19 December 2009

AIR SUNGAI BERSIH TANDA TAK ADA KOUPSI


Oleh : MAMAT SASMITA

Saya salah seorang rakyat Indonesia ber-KTP (Kartu Tanda Penduduk) kota Bandung yang sok tahu (bahasa Sunda : nyanyahoanan), karena tulisan ini tidak terlalu memakai referensi apapun, ini hanya mengeluarkan unek-unek perihal korupsi. Hitung-hitung ikut memperingati Hari Anti Korupsi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi itu menyelewengkan atau menggelapkan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ini artinya sama dengan mencuri, karena mencuri masih menurut kamus bahasa Indonesia adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan mencuri, masih menurut kamus yang sama, artinya sama dengan nyolong. Anak TK (Taman Kanak-kanak) juga tahu kalau nyolong itu adalah dosa.
Korupsi yang menjadi berita besar akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh pegawai pemerintahan, ada yang dari departemen ada yang dari pemerintah daerah termasuk oleh anggota legislatif. Sehingga banyak orang yang tadinya terhormat lantas diborgol masuk bui. Aneh juga rasanya ada orang terhormat yang mendapat kepercayaan menjalankan tugas mulia menghianati dirinya sendiri karena serakah. Barangkali inilah cermin dari beragama tapi tidak bermoral, berpendidikan tapi tidak berilmu. Atau terlalu besar rasa memilikinya, sehingga uang rakyat, uang negara, juga diakui milik dirinya sendiri, bebas dipergunakan semaunya.

Pegawai pemerintah biasa juga disebut birokrat, pegawai yang bertindak secara birokrasi. Arti birokrasi adalah 1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. 2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya. Itu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan, birokrat juga. Yang menggelikan arti yang kedua, sepertinya penyusun kamus sedang menghujat diri sendiri, neluh maneh itu kata ungkapan dalam bahasa Sunda. Tetapi tak bisa dipungkiri memang seperti itu berurusan dengan birokrat, serba lamban dan banyak liku-likunya. Dari pelayanan yang serba lamban dan banyak liku-likunya ini menimbulkan kreativitas lain berbau negatif. Bila ingin mendapat pelayanan serba cepat dan tepat seolah-olah harus ada tanda terima kasih, ada ungkapan yang dilontarkan secara guyon nu dipeuncit seuseurian, nu meuncit heheotan, yang disembelih tertawa senang, yang menyembelih bersiul senang. Tentunya yang disembelih itu masyarakat atau rakyat, sedangkan yang menyembelih adalah birokrat.

Akhir-akhir ini di media masa cetak di kota Bandung sering muncul iklan yang dibuat oleh para birokrat bunyinya Stop Korupsi, kata-kata yang menyertainya puitis, beragam dan menarik. Seperti “Jadilah PNS Sejati Stop Korupsi” (mudah mudahan iklan ini bukan himbauan supaya PNS menghisap rokok Sejati), “Bersihkan diri dari sifat-sifat korupsi”, “Jujur berkarya mengabdi sepenuh hati tanpa korupsi”, “Korupsi adalah extraordinary crime” dan banyak lagi. Lantas ada foto diri yang memasang iklan tersebut lengkap dengan jabatannya. Langkah ini patut diacungi jempol, setidaknya sebagai langkah baik untuk memberantas korupsi dilingkungan birokrat sendiri. Hanya jangan sampai ada yang tertawa sinis seolah-olah itu adalah iklan yang berbau narsis, menghimbau atau ajakan terhadap diri sendiri yang tahu persis ada atau tidaknya korupsi. Toh yang melakukan korupsi terbesar selama ini adalah birokrat. Jangan sampai iklan stop korupsi yang awalnya bertujuan baik, menjadi bumerang dan bahan tertawaan publik.

Yang paling ditunggu adalah pernyataan resmi dari walikota yang menyatakan bahwa di pemerintahan kota Bandung telah bersih dari korupsi. Yang diamini oleh setiap satuan kerja sehingga iklan yang ditampilkan “Satuan kerja kami bersih dari korupsi, memakan uang negara atau uang rakyat satu sen pun itu haram, silahkan diaudit oleh siapapun”. Itu baru kejutan dan rakyatpun akan mengacungkan dua jempol sekaligus.
Dapat diyakini yang melakukan korupsi tidak semua birokrat, walaupun ada yang mengatakan korupsi saat sekarang telah berjamaah. Masih banyak birokrat yang jujur, yang tidak mau memotong anggaran kerja sekian persen dengan dalih untuk koordinasi. Sayangnya birokrat yang jujur itu ikut tercoreng oleh kelakuan segelintir orang. Seandainya jumlah pegawai di pemerintah kota Bandung ada 23 ribu orang (termasuk 18 ribu orang guru) untuk mengurus warga Bandung sebanyak 2,3 juta orang. Yang mempunyai potensi untuk korupsi paling banyak juga ratusan orang, yaitu yang mempunyai wewenang, yang dekat dengan sumber uang dan ada peluang karena kurang pengawasan atau kurang kuat iman terlalu banyak jang ka imah (untuk ke rumah).
Kalau tidak ada korupsi yang dilakukan ratusan orang itu mestinya keadaan kota Bandung dan warganya lebih baik dari sekarang, baik itu fasilitas umum, jalan tidak cepat rusak, kesehatan, pendidikan, ruang publik, maupun masalah sosial ekonomi dan lain lain. Setidaknya warga Bandung yang 2.3 juta orang itu lebih sejahtera dan hidup lebih nyaman dibanding sekarang. Walikota juga pasti akan mendapat trofi penghargaan lebih banyak dari sekarang. Kapan ya walikota Bandung dapat trofi penghargaan karena kota Bandung bebas dari korupsi.
Ada yang mengatakan apabila ingin tahu korupsi atau tidaknya aparat pemerintahnya lihatlah sungai yang mengalir di kota tersebut kalau airnya bersih itu tandanya tidak ada korupsi. Sungai yang membelah kota Bandung adalah sungai Cikapundung, sayang airnya cakeutreuk hideung (hitam kotor) jangankan untuk mandi mengenai kaki saja sudah jarijipen (enggan menyentuh karena kotor).
Stop korupsi di kota Bandung supaya air sungai Cikapundung menjadi bersih.

Mamat Sasmita
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
(Dimuat di koran Tribun Jabar Sabtu 19 Desember 2009, rubrik Podium)

22 November 2009

BELAJARLAH DARI PENGGEMBALA ITIK


Oleh : MAMAT SASMITA

Ngangon meri adalah pekerjaan menggembala itik. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bebek itu itik. Tetapi bagi sebagian orang Sunda ada yang mengartikan bebek itu entog. Sedangkan itik itu adalah meri. Dipinggir jalan sering dijumpai warung makan yang menyajikan bebek goreng, dapat dipastikan itu adalah meri yang digoreng, bukan entog.

Ujar penggembala itik, melakukan pekerjaan ini dituntut kejujuran. Sebab kalau tidak jujur itiknya suka bertelur dimana saja, bisa di sawah, di jalan sehingga penggembala sulit menemukannya, istilah mereka kababayan. Itu artinya rugi. Itik sepertinya mengerti isi hati tuannya. Kalau penggembalanya jujur, itik akan membalas dengan sepenuh hati dan disiplin. Itik akan bertelur di kandang setelah subuh, tepat waktu. Tuannya tinggal mengambil telur, itulah keuntungan buah kejujuran.
Kejujuran bagi penggembala itik tidak perlu diklaim melalui kata-kata apalagi ditayangkan televisi, karena kejujuran adalah dirinya. Kejujuran purba setiap manusia. Bahasa kejujuran pengangon meri bukan verbal, tetapi isi hati yang diimplementasikan dalam tindak perbuatan. Disadari betul bahwa dirinya dan itik adalah satu kesatuan utuh sebuah mesin pencetak telur, pencetak kesejahteraan. Bukan bentuk hubungan buruh dan majikan apalagi bentuk hubungan militeristik, jendral dan prajurit. Alat untuk menunjukan kekuasaan hanyalah sebuah tongkat yang namanya pangilang. Sebilah batang bambu kecil yang panjang untuk mengarahkan itik kemana harus pergi.

Ketika musim panen tiba, dimana sawah setelah dipanen seolah tak lagi bertuan, itulah tempat kesenangan itik, segera pindah tempat untuk menggembala menuju sawah setelah panen. Kegiatan pindah menggembala itu disebut mangkalan. Aturan utama mangkalan adalah tidak mengganggu hak dan kewenangan orang lain. Jangan sampai itik merambah sawah yang belum dipanen, bila itu terjadi petaka akan tiba.
Antar penggembala itik saling menjaga agar tidak terjadi persaingan tidak sehat dalam hal memilih tempat menggembala. Bila terjadi kehilangan itik karena pindah kelompok ke kelompok penggembala lain, disitu ada dialog, sekali lagi kejujuranlah landasannya. Yang merasa itiknya tiba-tiba bertambah, sang penggembala akan nyalabarkeun, bertanya siapa yang merasa kehilangan. Tidak ada saling klaim adu argumentasi berkepanjangan memperebutkan kebenaran, tidak ada ego pribadi, ego sektoral apalagi nama Tuhan tak perlu dibawa-bawa kalau hanya untuk meyakinkan orang lain.

Penggembala sangat paham akan itik, mungkin dia sedang sakit atau barangkali sedang birahi. Itik tak bisa bersuara hanya wek wek wek baik saat kenyang ataupun lapar. Untuk memahaminya membaca dari kedip mata dan bahasa tubuhnya. Itulah kearifan.
Dia hapal betul perkembangan itik dari sejak menetas sampai dewasa. Anak itik (meri) yang baru menetas disebut titit, umur satu bulan disebut bijil bulu gigir selanjutnya disebut bijil bulu dada. Bila telah berumur dua bulan disebut bulu sapotong selanjutnya disebut nyapit atau herang. Pada usia 5 atau 6 bulan disebut beger cai, bila telah mulai belajar bertelur disebut babaya. Apabila itik tak lagi produktif atau tak mau bertelur disebut gumurut, sedangkan meri yang sejak kecil sampai dewasa tak pernah bertelur disebut bajir.

Penggembala adalah pemimpin, pemimpin bagi dirinya, itik bagian dari dirinya, memahami dengan sepenuh hati. Karena memahami dengan sepenuh hati, kebenaran atau lebih tegasnya lagi kejujuran tak perlu direkayasa, tak perlu citra, kepongahan simulakra tak ada gunanya. Itik itu senang di air yang berlumpur, maka citra yang ditampilkan adalah siap berlumpur. Pakaian dan topi (dudukuy) sebatas menghindari dari tiupan angin dan menghindari sengatan matahari, dasi dan kerah putih tak ada artinya.

Penghasilan penggembala meri jangan dikira kecil, mungkin gaji jaksa, polisi atau pegawai negri juga bisa kalah. Bila jumlah meri yang diangon sekitar 200 ekor, maka hasil optimal sekitar 190 butir telor setiap hari, artinya sekitar 190 ribu rupiah masuk kantong per hari, itu kalau dijual ke bandar tapi kalau dijual langsung ke pasar bisa dapat lebih dari 200 ribu rupiah. Padahal untuk medapatkan uang sebesar itu yang diucapkan oleh penggembala itik hanya rriii...rrriii (mungkin singkatan dari meri), tidak lebih tidak kurang. Tak perlu bersilat lidah, tidak perlu mengobral kata, bagi penggembala itik kata-kata bukan komoditas. Memang penggembala itik citranya kalah jauh, kalah gagah dengan pegawai negri, kalah gagah dengan hakim dan jaksa apalagi dengan polisi yang bertabur pangkat berwarna keemasan.

Kebahagiaan penggembala itik pada sore hari, saat itik telah masuk kandang sementara selama mangkalan. Kandang sementara terbuat dari bilah bambu sebesar telunjuk tidak terlalu tinggi sekitar setengah meter. Disusun dan dianyam dengan tali, seperti wide (dinding bambu yang bisa digulung) tetapi lebih pendek. Penggembala telah mandi, telah segar. Semua itik ditatap, semua telah makan kenyang, kadang tertawa melihat tingkah laku itik, dan yang paling penting ada harapan besok pagi dapat telur banyak. Itulah kebahagiaan sejati yang didapat dari kejujuran. Bukan kebahagiaan semu yang dibungkus oleh retorika dan citra. Sungguh, belajarlah pada itik dan penggembalanya untuk menyelesaikan masalah.


