lengser ini relatip sama dalam setiap cerita pantun yaitu orang yang telah berusia tua, kelucuan lebih sering digambarkan karena kepandaian juru pantun dalam bertutur menceritakan tingkah laku, berdandan, cara jalan ataupu ucapan-ucapannya (Ajip Rosidi 1984). Ki Lengser berfungsi sebagai medium yang arif antara dunia raja-raja dan dunia jelata, bagaimana caranya dia menyampaikan titah raja kepada rakyatnya, begitupun bisa sebaliknya menceritakan keadaan rakyat yang sebenarnya kepada raja, baik keadaan rakyat yang sengsara ataupun saat bahagia, tanpa ditambah atau dikurangi.
Ada tokoh lain lagi yaitu Si Cepot atau Astrajingga dalam dunia wayang golek Sunda, dalam pagelaran wayang golek kemunculan Si Cepot sering ditunggu-tunggu oleh para penonton karena bobodorannya yang dapat menyegarkan suasana.
Si Cepot mempunyai watak tersendiri sering cepat menyatakan sanggup, suka omong besar, mau menang sendiri, agak cunihin (kelakuan yang iseng ketika berhadapan dengan perempuan) dan cilimit (kelakuan yang selalu ingin merasakan setiap makanan atau kekayaan orang lain), walaupun demekian Si Cepot terkenal berani mengorbankan diri untuk membela kebenaran, setia dan banyak akal (Ajip Rosidi,1984)
Antara Ki Lengser dan Si Cepot sama sama abdi (punakawan) raja, berbeda dengan Si Kabayan yang mewakili rakyat yang lugu, keinginannya tidak berlebihan yang menjadi acuan dasarnya adalah kejujuran, bila dilihat ada penyimpangan Si Kabayan hanya tertawa, justru disanalah akan muncul guyonannya.
Humor Sunda hampir tidak pernah menertawakan kelemahan orang lain, tetapi lebih ditujukan sebagai otokritik, mentertawakan kelemahan dirinya sendiri. Dalam bahasa Sunda ada kata ngageuing dan ngageuhgeuykeun, dua-duanya mengandung unsur kritik. Ngageuing berarti menasehati supaya orang sadar akan ketidakbaikan atau ketidakbenaran dirinya sehingga bisa berubah, sedangkan ngageuhgeuykeun menasehati dengan berbaju humor bisa berbentuk sindiran atau bentuk lain sehingga ketidakbaikan atau ketidakbenaran menjadi ketawaan orang tertmasuk orang yang disindir itu sendiri menjadi tertawa (Achdiat K Mihardja 1982).
Dalam era pergaulan antar bangsa dan antar etnis yang rumit seperti sekarang ini, mungkin saja kedalaman humor Sunda tidak bisa ditangkap seutuhnya terutama oleh orang non Sunda, malah malah bisa menjadi bumerang karena dianggap orang Sunda itu selalu tertawa dan dianggap tidak pernah bisa daria (sungguh-sungguh) termasuk didalam pekerjaan. Nah.
*) Pensiunan TELKOM, penggiat Rumah Baca Buku Sunda, tinggal di Bandung.
(Dimuat di Kompas Jabar Jumat 10 Maret 2006)
(Dimuat di Kompas Jabar Jumat 10 Maret 2006)
1 comment:
kang manawi terang tos aya teu nya penelitian ilmiahna ngeunaan humor sunda? bukuna naon wae nya nu aya pembahasan ttng humor sunda..nuhun
Post a Comment