MAMAT SASMITA
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda.
(Dimuat di koran Tribun Jabar rubrik Podium Sabtu 21 Nopember 2009)

17 November 2009

NGAGUAR CAWOKAH

Laporan : Mamat Sasmita

Cawokah cek kamus LBSS mah hartina teh jorang, porno, resep nyebut kecap-kecap nu kudu dibalibirkeun jeung nyaritakeun sual nu matak ngahudang birahi. Jadi hartina cawokah teh teu beda jeung jorang, sedengkeun jorang cek kamus keneh nyaeta sok resep ngucapkeun kecap-kecap nu kotor bisana sok dibalibirkeun, upamana nyebut rarangan.
Pangna cawokah jadi jejer dina sawala di PSS poe Saptu tanggal 12 September 2009 teh kulantaran teu bisa dibantah carita cawokah mindeng kapanggih dina guguyon Sunda, komo dina carita lisan. Contona disertasi Lina Maria Coster Weijsman (1929) nu judulna Uilespiegelverhalen in Indonesie in het biezonder in de Soendalanden ( Carita lucu di Indonesia utamana di Tanah Sunda). Buku Serial Heureuy Parahyangan meunang Kang Nay (1972). Atuh ka dieunakeun mindeng kapanggih dina buku serial heureuy Sabulangbentor karyana Taufik Faturohman. Geus puguh ari dina guguyun lisan mah tara kaliwat carita cawokah teh. Kagambar kumaha ngehkeyna nu ngadengekeun atawa kumaha ekspresi jeung pepetana nu cumarita, dongeng cawokah lir hiji genre carita nu teu laas ku jaman.
Elin Samsuri (dosen manten ti UPI), kacida tapisna ngadongeng cawokah, malah boga istilah sorangan keur carita cawokah nyaeta dongeng kokak. Medalna istilah dongeng kokak, cek Elin, waktu ngadengekeun dongeng di basisir kaler, mangsa pamayang ngadagoan peuting memeh indit balayar. Ruang riung deukeut parahu, aya bujang aya lanjang, aya randa aya duda. Ngawangkong ngaler ngidul kamana hayuna, mimindengna bras kana carita cawokah. Bakating ku suka budak bujang seuri seeleun, bari teu sadar netekeman budak lanjang ku jaring heurap, atuh puguh we budak lanjang reuwas kacida, ngaoceak tibuburanjat bari nyebut „Kokak...kokak..kokak...“ . Kitu mimitina mah, waktu ditanya naon hartina kokak Elin teu mere katerangan ngan cenah kajadianana waktu suka bungah ngadenge dongeng cawokah, jadi teu salah teuing lamun cawokah teh sarua jeung dongeng kokak.
Cek Elin dongeng kokak nyampak di unggal strata masarakat. Nu penting cara ngadongengkeunana teu nembrak vulgar, tapi dipindingan ku metafora estetika. Kapan dina genre kasenian ge aya nu disebut sesebred. Eusina nya banyol nya kokak, upamana „Kaduhung maen kaleci, liang keuyeup reregean. Kaduhung boga salaki, liang keuyeup ngagedean.“
Beda jeung jorang, sabab dina jorang mah aya nawaetu nga-eksploitasi perilaku seksual jeung organ vital manusa salaku bahan baku dongeng. Jorang mah tujuanana ngahudang birahi, kalan kalan teu kasengker ku tetekon moral atawa ajen atikan.
Aya anggapan dongeng kokak hirup subur di masarakat kuricakan, lantaran dipikabutuh pikeun hiburan memeh sare sore-sore. Pamanggih ieu teh cek Elin mah salah kacida, da dongeng kokak aya dimana-mana, diunggal strata masarakat. Malah lain di seler Sunda wungkul. Dongeng kokak leuwih lemes dina ngadongengkeunana. Basana dipilih, dirautan dipapantes ku silib estetika. Nu dipalar ngahudang imajinasi jeung nalar lain ngan sakadar ngawewelan emosi seks. Dongeng kokak henteu ditembrakkeun ka audien nu heterogen, dongeng kokak ngan bisa sukses di hiji komunitas nu geus papada loma, dilingkungan anu sarua. Wangun dongeng kokak parondok jiga sketsa tina kajadian kahirupan sapopoe, dongeng kokak teu loba pangjajap tapi langsung kana inti carita.

Pamadegan Elin Samsuri nu ngabedakeun cawokah jeung jorang diheueuhkeun ku Achmad Gibson (dosen UIN SGD Bandung). Cek Gibson di Sunda aya dua istilah aya jorang aya cawokah. Hartina beda. Jorang mah konotasina porno, matak muriang saawak-awak, ari cawokah matak seuri, cawokah konotasina guguyon. Cawokah teh bagian tina porno tapi ngagunakeun basa humor dina eusina, atawa humor nu ngagunakeun objek porno. Eta dua kamungkinan teh sarua kuatna.
Cek Gibson dina carita cawokah teu aya niatan ngungkab nu sifatna pornograpi, murni we heureuy. Sigana ieu teh aya kasang tukang atawa aya aspek kultural nu marengan, malah rada aheng lamun urang Sunda teu resepeun cawokah, lir sapopoe teu resep kana jengkol. Dina cawokah aya pola silib, aya pola sindir, teu satarabasna. Analisis Gibson, cawokah teh sacara psikologis mangrupa alternatif keur ngaleungitkeun pornograpi. Cawokah bisa ngurangan kecenderungan pornograpi. Malah bisa jadi nu cawokah teh anti kana pornograpi. Cawokah aya kelasna, nyaeta gumantung deuheus henteuna jeung nu diajak nyarita. Kukituna dina cawokah aya tatakrama, teu bisa sabeledugna, biasana nu silib atawa malibir, ngan dina malibir biasana imajinasi seksualna leuwih jero Sisi lain, bisa jadi cawokah teh ekspresi erotik, pedah alam lingkungan Tatar Sunda mangrupa pagunungan nu hawa tiis, keur ngahaneutan suasana brasna kana carita cawokah.

Pamanggih Syafrina Noorman (dosen UPI), nu nitenan saliwatan dina facebookna Godi Suwarna (GS), yen guguyon sek jeung seksualitas (cawokah) teh dipikaresep. Tapi naha ieu teh ngan sakadar stereotip atawa naha bener cawokah teh geus jadi ciri (esensial) urang Sunda?. Syafrina teu mere jawaban tandes, ngan mere data :
1.Tema cawokah leuwih loba nu ngomentaran.
2. Eusi cawokah dina facebook GS nyebut kecap-kecap nu kudu dibalibirkeun saperti ngaran rarangan atawa kalakuan nu katarik ku sahwat atawa ngomong jorang.
3. Tanggapan atawa komentar relatif leuwih loba ti awewe batan lalaki.
4. Tanggapan ti lalaki kacawokahanana leuwih dilegaan kana rupa-rupa aspek malah intesitasna leuwih jero.
5. Eusi komentar lamun papada geus loma leuwih wani.
6. Tema cawokah jadi tempat interaksi ekslusif (kudu boga kawani keur ngomentaran).

Salian ti eta facebook dina internet salaku budaya pop geus mere kalaluasaan keur nyoara (mere komentar atawa nyieun status) boh keur lalaki boh keur awewe. Kulantaran teu kawatesanan ku umur atawa status sosial (nu maca umur tur stratana dianggap sarua) eusi status atawa komentar karasa sahinasna. Internet husuna facebook GS mangrupa identifikasi hiji komunitas (baca :Sunda) nu mere lolongkrang pikeun ayana tendentious joke nyaeta cawokah. Mere lolongkrang keur ngadurenyomkeun hal nu pamali/ tabu ku cara nu leuwih ditarima (dina kahirupan adu hareupan mah can tangtu bisa diomongkeun).

Tapsiran sejen.

Salah saurang pamilon sawala mere komentar kana carita cawokah dumasar kana pamanggih Jakob Sumardjo tina buku Paradok Cerita Si Kabayan (Kelir 2008).

Hiji poe Si Kabayan katitipan pamajikan kiayi,cek kiayi „Kabayan kuring rek ka Peuteuyraket rek nagih hutang. Kuring nitip Nyai supaya dijaga, ngan Nyai boga kabiasaan mun sare sok kataranjangan (lain taranjang dihaja), tutupan we ku maneh“. Si Kabayan unggut-unggutan ngarti. Ngarasa katitipan Si Kabayan ngajugjug ka imah kiayi, kasampak teh enya we pamajikan kiayi keur sare bari sataranjang. Gura giru Si Kabayan neangan keur nutupan. Mimiti ku aseupan, ihh geuning teu pantes cek gerentes hatena, ku coet teu pantes, ku kekeban „ Ah teu parigel keneh!“. Ku pangarih teu pantes. Si Kabayan mikir bakal pantes lamun ditutupan ku awakna „tuh pan sakieu meujeuhna“.
Barang kiati datang, kacida ambekna pedah ningali pamajikanana ditutupan ku awak Si Kabayan. Si Kabayan ngajawab tuda ditutup ku nu sejen mah teu pantes, geura ku awak kiayi ge bakal pantes. Kiayi nutupan awak nyai ku dirina, cek kiayi „Heueuh we sakieu meujeuhna jeung ngeunaheun deuih“.

Carita siga kitu saliwatan mah siga nu jorang, cek Jakob Sumardjo pasualan rarangan eta teh ciri primordial Austronesia nu kabawa ka Nusantara, kaasup Sunda. Ningalina carita siga kitu ulah ngan ukur make cara eksoteris tapi kudu ku cara esoteris. Make cara primordial Sunda.
Pangarih pasanganana jeung dulang atawa boboko, cowet pasanganana jeung mutu, kekeban pasangan jeung wadah paranti sayur, aseupan pasangan jeung seeng. Kabeh ge barang nu dipake teh simbol dunya awewe. Jadi bakal teu pantes lantaran awewe ditutupan ku “awewe”. Lain jodona. Disebut pasangan kudu ngahiji antara eusi jeung wadah. Eusi teh awewe, wadah teh lalaki. Keur nutupan Nyai tangtu kudu ku “Kiayi” atawa “Si Kabayan”.
Eta jodona. Pantes, ngareunah, manjing.
Paradok dina kahirupan, aya beurang aya peuting, aya caang aya poek. Lemah nu garing simbol lalaki, hujan nu baseuh simbol awewe, lamun ngahiji bakal ngahasilkeun harmonis dina wangun kasuburan. Keur urang Sunda jaman baheula, nempatkeun awewe dina harkat nu luhung, dina peran Sunan Ambu. Cara mikir cawokah urang Sunda lir ibarat cara mikir urang Sunda purba, urang Sunda jaman baheula.


(Dimuat dina Majalah Basa Sunda Cupumanik No. 76 Nopember 2009)

30 October 2009

TOILET UMUM DI BANDUNG

Oleh : MAMAT SASMITA

Cobalah tengok toilet umum yang ada di ruang publik, bisa di terminal bus atau di stasiun kereta api, di Kota Bandung ini. Kesan pertama yang timbul adalah jorok, tidak diurus dengan baik. Sepertinya semakin mengukuhkan bahwa kita adalah masyarakat negara sedang berkembang, masyarakat dunia ketiga yang identik dengan serba kekurangan dan serba jorok.

Pengunjung yang kebelet ingin buang air kecil atau hajat besar dipaksa menyerah kepada situasi yang tidak ada pilihan. Dipaksa harus menyerah. Di tempat jorok itulah mereka melaksanakan hajatnya dengan tidak nyaman.

Padahal, untuk mengurus toilet saja tidak perlu menunggu menjadi negara maju dulu, tidak perlu menunggu menjadi negara modern dulu. Dengan biaya yang tidak terlalu besar sudah dapat dibuat toilet yang bersih dan nyaman. Uruslah dengan baik. Untuk pemeliharaannya, bukankah pengunjung yang menggunakan harus membayar. Jangan dibiarkan kesan jorok itu terus menempel di ingatan pengunjung Kota Bandung.

Persamaan kata jorok dalam bahasa Sunda adalah odoh, lodro, ledrek, botrok, dan jorok itu sendiri yang artinya tidak mengindahkan urusan kebersihan. Odoh, lodro, dan ledrek lebih cenderung kepada cara memakai baju yang jarang dicuci, sedangkan botrok lebih cenderung kepada kebersihan anak, umpamanya anak flu yang ingusnya tidak dibersihkan atau kalau mau makan, tidak mencuci tangan dulu. Lawan kata odoh, botrok, lodro, dan jorok adalah berseka.

Hadirnya sebuah kata dalam suatu bahasa menandakan kata tersebut dimengerti maknanya dan keadaan itu, dalam hal ini keadaan lodro atau jorok, terjadi pada masyarakat pengguna bahasa tersebut. Ironisnya, keadaan jorok itu masih tampak sampai sekarang, setidaknya masih tecermin pada kondisi toilet umum di Tatar Sunda atau khususnya di Kota Bandung.

Perihal toilet ini, ada baiknya membaca kembali naskah Sunda kuno, yaitu naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) yang dibuat pada tahun 1518 M. Pada akhir Bab IX dan pada awal Bab X, di situ disebutkan, apabila pulang ke kota jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah di ujung bagian yang tidak berumput, agar tidak tercium baunya oleh menak dan gusti (pejabat dan raja).

Masih menurut SSK, sebaiknya berak itu tujuh langkah dari pinggir jalan, dan apabila kencing, sebaiknya tiga langkah dari pinggir jalan. Mengapa naskah SSK sampai harus memuat aturan ini? Setidaknya bisa ditafsirkan bahwa masyarakat saat itu sangat jorok dalam hal buang air besar atau buang air kecil. Sampai-sampai aturannya harus ditulis dalam sebuah naskah.

Hal ini sebenarnya hampir sama sampai pada dekade tahun 1970 di daerah pinggiran, atau di daerah terpencil bila akan buang hajat besar, cukup pergi ke reuma (hutan perdu). Hampir tak bisa dipercaya dalam rentang waktu lebih kurang 450 tahun, dari SSK ditulis sampai dekade 1970, kondisinya hampir tidak berubah dalam hal buang hajat besar. Mungkin menurut ukuran masyarakat saat itu, hal tersebut bukan hal jorok, sebaliknya menurut ukuran masyarakat sekarang atau masyarakat perkotaan, hal itu sangat jorok.

Masyarakat urban

Kota Bandung sarat dengan masyarakat urban, masyarakat dari luar Kota Bandung, baik rakyat biasa maupun pejabatnya. Mungkin saja pikiran masa lalu, pikiran arkeologis, masih menempel kuat dengan tidak disadarinya tak peduli kepada pejabat sekalipun. Toilet di ruang publik disamakan dengan reuma atau pacilingan atau tampian di tempat asalnya.

Pacilingan adalah tempat buang hajat besar. Tempat itu biasanya dibuat di pinggir kali atau kali itu sendiri sebagai pacilingan, atau dibuat di atas kolam yang tidak terlalu memerlukan pemeliharaan kebersihan. Sebab, konsepnya adalah porocot leos, bila sudah selesai, langsung ditinggalkan (pola air mengalir).

Tampian adalah pemandian umum. Tempatnya bisa di pinggir tebing yang ada sumber air alam (seke atau cai nyusu) atau di pinggir kali (walungan).

Di tampian biasanya ada pancuran, yaitu air yang mengalir terus-menerus dari bambu utuh yang ruasnya dilubangi. Di tampian ini pemeliharaan kebersihan pun hampir tidak ada walaupun kegiatannya hanya mandi serta mencuci baju dan perabot dapur.

Keberadaan pacilingan dan tampian tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan masyarakat Sunda sebagai peladang (ngahuma) dalam memilih tempat permukiman, yaitu daerah lengkob (daerah bagian bawah di antara dua bukit) yang ada sumber airnya, baik seke maupun sungai. Ini bisa dilihat di beberapa kampung adat, seperti Kampung Naga dan Kampung Kuta.

Sesuai pola masyarakat yang ngahuma, jumlah pemukim pun tidak banyak, hanya berupa keluarga dekat sehingga pacilingan dan tampian tidak perlu di setiap rumah, cukup satu dipakai bersama-sama. Tampian merupakan salah satu tempat bersosialisasi satu dengan yang lain. Cerita dan gosip kaum perempuan muncul saat menunggu mandi atau saat sedang mencuci perabot dapur. Apabila daerahnya gersang atau saat kemarau tiba air tidak mengalir deras, buang hajat besar cukup di reuma.

Budaya membersihkan

Di Bandung pun keberadaan toilet di rumah pribadi umumnya belum terlalu lama kecuali di hotel dan rumah-rumah gedongan atau rumah bekas Belanda. Kemunculan toilet di rumah pribadi sejalan dengan maraknya kompleks perumahan yang dibuat pengembang perumahan sekitar awal tahun 1980. Sebelumnya masih banyak sumur galian sebagai sumber air yang dilengkapi dengan tempat mandi, cuci, dan kakus yang dipakai bersama-sama.

Hal itu memunculkan istilah batur sasumur sebagai kata lain dari tetangga dekat. Tanggung jawab pemeliharaan kebersihan lebih kepada kesadaran masing-masing pengguna. Tidak ada ketentuan khusus, apalagi hukuman apabila melanggarnya. Dengan demikian, adalah hal wajar bila toilet umum selalu berkesan jorok. Ini karena budaya membersihkan hampir tidak ada.

Sebagai kado menjelang ulang tahunnya ke-200, tahun depan, Kota Bandung sudah saatnya merenovasi toilet umum yang jorok menjadi toilet umum yang bersih dan nyaman di semua ruang publik. Pekerjaan ini bukan pekerjaan besar dan mahal, tidak perlu debat bernuansa politik di DPRD, tidak perlu lobi ke setiap fraksi, tidak perlu menghitung angka yang rumit di APBD, dan tidak perlu membentuk Bandung Water Closet Watch (BWCW). Cukup dengan menjentikkan jari kelingking wali kota tanda setuju, bersih dan nyamanlah toilet umum.

Yang juga penting adalah pemeliharaan kebersihannya berkesinambungan. Sudah saatnya mengikis habis pikiran arkeologis yang jorok itu, baik dari penjaga toilet umum maupun dari pejabat. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman. Hidup Bandung Berseka supaya Bermartabat.

MAMAT SASMITA

Penggiat Rumah Baca Buku Sunda

(Dimuat di rubrik Forum Kompas Jabar tanggal 30 Oktober 2009)

17 September 2009

MEDIA MASSA DI TATAR SUNDA

Laporan : MAMAT SASMITA

AYA pamadegan yen tarung marebutkeun pangsa pasar media massa nu sabenerna mah ayana di Bandung. Nu jadi marga lantaranana Bandung mah kacida nampeuna ka Jakarta. Media massa citak nu medal di Jakarta dipasarkeun di Bandung. Sedengkeun media massa nu medal di Bandung ge kaitung rea. Parebut pangaruh sangkan dibaca ku urang Sunda, lain bae parebut papada media massa nu medal di Jakarta. Deui-deui kudu tarung padungdung jeung media massa (satuluyna urang sebut koran) nu medal di Bandung. "Berdarah-darah" kitu istilahna teh. Keur ningali kumaha parebutna pangaruh, deugdeug we ka Cikapundung, pasar koran subuh-subuh. Talingakeun, mana nu pangdidagoanana ku para agen koran. Mun koran A didagoan ku agen najan nepi ka rada beurang, sedengkeun koran sejen ukur didiukan padahal datang pangsubuhna, eta hartina koran A loba nu maca, meunang pangaruh.
Media massa lain bae koran tapi aya deui media massa elektronik kayaning televisi jeung radio. Nu dimaksud televisi dina sawala di PSS nyaeta televisi lokal, siaran televisi nu aya di Bandung, ari radio mah saheulaanan teu dibahas dina sawala.
Kumaha eusina boh koran boh televisi, nu sakitu berdarah-darah marebutkeun nu maca, marebutkeun nu lalajo. Naha geus ngawadahan kapereluan informasi nu sipatna keur kapentingan urang Sunda?
Keur ngaguar ieu perkara, Sawala PSS dina tanggal 14 Agustus 2009, ngondang Cecep Burdansyah ti Tribun Jabar jeung Mugiana ti Bandung TV.

Koran

Reposisioning, kitu istilahna cek Cecep, waktu koran Metro Bandung robah ngaran jadi Tribun Jabar. Basa ngaranna masih Metro Bandung, cek urang Garut teh teu hayang meuli koran nu urang Bandung, kitu deui urang Cirebon. Padahal Metro Bandung teh ajangkeuneun urang Sunda lain bae nu aya di Bandung. Tina pangalaman eta nya robah ngaran jadi Tribun Jabar, Alhamdulillah, cek Cecep, sanggeus robah ngaran nu maca beuki ngalegaan, nu masang iklan beuki merul. Urang Garut, urang Cirebon asa kaaku.
Posisioningna ayeuna Tribun Jabar teh koran nasional nu medal di Bandung. Head on (adu hareupan) jeung koran sejen nu ngaku geus "menyebar mengakar" di Jawa Barat.
Najan mosisikeun diri jadi koran nasional tapi tina sisi geografis nyabit ngaran Jabar (Jawa Barat) tangtu we kapentingan masarakat Jabar jadi prioritas. Boh kapentingan ekonomi, politik, kaamanan jeung kapentingan budaya. Cecep ge ngaku ari dina kaca hiji mah, dina headline, mun warta ti Tatar Sunda teu pati kuat, nya beja nu sifatna nasional jadi headline. Warta sejen saperti olah raga, lifestyle mun ditilik mah saimbang jeung nu sifatna nasional, ieu teh keur nyaimbangkeun psikografi nu macana. Ieu teh teu leupas tina strategi dagang.
Pangalaman Cecep, nyieun rubrik opini teh nepi ka dua taun kakara disatujuan ku korporat Tribun. Ditimbang-timbang untung rugina, ditimbang bisinisna. Nu karasa hese ngajawab waktu ditanya naha rubrik opini perkara budaya, urang Sunda teh "bareukieun?" boa-boa teu dibaca. Keur ngayakinkeun yen rubrik opini teh perelu tur bakal dibaca nya perelu waktu dua taun tea. Alhamdulillah ayeuna mah geus jadi ciri yen di Tribun Jabar aya rubrik opini nu matuh. Unggal poe Senen aya opini ti para ahli nu topikna ditangtukeu ku redaksi, Salasa Jumaah diajangkeun keur guru, keur mahasiswa poe Rebo, ari Kemis jeung Saptu eta mah keur umum. Rubrik opini teh mangrupa martabat hiji koran, nu ngawadahan pikiran-pikiran nu macana. Cek Cecep naha ieu teh tos nyunda atawa teu acan, eta mah mangga riyanggakeun ka sadayana.
Perkara nyunda keur saheulaanan diwatesanan ku ngawadahan eusi warta ti Tatar Sunda tur aya opini ti masarakat Sunda, asal ulah ngarempak kodeu etik jurnalistik. Da ari wanda (style) tulisan mah biasana mekar tur jadi ciri sewang-sewangan unggal koran.
Tingkat persaingan bisnis koran di Tatar Sunda teh sakitu peuheurna. Pikeun ngungkulan masalah ieu Cecep ngadadarkeun strategina nyaeta kumaha carana ngolah isu penting. Mun ngan sakadar dianggap penting, pasti kaleled. Komo ayeuna mah aya internet, aya facebook, beja penting teh pan pasuliwer siga nu real time. Tah kudu dibedakeun antara unsur nu dianggap penting jeung unsur proses nu dramatis nepi ka jadi penting.
Soal harga koran, eta mah da fluktuatif, kapan aya koran mun leuwih ti jam sapuluh beurang langsung ngagejret, cek Cecep mending manteng we dina harga nu geus dipatok jeung ongkoh deuih sabenerna mah infromasi teh kudu haratis.

Televisi

Media televisi kakuatanana aya dina audio visual (sora jeung gambar hirup). Kaendahan Tatar Sunda bisa langsung katingali, kitu deui budaya Sunda bisa katingali kumaha beungharna. Kakuatan ieu teh jadi daya tarik nu kacida gedena mangaruhan kana persepsi masarakat nu lalajona. Televisi lokal beda jeung televisi nasional, keur televisi lokal mah kudu nyoko kana potensi lokal (basa, seni, budaya) jeung entertainment. Ditambah ku eusi warta teh kudu deukeut (proximity) jeung masarakatna.
Sadar kana ieu kakuatan, Bandung TV, ngawanohkeun sababaraha acara nu dasarna kana budaya Sunda. Di antarana warta berita "Tangara Pasundan" nu midang ti Senen nepi ka Jumaah unggal tabuh satu beurang. Acara "Golempang" nu ngabahas perkara kasundaan unggal malem Jumaah. Mun dipersentasekeun mah meh 50% acarana nyoko kana budaya Sunda.
Di Bandung, televisi lokal teh lain bae Bandung TV aya deui saperti Pajajaran TV (PJTV), STV nu geus wani ngasongkeun sababaraha program acara ngadumaniskeun antara potensi lokal jeung entertainment, hiburan. Atuh teu kaliwat di PJTV jeung STV ge boga acara warta berita dina basa Sunda.
Papadaning kitu, aya rasa kamelang nyaeta lebah miarana tur ngokolakeunana nu bangun sahayuna. Pedah eta dina midangkeun warta berita basa Sunda teh meunang narjamahkeun tina basa Indoneesia jeung narjamahkeunana siga harfiah lain tina wangun kalimah. Antukna loba kekecapan nu teu merenah geus puguh ari kamalayon mah. Keur ngungkulanana kudu daek tatanya ka para ahli basa Sunda nu aya di LBSS, atawa nu aya di paguron luhur kayaning UPI jeung UNPAD.
Hal sejen nu ditanyakeun ku nu hadir dina sawala di antarana naha enya ari ngagambarkeun Sunda teh kudu bae suasana pilemburan, make pakean tradisional, diuk di saung, suling ngagelik. Kitu deui dina paguneman saperti dina acara "Golempang" di Bandung TV, tara pisan aya dogdag ngabela pamadegan, sigana teh silih eledan we. Najan nu sawala pada sapuk teu kudu kitu ngagambarkeun Sunda teh, tapi can aya kajinekan kudu kumaha. Malah aya nu ngusulkeun sangkan aya audience survey, pikeun nyaho kumaha kahayang nu lalajo televisi.
Diaku ku Mugiana loba keneh nu kudu dibebenah, ari soal nyunda henteuna mah nyanggakeun ka pamiarsa, da mun nilik acarana mah geus loba nu make kasang tukang budaya Sunda.

Harepan

Ngagoongan kana eusi sawala, Setia Permana, anggota DPR-RI, nandeskeun najan enya aya kahandeueul sabab mireng media massa di Tatar Sunda jauh tina harepan, tapi alusna mah terus we dipaju. Urang silih benerkeun, ulah silih salahkeun, sugan ka hareup mah beuki alus.
Kreativitas media di tatar Sunda teh kudu beuki nambahan, apan Bandung teh kawentar gudangna kreativitas, komo dina widang modeu, lifestyle jeung kuliner mah, maenya dina widang media massa kudu eleh, ulah ukur ngeuyeumbeu.

• Nu nulls, panumbu catur
matuh sawala Pusat Studi Sunda,
Bandung
(Di muat dina majalah basa Sunda Cupumanik No.74 September 2009)

08 August 2009

MUSEUM SRI BADUGA

Laporan : MAMAT SASMITA

Museum teh cenah asalna tina basa Yunani, museion, nu hartina salah sahiji wangunan suci pikeun muja Salapan Dewi Seni jeung Elmu Pangaweruh. Tina salapan dewi eta aya nu disebut Mouse anakna dewa Zeus jeung istrina Mnemosyne. Museion. Lian ti dianggap suci museion teh jadi tempat ngumpulna para cendekiawan pikeun silih simbeuhan elmu jaman harita. Kiwari harti museum teh nyaeta hiji lembaga nu sifatna tetep, teu neangan kauntungan, ngaladenan kaperluan masarakat jeung ngamekarkeun eusina, dibuka pikeun umum, ngarawatan banda budaya, mamerkeun keur tujuan pendidikan, panalungtikan.
Ari di Bandung aya Museum Negeri Jawa Barat nu disebut Museum Sri Baduga tempatna di Jl. BKR No.185 Bandung, deukeut Tegallega.
Keur ngaguar kabeungharan museum Sri Baduga, Pusat Studi Sunda tanggal 17 Juli 2009 ngayakeun sawala bulanan nu jejerna Kabeungharan Museum Sri Baduga, nu jadi panyaturna Nana Mulyana ti Museum Sri Baduga.

Kasang tukang jeung sajarahna.

Titilar karuhun nu bacacar di Tatar Sunda kaitung loba boh nu geus rek musnah boh nu aya keneh dikieuna. Kamekaran hiji budaya lumangsung terus ngigelan sajarah masarakatna tur luyu jeung pasangsurudna pola kahirupan. Keur ngawadahan titilar karuhun tadi nya perlu ngadegkeun hiji tempat nu disebut museum. Rarancang ngadegkeun museum negeri Jawa Barat ti mimiti taun 1974, tempatna ngagunakan urut gedong kawadaan Bandung, hareupeun Tegallega. Legana lahan nu dipake 8.415,5 meter pasagi.Sabagian tina gedong urut kawadanaan tetep dipertahankeun luyu jeung aslina. Kahayang ngadegkeun museum di Bandung teh tangtu aya samemeh taun 1974, ngan hanjakal teu kapaluruh saha-sahana nu ngamimitian boga pokal kitu.
Museum Negeri Jawa Barat resmi dibuka tanggal 5 Juni 1980 ku Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Dr Daud Joesoep dibarengan ku Gubernur Jawa Barat, H. Aang Kunaefi. Tanggal 1 April 1990, sanggeus meh sapuluh taun diresmikeun, kakara ditambahan ngaranna jadi Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga”, ngalap ngaran gelar raja Pajajaran nu jeneng ti taun 1482 nepi ka taun 1521. Sedeng operasionalna aya dina panalingaan Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sanggeus jaman otonomi daerah robah deui jadi Museum Negeri Sri Baduga tur jadi UPT (Unit Pelaksana Teknis) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat bari jeung ganti ngaran jadi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Mugi mugi we ku robah-robah ngaran jadi bakal leuwih nanjung.
Cek Nana Mulyana, wangunan nu aya ayeuna geus luyu jeung kaperluan museum. Aya rohang pameran, rohang rapat, auditorium, rohang administrasi, pabukon, papanggungan, tempat parkir kendaraan jeung lian ti eta. Gedong museum diwangun ku tilu umpak, umpak kahiji eusina batuan (geologi), flora, fauna, manusa purba jeung prasajarah, religi masarakat prasajarah nepi ka jaman Hindu-Budha. Umpak kadua eusina religi masarakat jaman kiwari (Islam, Kristen, Kong Hu Cu/ Taoisme), sistem pangawareuh, basa jeung parabot kahirupan sapopoe. Umpak katilu eusina parabot kasab, teknologi kiwari, kasenian, perjuangan bangsa, wawasan Nusantara jeung Bandung jaman baheula.

Koleksi Museum Sri Baduga.

Nepi ka kiwari Museum Sri Baduga geus ngumpulkeun rupa-rupa artefak aya kana genep rebu lima ratus leuwih rupa, ti mimiti anu leutik nepi ka nu gede, mangrupa banda budaya lain bae titilar karuhun di Tatar Sunda tapi deuih ti daerah sejen sakuliah Nusantara.
Ngarah leuwih ngagampangkeun nyatetna atawa ngaadministrasikeunana, koleksi teh dipasing-pasing aya sapuluh klasifikasi, dibere kode ti 01 nepi ka 10.

Tina koleksi nu jumlahna leuwih ti genep rebu lima ratus rupa teh ngawengku tina hasil meuli ti masarakat (63%) jeung tina sumbangan ti masarakat (37%). Lolobana, boh meunang meuli, boh sumbangan ti masarakat aya dina klasifikasi etnografika (36%)nu pangsaeutikna dina klasifikasi historika (0,22%). Kukituna Nana Mulyana umajak ka masarakat lamun tea mah anggota masarakat nu boga banda budaya tur leuwih mangpaat lamun disimpen di museum, leuwih hade di ka museumkeun. Naha bade diical atanapi bade disumbangkeun, cek Nana kalawan daria, Insya Alloh di museum bakal dimumule kalawan dihade-hade.
Ngarawatan sakabeh barang nu aya di museum make pola nu geus maneuh, ti mimiti cara nyimpen tuluy ngarawatanana, nu paling sederhana kalawan rutin sok difumigasi (dihaseup) sangkan sato leutik kayaning geget teu ngaruksak.
Aya dua cara ngaberesihan barang di museum kahiji cara manual (dipigawe langsung) upamana ngaberesihan lebu kokotor, dikebutan disebutnya cara garing, ari cara baseuh upamana meresihan lukut, make cai, gumantung kana wanda nu diberesihanana. Kaduana nyaeta cara kimiawi (sok aya nu nyebut AC322), bahan ieu diolah heula jadi bubur kakara dioleskeun kana bagian nu kotor nu hese diberesihanan, terus dikumbah ku cai, nepi ka pH (keasaman) normal.
Lamun aya barang nu potong, disambungna teu sagawayah, sahenteuna make lem divasfuller atawa epicol. Lamun nu potongna tina barang nu gede tur beurat kudu ditambahan ku kuningan sangkan kuat jeung teu karahaan. Saterusna make lapisan pelindung mangrupa PVA (polivinil asetat) konsentrasi 2-3% diencerkeun make etil asetat, dioleskeun saeutik saeutik nepi ka rata tur sina garing. Ari ngan sakadar rengat mah cukup ku diinjeksi lem. Teknik ngarawatan sejen masih loba keneh upamana sangkan warna henteu jadi belel, eta mah make bubuk pewarna nu meh sarua, jeung teknik sejena.

Kagiatan Museum.

Kagiatan museum Sri Baduga meh sarua jeung kagiatan museum umumna, nyaeta aya nambahan koleksi, ngadokumentasikeun koleksi, ngarawatan koleksi, pameran maneuh, pameran temporer jeung publikasi. Basa waktu milangkala Museum Sri Baduga anu ka 29, bulan Juni 2009, geus ngayakeun pameran Kaen Nusantara. Disebut Nusantara teh lantaran gawe bareng jeung 17 museum propinsi, 3 museum daerah, temana “Pesona kain Nusantara Menuju Pasar Global dan Industri Budaya”. Tujuanana pikeun ningkatkeun apresiasi boh pelajar, mahasiswa jeung umum ka Museum Sri Baduga hususna, umumna mah dipiharep beuki mikacinta kana budaya lokal nu beunghar ku ku kearifan lokal.
Demi nu ngadeugdeug ka museum dina sapoena teh rata-rata 100 urang, tapi lamun keur pere sakola mah sok leuwih loba malah bisa ningkat nepi ka 300%, kalan kalan leuwih. Lolobana nu ngadeugdeug teh murid sakola SD nepi ka SMA kurang leuwih 60%, sesana mah aya mahasiswa, umum jeung urang asing.
Kagiatan sejen nyaeta mamerkeun koleksi museum kana mobil keliling, ka unggal ibu kota kabupaten.

Harepan

Aya nu nepikeun harepan ti pamilon sawala sangkan di unggal ibu kota kabupaten atawa kotamadya aya museum nu nyoko kana kabeungharan budaya lokal daerahna. Lian ti eta waragad pikeun nambahan koleksi museum kudu enya-enya diperhatikeun atawa togmolna mah kudu leuwih gede sangkan lamun meuli banda budaya ti masarakat teu leutik hargana. Ulah nepi ka banda budaya teh dibeulian ku jalma deungeun ti nagara sejen, nu leuwih gede daya tawarna, enya bisi urang pareumeun obor.

Mamat Sasmita, panumbu catur matuh Sawala di PSS.
(Dimuat dina Majalah Basa Sunda Cupumanik No 73 Agustus 2009)

12 July 2009

DOMBA GARUT , Tandang di Kalang Gandang di Lapang

Laporan ku : MAMAT SASMITA

DINA sawatara naskah Sunda buhun, ingon-ingon nu dipikaresep teh sok disebut cocooan. Kecap cocooan asalna tina coo atawa nyoo, nu cek kamus mah ngandung harti nyekel barang atawa sato nu dipikaresep. Resep kana ingon-ingon teh keur sawatara jalma mah lain ngan resep nyoona, tapi aya kalana jadi pangupa jiwa. Loba nu resep kana ingon-ingon teh, aya nu resep kana manuk, kana lauk dina akuarieum, kana ucing, kana domba. Ari lebah domba, nu mindeng jadi kacapangan teh domba Garut. Eta pedah tandukna alus, buluna luis, tur kacirina gagah kacida.
Perkara domba perdombaan pisan nu jadi jejer sawala bulanan Pusat Studi Sunda (PSS), poe Jumaah tanggal 5 Juni 2009 ka tukang. Nu jadi panyaturna Dr. Ir. Dedi Rachmat M.S. ti Fakultas Peternakan Unpad.

Sajarah Domba Garut

Domba Garut nu ayeuna ka wentar teh asalna tina hasil kawin silang tilu turunan: domba Merino ti Australi, domba Capstaad ti Afrika Kidul jeung domba nu aya di Garut.
Aya nu nyebutkeun yen eta tarekah ngawin-ngawinkeun domba teh dimimitian dina awal abad ka-19 ku pokalna K.F. Holle. Terus dipiara, dihade-hade, ku bupati Limbangan harita.
Tina eta kawin silang ayana domba Garut ayeuna teh. Awakna gede semu buleud cara ilaharna domba lokal, tandukna alus cara domba Merino, Nya jadi domba nu miboga ciri mandiri, beda ti domba nu jadi bibit buitna. Dom¬ba Garut mah pan boga insting diadu, teu cara domba Merino.
Cek sakaol, mimiti aya domba Garut teh jaman pamarentahan Bupati Limbangan Suryakanta Legawa (1815-1829). Bupati Lim¬bangan teh mindeng nepungan balad sapaguron nyaeta Haji Soleh, nu boga domba dingaranan si Lenjang. Eta domba dikawinkeun jeung Si Dewa, dom-bana bupati di pendopo. Borojol Si Toblo, anakna si Dewa jeung si Lenjang. Turunan si Toblo pisan cenah nu ayeuna jadi domba Garut teh.

Ciri-cirina Domba Garut

Aya sababaraha ciri domba Garut, diantarana buntutna disebut beurit, rubak ka luhur tur tungtungna semu seukeut. Ceulina disebut rumpung, lain dina harti pegat tapi leuwih leutik, aya nu nyebut ngadaun hiris. Nu ceulina gede sok disebut domba bongkor. Huluna rada lega lebah tarang, tagogna rada gembru, munuu. Nu jadi ciri utama mah tanduk: gede jeung kapiara, dialus-alus, tur simetris antara kenca jeung katuhu. Tagogna gagah, wanian tapi kalem boga wibawa.
Ciri mandiri domba Garut teh eces deuih tina sawatara islilah husus nu sk diparake. Adeg-adeg, upamana, ngindung kana wa¬ngun awak domba nu harmonis antara beuteung, suku jeung hulu. Tanggoh, weweg. Ari jingjingan nyaeta wangun tanduk, ukuran jeung proporsi tempatna. Terus aya ules nyaeta rupa beungeut nu kasep narik ati. Baracak nuduhkeun kombinasi warna kulit didominasi warna hideung atawa kulawu kalawan aya totol hi¬deung leutik nu mancawura teu pati aturan. Demi baralak nuduhkeun rupa warna bulu nu ampir sarupa jeung baracak ngan totol-totolna leuwih gede.
Tina ules beungeutna, domba Garut teh kasep. Matana ge siga kupa. Atuh ceulina aya nu rumpung, rumpung sapotong, ngadaun hiris jeung ngadaun nangka. Ari tandukna aya nu ngabendo, golong tambang, gayor, satengah gayor, leang-leang jeung sogong, kalawan kualitasna bisa poslen, waja, beusi jeung ngagebog. Buluna aya nu disebut sambung, riben, belang sapi, macan, jog-jog, laken, baracak, monyet, lunglum, perak, bodas apu jeung riben mencenges. Demi buntutna aya nu ngabuntut beurit, ngadaun waru jeung ngabuntut bagong. Kanjutna aya nu laer, ngarandu jeung ngajantung. Sukuna aya nu mancuh, kuda, regang waru jeung meureup ucing.

Pelem Dipanggang

Domba Garut teh dipiara lain bae keur kaperluan tandang di pakalangan, tapi deuih keur dijieun pangupa jiwa nu miarana. Ongkoh rea mangpaatna, sakumaha nu dibahas ku Dedi Rachmat. Geura we, taina, upamana bae, pan bisa dijieun gemuk. Atuh dombana pisan saenyana mah bisa dijieun tabungan kulawarga, lantaran payu dijual iraha bae. Lian ti eta, ku miara domba Garut mah status sosial nu miarana ge katembong nenggang, kaasup jalma jegud.
Puguh we teu sagawayah milih dombana ge. Bibitna kudu unggul, sehat tur turunan nu genjah. Hakaneunana kayaning jukut jeung pakan sejenna kudu sadia. Atuh prak-prakanna miara domba tangtu kudu puguh manajemenna, ti mimiti nyieun kandang tepi ka ngungkulan panyakitna jeung masarkeunana.
Miara domba Garut ge bisa milu nyumponan kabutuh masarakat kana daging. Daging domba teh saenyana teu pati jauh bedana jeung daging sapi, kandungan lemakna loba. Ngan pedah cek mitosna, pajar ngadahar daging domba mah kolesterol dina awak urang teh sok babari naek. Eta cenah deuih dagingna leuwih bau batan daging sapi. Tapi, cek Dedi, eta mah kumaha kaparigelan juru masak bae dina ngolahna.
Taun 1999 ka lembur urang kungsi diadatangkeun domba ti Barbados sababaraha pasang. Terus dikawinsilangkeun jeung domba Garut (jaluna) atawa domba Priangan. Hasilna, domba Pribados (wancahan tina Priangan jeung Barbados). Alus dagingna, cenah. Beurat deuih: nu gede bisa 50 kg nepi ka 60 kg.
Domba Pribados mah, najan jalu tapi teu tandukan. Tandukan mah enya tandukan ketang, ngan orokaya leutik. Lantaran teu pati kaciri tandukna domba Pribados teu pati dipikaresep, tur teu pati payu dina usum Idul Qurban ge. "Padahal mah nya, da di Arab Saudi ge onta mah teu tandukan," omong Dedi bari heureuy.

Plasma Nutfah Jawa Barat

Domba Garut teh lain bae geus jadi kabeungharan plasma nuftah Garut tapi deuih geus jadi ka¬beungharan plasma nuftah Jawa Barat. Narekahan hal kitu tangtu perlu waktu tur tanaga nu gede. Salah sahijina merlukeun standarisasi cara nu geus dipilampah ku Fakultas Peternakan Unpad.
Numutkeun standar beunang urang Unpad, domba Garut nu alus teh antarana kudu nyumponan kriteria:
1. Kriteria inklusi: domba Garut kudu boga ciri nu husus saperti buntut ngajuru tilu tibalik, gede ka puhu (ngabuntut beurit atawa ngabuntut bagong), ceuli kudu rumpung/rudimenter atawa ngadaun hiris. Lamun tea ciri eta teu kaciri nya teu disebut domba Garut.
2. Standardisasi sifat kuantitatif bibit domba Garut (tingali Tabel Kuantitatif).
3. Standardisasi sifat kualitatif (tingali Tabel Kulitatif).
4. Aspek Produksi
a) - Beurat Lahir Jalu Tunggal = 2,62 - 3,42 kg.
- Beurat Lahir Jalu kembar = 2,48 - 2,96 kg.
- Beurat Lahir Jalu kembar tilu = 2,12-2,41 kg.
- Beurat Lahir Jalu kembar opat = 1,84-2,13 kg.
b) Beurat waktu disapih =10-13 kg
c) Waktu Sapih = 3-4 bulan.
d) Nambahan beurat awak unggal poe/ADG = 60- 120g.
e) Produksi Ekonomis 6-7 taun.
0 Dewasa (Awak) =18 bulan.
5. Aspek-aspek Reproduksi Domba Garut Jalu
a) Dewasa Birahi-6-8 bulan.
b) Dewasa Awak=8-24 bulan.
c) Umur Produktif=6-8 taun.
d) Kualitas Semen :
- Konsistensi— kentel
- Warna-krem
- Bau=khas hanyir
- Gerakan Masa = +++
- Libido = puncak
e) Waktu kawin = euweuh usumna

Harepan

Lantaran boga ajen ekonomi jeung geus jadi kabeungharan plasma nutfah Jawa Barat, domba Garut teh geus pasti kudu dimumule jauhna jadi ladang paka-saban masarakatna. Ulah nepi ka di Garutna sorangan nu jadi sentra bibit unggul ieu domba teh kalin-dih ku daerah sejen atuh komo la-mun nepi ka dipaling ku nagara sejen.


Mamat Sasmita
Moderator matuh Sawala Bulanan PSS.
(Dimuat dina Majalah Basa Sunda Cupumanik No. 72 Juli 2009)

07 June 2009

MULASARA NASKAH SUNDA

Laporan : MAMAT SASMITA

Dina basa Indonesia aya paribasa “seperti padi hampa, makin lama makin mencongak” (Peribahasa/K St Pamuncak/ Balai Pustaka/ 1983) hartina mah kurang leuwih jalma sombong nu teu boga elmu ngomongna sok beuki luhur. Eusi paribasa nu sawanda siga kitu kapanggih dina naskah Sunda kuno nyaeta dina naskah Amanat Galunggung (abad ka 16) :
“….na twah ra(m)pes dina urang, agmani(ng) pare, mangsana jumarun, telu daun, mangsana dioywas, gede pare, mangsana bulu irung, beukah, ta karah nunjuk ka langit, tanggah ka karah, kasep nangwa tu iya ngaranya, umeusi ka karah lagu tungkul, harayhay asak, ta karah candukul, ngarasa mameh kaeusi, aya si nu hayang, daek tu maka hurip na urang reya, agamaning pare pun. Lmun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak tanggah, hapa ngarana, pahi deung ayeuh ngwara ngarana, hanteu alaeunana, kitu tu agama di urang rea…”
Kitu deui dina naskah kuno sejenna, bakal kapanggih kabeungharan eusi batin urang Sunda mangsa bihari, keur pieunteungeun mangsa kiwari. Hanjakalna naskah kuna Sunda loba keneh nu can kaguar. Loba alesanana, diantarana , naskah Sunda ditulis dina aksara Sunda kuna, nu bisa maca ngan ukur hiji dua.
Pikeun ngaguar perkara naskah Sunda kuna, Pusat Studi Sunda ngayakeun sawala maneuh poe Jumaah tanggal 8 Mei 2009, jejerna : Transliterasi Naskah Sunda Kuna PNRI (Perpustakaan Nasional RI) nu jadi panyatur nyaeta Aditya Gunawan ti PNRI jeung Mamat Ruhimat ti Unpad.

Naskah Sunda Kuna di PNRI.

Samemeh ngaguar naskah Sunda di PNRI Aditia Gunawan nyebutkeun heula naon nu dimaksud naskah. Nyaeta karya tulis manual dina media lontar, nipah atawa gebang, awi jeung dina media daluang. Aksara dina naskah rupa-rupa aya nu aksara Sunda kuna, aksara Buda, Cacarakan jeung Pegon. Dumasar kana tempat diteundeunna koleksi naskah Sunda di PNRI dibagi dua nyaeta koleksi nu diteundeun dina rak jeung koleksi nu diteundeun dina peti. Unggal naskah ditandaan ku kode naskah jeung nomer koleksi.
Koléksi nu diteundeun dina rak umumna mangrupa koléksi naskah nu geus dijilid, ngawengku (1) koléksi utama naskah Sunda (SD), (2) koléksi utama Koninklijk Bataviaasch Genootschap (KBG), jeung (3) koléksi naskah jilidan Dr. Brandes (BR).
Demi koléksi naskah nu diteundeun dina peti, sumebar dina sababaraha sub koléksi nyaéta (1) koléksi arsip jeung catetan C.M. Pleyte (PLT), (2) koléksi arsip jeung catetan K.F. Holle (KFH), (3) koléksi lambaran arsip Dr. Brandes (NBR), (4) koléksi arsip nu diteundeun dina lomari Brandes (LBR), jeung (5) koléksi naskah Sunda kuna nu ditulis dina daun lontar, nipah jeung awi.
Kajaba ti bungkeuleukan naskahna téh, PNRI mibanda koléksi mikrofilm deuih, ngawengku leuwih kurang 147 naskah Sunda koléksi PNRI jeung naskah-naskah koléksi Lima Lembaga Jawa Barat (dina 50 rol mikrofilm). Di antara naskah-naskah Sunka koléksi PNRI, naskah Sunda kuna (NSK) can dimikrofilmkeun.
Ku tungtutan kamajuan téknologi informasi, kiwari Perpusnas geus ngadigitalisasikeun sababaraha naskah Sunda, jeung sabagian di antarana bisa diaksés ku saha waé kalawan gratis ngaliwatan jaringan internet. Naskah bisa dipulut (didownload) dina format PDF jeung Flash HTML kalawan babari tur gancang. Ramatlokana nyaeta http://digilib.pnri.go.id .
Pikeun maluruh naskah-naskah nu aya di PNRI, panalungtik naskah bisa ngamangpaatkeun rupa-rupa katalog naskah Sunda, boh anu geus diterbitkeun boh anu can diterbitkeun. Katalog naskah Sunda koléksi PNRI nu geus diterbitkeun di antarana susunan Edi S. Ekadjati (LKUP, 1988), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid IV Perpustakaan Nasional RI: susunan Behrend, spk. (Yayasan Obor Indonésia jeung École Francaise d’Extremê-Orient, 1998), Jawa Barat: Koléksi Lima Lembaga susunan Edi S. Ekadjati jeung Undang A. Darsa (Yayasan Obor Indonésia jeung École Francaise d’Extremê-Orient, 1999). Sedengkeun katalog Naskah Sunda Koléksi PNRI nu can diterbitkeun atawa mangrupa sténsilan di antarana Memed Sastrahadiprawira, Fisik Naskah Sunda Koléksi PNRI yasana Ruhaliah, Naskah Sunda Kode SD Koléksi PNRI susunan Ruhaliah. Husus keur NSK mah, nepi ka danget ieu can aya katalog anu lengkep tur informatif.
Dina bulan Mei nepi ka bulan Juli 2008, PNRI ngayakeun kagiatan stock opname kana koléksi naskah. Kagiatan téh dilaksanakeun pikeun maluruh kaayaan fisik naskah. Tina éta kagiatan téh, kapanggih ogé sababaraha NSK nu salila ieu nyumput, teu kadaftar dina katalog, atawa tacan ditalungtik ku para ahli.
Pikeun gambaran aya data naskah nu kungsi ditalungtik jeung nu can ditalungtik (tingali gambar grafik).
Ka hareupna Aditia Gunawan miharep sangkan beuki loba nu nalungtik tur dipiharep pisan sangkan naskah asli geuwat di digitalisasikeun. Tujuanana sangkan kasalametkeun, malum naskah teh geus umuran, bisi kaburu ancur, kacida lebarna lamun can kaguar eusina. Cek Aditia biayana teu gede teuing ngan ukur belasan juta rupia. Itunganana, nu can ditalungtik aya 1214 lempir, ngadigitalkeun cukup make kamera digital, sajepret biayana Rp 35.000,-. Dina sajepret bisa dijejerkeun 5 kaca, jadi tina 1214 lempir atawa 2428 kaca (sanggeus diitung recto verso) ukur 486 jepret dikalikeun 35.000 rupia tuh pan ngan ukur tujuh belas juta rupia. „Keur urang Sunda nu beunghar tur haat kana kabeungharan budaya Sunda mah duit sakitu teh saeutik moal matak leuleuweungan, tibatan duit dipake nyaleg bari jeung teu jadi“ omong Adit bari seuri maur.

Kabuyutan Ciburuy.

Mamat Ruhimat leuwih nyoko ngaguar naskah nu aya di Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut. Cek pangimeutna nu nalungtik naskah-naskah Sunda kuna kawilang saeutik. Para filolog nu ancrub neuleuman naskah Sunda, ngan aya hiji dua, sedengkeun naskah Sunda kawilang rea, boh nu aya di PNRI, di luar nagri, di kabuyutan jeung nu aya di masarakat umum. Salian ti eta hesena teh pedah aksara Sunda kuna, basana ge sarua kitu, loba kecap nu geus teu loma.
Kabuyutan teh cek Prasasti Kabantenan V tempatna para wiku atawa tempatna para intelektual jaman harita, malah aya nu nyebut scriptorium atawa tempat ngulik tur tulas tulis para intelektual. Lamun aya nu ngaganggu kudu dilawan malah kudu ditelasan pisan.

Ti jaman kolonial keneh Kabuyutan Ciburuy geus kagadabah, malah loba naskahna nu dibawa. Hadena aya nu disimpen di PNRI diantarana naskah Carita Ratu Pakuan, Purnawijaya, Amanat Galunggung. Salah sahiji naskah nu geus ditalungtik nyaeta nu judulna Kisah Putra Rama Jeung Rawana (PRR). Bisa jadi eta teh ngabuktikeun yen kasusastraan Sunda buhun geus kacida mekarna. Naskah Putra Rama jeung Rawana (abad 16) saduran tina Uttarakanda (abad 11).
Naskah PRR nu kapanggih aya dua, nu hiji aya di Museum Sri Baduga, nu hiji deui aya di Kabuyutan Ciburuy. Naskah nu aya di Ciburuy bacacar dina lima koropak.
Dina koropak 17 aya naskah PRR salempir, dina koropak 18 aya 5 lempir, koropak 22 aya 32 lempir tapi salempir lain PRR. Dina koropak 26 aya naskah PRR 2 lempir, koropak 29 nakash PRR aya salempir. Panalungtikan ngeunaan eusi PRR geus dilakukeun ku Noorduyn ti mimiti taun 1971, sanggeus Noorduyn tilar dunya panalungtikan dituluykeun ku A Teeuw. Kakara dibukukeun dina taun 2006, pamedalna KITLV Press, judul buku Three Old Sundanese Poem ( Putra Rama Rawana, Sri Ajnyana jeung Bujangga Manik).

Harepan.

Boh Aditia boh Mamat Ruhimat, boga pamadegan anu sarua sangkan naskah Sunda kuna buru buru didokumentasikeun dina wangun digital, copelna aya tilu mangpaat 1. Eusi naskah bisa kasalametkeun bisi naskah aslina ruksak. 2. Waktu jeung waragadna teu lila teuing jeung teu gede teuing dibandingkeun jeung ditulis ulang. 3. Lamun aya panalungtik nu perlu teu kudu hese ngungkab naskah asli. Salian ti eta kudu aya niat nu panceg pikeun transliterasi, narjamahkeun tur nganalisisna, hasilna bisa dipublikasikeun ka balarea lain bae di kaum akademisi.

MAMAT SASMITA, Panumbu Catur Sawala PSS.
Dimuat dina Majalah Basa Sunda Cupumanik No. 71 Juni 2009.

26 May 2009

DIAJAR KA CINA

Ku: MAMAT SASMITA

Nu ngageugeuh kakayon geus mimiti lusles. Nu babari nyingkah kitu sotéh, da aya nu napel pageuh, lolobana dina témbok atawa tihang listrik. Tuda maké pangrapet.

Nu disebut ngageugeuh téh éta gambar para calég, nu ngarudag korsi, harayang jadi anggota législatif. Pamilihan umum keur légilatif geus lekasan, pésta démokrasi nu digederkeun méh sataun geus laksana. Nu meunang korsi geus kaerong, atuh nu nyamos, nu ngégél curuk, teu beubeunangan pisan, gé loba.

Kecap korsi cék sakaol mah asalna tina basa Arab. Tapi aya nu nyebutkeun asalna ti Portugis. Ari urang Sunda kalan-kalan maké basa kirata: cokor di sisi, pédah sukuna aya di sisi. Kacida genahna diuk dina korsi nu hipu, ngadayagdag bari nundutan, geuning mindeng kapireng dina télévisi anggota législatif nundutan bari rapat.

Paranti diuk nu sawanda jeung korsi nyaéta bangku, ngan bédana bangku mah euweuh panyarandéanana jeung dipakéna bisa ku lobaan. Ari kecap bangku gé asalna tina basa Walanda.
Ana kitu jaman baheula, méméh aya pangaruh Arab atawa Portugis, tayohna urang Sunda téh diukna lain dina korsi, lain dina bangku, tapi dina amparan, sila bari ngampar, satata téa.

Basa séjén nu geus diaku jadi basa Sunda kaitung loba. Éta gé bisa jadi ciri yén basa Sunda téh hirup, bisa ngigelan jaman, dinamis. Salah sahiji buktina dina basa Sunda réa kecap nu asalna tina basa Cina.

Dina kagiatan nyawah aya nu disebut ngawuluku. Wuluku téh tina basa Cina, wu (lima), lu (ngagarap taneuh), ku ( rupa-rupa paré). Kecap séka nu cenah asalna tina basa Cina, si-ka, ngandung harti ngusap atawa meresihan beungeut atawa suku sanggeus ngawuluku. Kitu deui sibeungeut asalna tina si-bi-ngé, hartina ngumbah beungeut. Taneuh asalana tina to-nieh. Pangkéng atawa kamar paranti saré, asalna tina pang-kéng. Sosi atawa konci asalna tina kecap so-sih.

Dina tutuwuhan, utamana dina pepelakan sayur-sayuran, aya kucay, pécay, coysim (sawi héjo), pakcoy ( sawi héjo tapi leutik ngan daunna leuwih gedé), geus puguh togé jeung lobak mah, boa boa kangkung gé asalna tina basa Cina. Ngaran kadaharan kayaning tahu (takuah), tauco, capcay, puyonghay, bacang, bapaw, siomay, pangsit, kwécang, moci jeung kuaci. Dina itung-itungan gé mindeng kareungeu nu nyebut go-ban, céng-go jeung sajabana ti éta.

Campur gaulna urang Sunda jeung sélér Cina lain kakara kamari tapi geus ti bihari. Malah aya nu nyebutkeun yén di Karajaan Tarumanagara salah sahiji basa resmina téh basa Kwunlun. Atuh kiwari, geus kawentar yén sélér Cina téh loba nu jugala dina widang ékonomi, bisa survive kalawan sumanget gawé nu hadé (étos kerja).

Najan kitu dina kahirupan politikna sélér Cina siga nu kaluli-luli, sigana alatan tekenan ti jaman Orde Lama nepi ka jaman Orde Baru. Pan aya kacapangan Gana Dipanagara: ganti nama (ngaran) dipaksa nagara. Kakara menyat dina jaman réformasi, sanggeus Presidén Gus Dur méré kabébasan.

Lebah sumanget nyiar kipayah (étos kerja) asa pantes mun urang Sunda ngeunteung ka maranéhna. Contona mah kumaha kawentarna tahu Sumedang. Pan éta gé teu leupas ti kaparigel kulawarga Ongkino nu mukim di Sumedang.

Euweuh katerangan taun sabaraha mimiti ngamukim di Sumedangna. Ngan kacaturkeun yén dina taun 1917 anakna nu ngaran Ong Bung Kéng neruskeun usaha kolot: nyieunan tahu sakalian digoréng di dinya. Kiwari tahu Sumedang kacida kawentarna lain baé di Tatar Sunda tapi geus kawentar keur ukuran nasional tur méré kahirupan ka masarakat sabudereunana.

(Dimuat dina Majalah Cupumanik No. 70 Mei 2009, dina Dur Panjak)

26 April 2009

NYOREN BEDOG

Laporan : YULIANTO AGUNG

LUYU jeung kamekaran tingkat pikirna, manusia teh teu ukur ngagunakeun bahan bahan tina batu pikeun nyieun alat-alat kaperluan hirupna. Tapi ngamangpaatkeun bahan tina logam deuih, kayaning parunggu jeung beusi.
Numutkeun Raffles dina History of Java, kamampuh manusa pra-sejarah dina miara kalumangsungan hirupna teh ditandaan ku bisana nyieun pakarang seukeut. Ti mimiti pakarang tina batu nepi ka pakarang tina parunggu tuluy tina beusi. Saterusna cek Rafles, kamampuh ngolah beusi teh jadi ciri kamajuanana hiji bangsa.
Kabudayaan logam (parunggu) di Indonesia sok disebut oge kabudayaan Dongson. Ieu hal nuduhkeun yen budaya logam di nusantara teh asalna ti Dongson (Vietnam).
Ti dinya bisa dicindekkeun, urang Sunda (meh bareng jeung bangsa lianna di sakuliah Nusantara) mimiti wawuh kana logam teh nalika jaman kebudayaan Dongson eta. Numutkeun von Heine Geldem man jaman eta teh paling ngorana kurang leuwih taun 300 memeh Masehi. (R. Soekmono, Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 7).
Urang Sunda mateakeun logam teh paling copelna pikeun dua hal nyaeta keur pakarang jeung keur parabot. Pakarang teh alat pikeun ngayonan musuh di pangperangan, atawa alat pikeun ngajaga diri. Di antarana aya nu disebut bedog, keris, pedang jste. Ari parabot hartina alat paranti digawe. Memang, pakarang jeung parabot aya kalana pacorok: sakapeung disebut pakarang, sakapeung disebut parabot. Bedog, upamana, kapan eta ge bisa dipake keur digawe jeung bisa dipake keur ngajaga diri deuih.
Kecap bedog, kawantu kecap nu geus teu aheng kadengena. Nuduhkeun kana alat nu dijieun tina logam (beusi), wangun wilahna ipis panjang, panjang antara 40-45 cm, rubakna antara 5-6 cm, kandelna 5 mm (bagian tonggong), tur seukeut dina salah sahiji bagian wilahna. Ari gunana pikeun kudak-kadek, motong atawa neukteuk. Pikeun nyarungsum asal muasal kecap bedog, naon bae ragem bedog, sarta kumaha tumalina bedog jeung kahirupan urang Sunda bihari kiwari, Sawala Pusat Studi Sunda 13 Maret 2009 kamari mihatur Marnat Sasmita pikeun ngaguarna leuwih teleb, sawala diayakeun di perpustakaan Pusat Studi Sunda.
Mamat Sasmita ti sababaraha bulan katompernakeun keur nalungtik perkara bedog. Sawatara hasil panalungtikan minorna geus dipidangkeun dina rea media, kayaning Kompas, Pikiran Rakyat, Cupumanik katut dina Jurnal Sundalana Pusat Studi Sunda 2009. Rencanana hasil gawe panalungtikana sacara lengkep baris dipedalkeun dina wangun buku.

Minangka keur bahan babandingan, di Birma (Myanmar) aya pakarang nu wangunna sarua jeung bedog disebutna dha atawa dah, di Thailand disebut darb atawa daab, di Cina disebut dao. Tah nalika nepina kana letah urang Sunda mah jadina teh bedog (mungkin asalana mah be-dao?), ka Jawa jadina we-dung atawa bendo.
Lian ti eta, numutkeun Mamat Sasmita, kecap bedog ge bisa disalusur tina morfologi jeung etimologina. Tengetan diagram proses di handap ieu.

Sinonim: Golok = Bedog = Badama= Wedung= Bendo = Gobang = Pedang

Morfologi:
Be-dog > We-dung > Pe-dang >Go-bang
Dog > dung > dang > bang.
Be-dog > ben-do > ba-d(am)a
Dog > do > da

Etimologi / Hiponim
Golok : golokgok, golontor, goloprak, golosor, goloyoh, golontrang, (golodog, golong) > Ngabayabah, ngagoler.
Bedog : Dogdog, jedog, badog, lodok, gedok, ladog, baledog, golodog, gedog > Sora, ngagedok.

Ana kitu mah, mun seug tabah kana teori etimologi nu di luhur, kecap golok teh tetela ngandung harti nu beda jeung bedog, babakuna beda tina segi fungsina. Golok mah leuwih nuduhkeun tumalina kana pakarang, ari bedog leuwih tumali kana parabot digawe. Tapi kaayeunakeun mah kecap golok jeung bedog teh taya bedana, bedana teh meureun golok kiwari dipake jadi tarjamahan bedog dina basa Indonesia.
Nu disebut bedog teh ngawengku tilu bagian, nyaeta wilah, perah jeung sarangka. Rea ragemna bedog teh. Geura mun dipilah-pilah numutkeun wilahna aya nu disebut Kembang Kacang, Malapah Gedang, Hambalan, Salam Nunggal, Paul Nyere, Paul Sintung, Sintung Bening, Sonten Bening, Daun Awi, Boros Sabeu-lah, Jambe Sapasi. Lian ti eta be-dog keur paranti digawe aya nu disebut Bedog Soto, Cacag Daging, Ngabutik, Bedog Sadap, Pamoroan, jeung Pabilikan.
Wilah bedog teh maksudna bedog nu masih keneh taranjang, can diperahan. Wilah bedog hasil tina proses ti panday, meunang neupa dina wangun bedog panjang atawa pondok, terus digurinda sangkan wangunna leuwih pantes. Ditingali tina rupa wangun bedog, raga badagna mah aya lima kayaning Lempeng, Tirus (ngaleutikan ka tu-kang), Gayot/ Bentelu, Bentik, Campuran, jeung varian tina rupa bedog anu opat.
Perah atawa gagang bedog, mere wanda kana bedogna. Tujuan bedog make perah salian fungsi pikeun nyekelan ngarah karasa genah, tapi deuih aya tujuan sejen nyaeta mere ajen estetis. Bisa jadi di dinya aya ma'na simbolis. Perah .bedog anu umum kaayeunakeun dijieun tina kai jeung tanduk dina rupa rupa wangun.
Lamun dikategorikeun mah wangun perah bedog aya opat nyaeta nu ngalap tina:

Tutuwuhan (Ba-lingbing, Eluk Paku, Pendul, Kembang, Potongan Kai, Sopak Lodong, Jejengkolan),
Sasatoan (Buhaya, Ekek, Soang, Jawer Hayam, Cinghol , Pingping Hayam, Kucuit, Simeut Bako, Meong, Monyet, Lauk Cai, Kuda Laut, Garuda, Mear);
Wayang (Kresna, Arjuna, Cepot, Semar);
Lain-lain (Mantri Diuk, Putri, Priaman, Makara, Naga, Golong Tambang)

Bahan keur nyieun perah utamana tina kai jeung tanduk, aya nu sok dijieun tina tulang, tapi langka, eta mah kakara dijieun lamun aya pesenan. Tukang nyieun perah biasana disebut maranggi, atawa tukang ukir.
Ari sarangka (wadah bedog) gunana keur ngabunian wilah bedog sangkan aman dibawana tur mere ajen seni. Sarangka lolobana dijieun tina kai atawa tanduk. Wangun sarangka leuwih niru kana wangun bedog anu disarangkaanana. Lamun bedogna bentik geus tangtu sarangkana ge bentik.
Ngaran-ngaran bagian tina sarangka nyaeta Gado ieu istilah teh dipakena di Cibatu Cisaat Sukabumi, ari di Ciwidey mah disebutna Sambung, ari di Galonggong Manonjaya Tasikma-laya disebutna Tutup Luhur. Di bagian panghandapna di Sukabumi disebut Sopal, ari di Galonggong disebut Tutup Handap. Anu meulit leutik awak sarangka disebut Simpay, ari nu rada gede biasana disebut Beubeur. Bagian sejen anu gunana pikeun wadah tali paranti nyoren disebut Simeut Meuting.

Lamun nilik kana fungsina sarta tumalina jeung masarakat Sunda, bedog teh bisa dibagi jadi sababaraha fungsi kayaning fungsi praktis, fungsi simbolis, fungsi estetis jeung kabehdieunakeun wen aya fungsi ekonomi.
Fungsi praktis leuwih nyoko kana harti ngadeudeul pagawean, nyindekelkeun kagunaan bedog dina kahirupan sapopoe kayaning keur nuar awi, meulah suluh, meulah awi, nyisit awi pibilikeun, kudak-kadek di kebon, keur meuncit sasatoan,
nyacag daging jlld. Hal ieu luyu jeung ngaran-ngaran bedog anu aya pakaitna jeung pagawean.
Dina fungsi praktisna, bedog ten teu ngutamakeun wangun nu alus, tapi leuwih mentingkeun kakuatan jeung .seukeutna. Kitu deui dina perah jeung sarangkana teu pati loba hiasan, asal.genah karasana waktu dipakena jeung aman bae.
Can kakoreh kalawan pasti ti iraha kecap bedog mimiti dipakena. Kecap golok mah kapanggih dina SSK. Lamun dina SSK, disebutkeun golok teh pakarang raja, hartina bisa bae leuwih deukeut kana barang pusaka. Da golok moal dipake keur kudak kadek sangeunahna ku raja. Tangtu aya ugeranana, moal sagawayah. Ku lantaran disebutkeun yen golok ten pakarang raja, tangtu nu aya di rahayat mah beda deui kagunaanana. Najan kitu, ari anggapan yen golok teh pakarang pusaka mah kapanggih keneh. Mindeng kapireng hiji kulawarga atawa hiji kokolot siga nu mupusti bedog, nepi ka cara nyimpen atawa cara makena ge aya aturanana, teu sagawayah waktuna tur tara ditembong-tembong ka unggal jalma.
Mana kitu ge, ma'na simbolis bedog masih dipake tur jadi angkeuhan keneh. Upamana bae, aya nu disebut bedog wali di Kacamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan. Dina upacara seserahan rek ngawinkeun, rombongan pihak lalaki kudu mawa bedog nu disebut bedog wali. Eta teh salah sahiji sarat nu kudu dicumponan ku pihak lalaki ka pihak awewe. Malah baheulana mah lamun teu mawa bedog bisa-bisa walimahanana teu jadi. Cek kokolot di Cibingbin, be¬dog teh kirata tina dibebed sina nga-jedog. Ieu kirata ngandung harti yen lalaki nu geus rarabi teu meunang sagawayah ka wanoja, sabab geus aya nu ngabebed, geus aya nu nyarangkaan, nyaeta pamajikanana.
Lian ti eta bedog mibanda fungsi estetis deuih. Keur urang Sunda, babakuna di pilemburan, mawa bedog teh geus ngabaju, geus saperti papakean sapopoe. Tangtu, barangpake dina mangsa keur digawe beda jeung barangpake dina mang¬sa keur ulin atawa indit-inditan. Tangtu, dina mangsa indit-inditan mah nyoren bedog teh lian ti memang kudu, jadi hiasan nu mawana deuih. Tah, di dieu meureun fungsi estetisna.
Kiwari mamawa atawa nyoren bedog teh geus teu ilahar. Sanajan kitu, aya keneh fungsi estetisna, upamana dijieun papaes di imah, dijieun barang koleksi. Memang, geus ngised: nu tadina kudu dibabawa teh ayeuna mah jadi papaes wungkul.
Tumali kana fungsi estetis be¬dog, panday jeung maranggi nyumponan udagan estetis. Wilah bedog dialus-alus, ukiran ti maranggi diluyukeun jeung fungsina, atuh ragam hiasna beuki beunghar. Wanda perah jeung sarangka beuki beunghar deuih, lian ti taliti dina detil. Ku cara kitu, bedog sapuratina boga ajen nu luhung, Kadieuna-keun bedog teh mibanda fungsi estetis deuih. Di dieu mah hartina bedog teh geus jadi komoditi, barang nu dijieun obyek jual beuli. Di wewengkon Galonggong sapan-jang jalan dagangan bedog rantuy. Di Cisaat Sukabumi ngajajar kios nu husus ngajualan bedog jeung rupa-rupa pakarang sejen, make etalase dialus-alus.
Tina bedog geus mere pangupa jiwa ka jalma loba ti mimiti panday, maranggi tug nepi ka nu ngecerkeun nguriling ngajualan bedog. Bedog pakarang nu populer di urang Sunda, lain bae dijual di Tatar Sunda tapi geus nerekab ka sakuliah dunya, ti Cisaat Sukabumi loba nu pesenan ti Kanada. Ti Galonggong loba nu pesenan ti Malaysia kitu deui ti Ciwidey.

Yulianto Agung Redpel Majalah Basa Sunda Cupumanik
(Dimuat dina Cupumanik No. 69 April 2009)

20 March 2009

Carpon : NINI JUMSIH MORO LANGLAYANGAN


Ku : MAMAT SASMITA                  English Version


“Geus seubeuh maneh Sujang..?” ceuk Nini Jumsih, bari ngareret ka incuna nu keur andekak dahar di tengah imah.
“Bisi can seubeuh kop tah beakeun alas Nini..” bari mikeun piring sangu nu meh metung keneh, jeung aya kere belut deungeuna.
“Entong Nini,…sok we seepkeun ku Nini…” ceuk Kang Sabri pangnembalankeun anakna ka Nini Jumsih.”…..Keun we keur si Sujang mah da aya keneh dina tetenong..”
Nini Jumsih keukeuh mikeun alasna keur si Sujang, incuna.
Si Sujang teh anak bungsu Kang Sabri nu umurna kakara opat taun leuwih opat bulan, keur meujeuhna segut kana barangdahar.
“Keun bae Sabri da ema mah rido…” ceuk Nini Jumsih”….Kilang bara barangbere nu lain teu bisa atuh alas dahar mah kop teh teuing,….jeung ongkoh ema mah geus seubeuh barangdahar sagala rupa oge, ari si Sujang kapan budak keneh jeung sakitu rewogna sagala dihuapkeun…”
Kang Sabri teu lemek teu carek, da enya kitu pisan, si Sujang teh kacida gembulna, sagala didahar, ngan pok bae ngomong “….Tong sok diogo teuing atuh Ema si Sujang teh….”.
“Ngogo nanahaon…da Ema mah teu boga keur ngogona oge…!”
Kang Sabri ayeuna ngabetem pisan, heueuh da Kang Sabri teh lain teu hayang mere maweh ka budak, atawa ka Emana, kudu dikumahakeun atuh pangala batan sakieu, sapopoe ngan saukur jadi tukang ojeg di pilemburan, tara unggal waktu meunang muatan, enya ari poe saptu mah sok rada marema pedah eta loba pagawe pabrik nu baralik, tapi ari di ukur keur hirup sapopoe mah hih angger we saukur mahi keur dahar, padahal jumlah kulawarga teh aya limaan, anakna dua katambah ku emana nu geus nunggul pinang da bapana mah geus mulang miheulaan.
Usaha jaman ayeuna kana sagala rupa oge hese, komo deui kaayaan di pilemburan, keur mah ongkoh haharegaan undak unggal mangsa, lamun rek dipake aral subaha mah matak aral, eta ge osok ganti pacabakan, kalan kalan osok buburuh macul, tapi da teu unggal waktu, aya usumna, nu geus jadi cecekelan sapopoe nya jadi tukang ojeg, boga motor soteh ladang tina ngajual tanah sacangkewok, da ngandelkeun tina ladang tatanen tina eta tanah mah mah lain kalahka untung tapi kalahka buntung, jeung ongkoh tanah titinggal bapana teh ku batur mah sok disebut tanah gabug, dipelakan itu ieu teh hih tetep we hasilna motetet.
Sabenerna mah lebar ngajual tanah teh, dina hatena mah teu mikeun, komo ieu kasebutna tanah warisan, nu kuduna mah dipusti pusti, Kang sabri ge lain teu ngarti, ngan nya kitu da hirup mah kudu jeung huripna, da niat ngajual tanah teh lain rek dipake monyah monyah, estu keur usaha ngabayuan nu jadi anak pamajikan, Alhamdulillah dina derna jadi tukang ojeg aya hasilna sok sanajan ngan ukur cukup keur dahar, atuh motor awet da makena apik.

Pasosore bada asar, langit lenglang beresih, euweuh riuk riuk ceudeum maleukmeuk, angin ngagelebug, ti kulon ka wetankeun, Nini Jumsih ngageroan si Sujang “..Sujang geura mandi kaituh urang ulin ka sawah lega, urang lalajo langlayangan..”
Si Sujang uulutudan keneh, tas ulin ti sisi kandang hayam, sigana mah tas ngala undur undur, da awakna mani kalotor ku kekebul taneuh.
“Nini uing ngilu….dagoan rek mandi heula..!” si Sujang tuturubun lumpat ka pancuran rek ngadon mandi, Nini Jumsih nuturkeun ti pandeuri, di jalan ka pancuran ngarawel daun harendong dua keupeulan.
“Sing beresih mandi teh Sujang, ulah bating gebrus kitu bae,…kadieuh urang ruru ku Nini geura..!”
Nini Jumsih ngamandian si Sujang, diruru nepi ka beresih, dakina palid kabeh, daun harendong gaganti sabun, sok sanajan teu loba budah tapi meujeuhna keur meresihan daki.
Sanggeus si Sujang dibaju terus arindit ka sawah lega, kabeneran di sawah lega teh geus beres panen, jadi siga lapangan nu mayakpak ku pare urut panen, meh satungtung deuleu, kacida resepna ngapungkeun langlayangan didinya mah.
“Euleuh geus loba batur geuning Sujang..” ceuk Nini Jumsih ka si Sujang semu ngaharewos…”Hayu urang beulah ditu tuh nu aya saung…ambih genah lalajona..” ceuk Nini Jumsih bari nungtun si Sujang mapay galengan muru saung meh ditengah sawah.
Bari diuk sidengdang Nini Jumsih jeung si Sujang lalajo langlayangan, di tegalan sawah lega geus loba barudak nu rek ngarucu ngala langlayangan kapakan, langlayangan nu eleh diadu, barudak ting alabring bari mamawa gantar nu tungtungna ditambahan ku rupa rupa cagak sangkan babari ngait kana bola langlayangan.
Ti beh kidul kadenge nu eakeakan, sihoreng aya nu keur maen bal, ku jarami nu di buleud buleud siga bal, enya pasosore teh di sawah lega mah sok rame bae utamana sanggeus beres panen, barudak loba nu arulin.

Teu kanyahoan jol bereyek we barudak nu ting taranggah ngaliwat kana saung nu dipake sidengdang ku Nini Jumsih jeung si Sujang, barudak ting beretek, enya we aya langlayangan nu ngoleang ka palebah dinya, barudak geus pada taki taki paluhur luhur gantar, kalan kalan dina beunangna langlayangan teh lain alus mulus tapi kalahka soeh rikes da parebut.
“Sujang ari maneh hayang langlayangan..?” ceuk Nini Jumsih ka si Sujang nu keur olohok mata simeuteun ningali barudak saluhureun pahibut parebut langlayangan, si Sujang neuteup ka ninina, teu ngomong sakemek
Puguh si Sujang teh dua poe nu kaliwat kungsi ceurik eueuriheun bari jeung lolongseran da parebut langlayangan jeung lanceukna, ku lanceukna langlayangan teh kalahka disumputkeun di para, ngumaha ka bapana teu diwaro ngumaha ka indungna teu digugu majarkeun "“.Sujang maneh mah leutik keneh...can bisa ngapungkeun langlayangan,.…kuriak we ti kusruk…”
Si Sujang eureun ceurikna pedah dicombo ku Nini Jumsih diajak ka tegalan ngala cecendet jeung ngukuy sirung hui., balik balik geus meh rek magrib bari ranggem mamawa cecendet jeung anak hui dina leungeuna.

Leungeun Nini Jumsih ngusapan sirah si Sujang “ Heug lamun hayang langlayangan mah engke ku nini dibere…”, awak si Sujang nyarande kana awak Nini Jumsih, leungeunna tetep ngusapan sirah si Sujang, kadeudeuh kanu jadi incu majarkeun sok leuwih tibatan kanu jadi anak.

Nini Jumsih jung nangtung, reketek mageuhan samping bari rada disingsatkeun “…Sujang maneh mah cicing didieu,…dagoan nini nya…”, Nini Jumsih tangtanggahan ningalian langlayangan nu ngoleang.
Ti kajauhan kaciri langlayangan ngoleang pegat talina, ngambul siga kaluhur, terus nyoloyong ngadeukeutan saung, Nini Jumsih rikat lumpat, kitu ge barudak nu sejena, papada lalumpatan moro ka palebah langlayangan bari teu lesot mamawa gantar.
Nini Jumsih enyaan sisirintil ngudag ngudag langlayangan, lat bae poho kana umur, kana awak nu geus meh bongkok, sigana geus teu era najan samping disingsatkeun, ngudag langlayangan bari ngagorowok, “…Mingkeun nu aing eta mah …keur incu deuleu…!!”, kituna bari jeung dudupak ka barudak satepak, puguh we barudak dikitukeun mah rada nyalingkir, rada hemar hemir nandingan nini nini.
Puguh we ningali kitu mah matak gimir, geura we nini nini awakna nu geus meh bongkok, ari buuk camutmut bodas bari ririaban katebak angin, panon muncereng, rurat reret ka barudak jeung melong kaluhur kana langlayangan.
Nini Jumsih ngajleng ngarawel bola, teu beunang, langlayangan kalah ngaleok ka palebah susukan, nu sejen nu lalajo jadi hookeun ningali pamolah Nini Jumsih, tanagana lir nandingan budak ngora kitu deui ujlang ajlengna geus puguh ari lumpat mah teu eleh ku budak nu sejen.
Barang sakali deui ngajleng ngarawel bola, sigana galengan sisi susukan teu dipalire, ari gajleng bola karawel tapi Nini Jumsih ti kecebur kana solokan, atuh puguh awakna rancucut baseuh kajero jerona, langlayangan mah salamet tetep garing.
Sigana reuwas kareureuhnakeun, napas Nini Jumsih ngahegak, bari ngorondang kaluar tina solokan..”…Sujang…Sujang ieu langlayangan teh…”.

Si Sujang ngaberetek lumpat, muru ka ninina, Nini Jumsih ge hudang bari gigibrig, baju baseuh teu ditolih “…Sujang hensok hiberkeun meungpeung panon poe encan surup..!”
Si Sujang nurut ngapungkeun langlayangan, encan bisa ngapung luhur keur mah ongkoh poe geus ngagayuh ka burit.
Tonggeret geus raeng disarada, angin tiis pagunungan geus mimiti karasa
“Sujang isuk deui we ngapungkeunana, ayeuna mah hayu urang balik, bisi kaburu magrib..!” ceuk Nini Jumsih ka si Sujang, dina kongkolak panona aya cai herang ngembeng nu teu weleh neuteup si Sujang nu keur kacida atohna meunang langlayangan Si Sujang ngagolongan bola kana rokrak, bari terus nuturkeun ninina balik ka imah.

Bada isya Nini Jumsih ngageroan Kang Sabri, bapana si Sujang,”…Sabri cik kadieu ieu pangsimbutankeun Ema…ieu awak asa tariris kieu..”
Kang Sabri gura giru muru emana, asa reuwas pedah arang langka rumahuh, ari ayeuna nepi ka ngageroan sagala, terus Kang Sabri ngarampa tarang emana, enya we awakna nyebret panas,”…Ema geuning mani nybret kieu…ke urang kompres ku cai gentong..”.
“Entong Sabri….ieu we pangnyimbutankeun…….”
Ti harita Nini Jumsih brek gering, teu kungsi lila nepi ka hanteuna. Nini Jumsih mulih ka jati mulang ka asal, Kang Sabri inget keneh kana omongan emana nu panungtungan “..Sabri kahade si Sujang sina bisaeun ngapungkeun langlayangan..”.
Si Sujang angger sok ulin maen langlayangan, di buruan we, da teu wanieun ulin ka sawah lega, euweuh nu nganteur.
“…Nini …ieu uing geus bisa ngapungkeun langlayangan..” si Sujang sok ngagorowok bari lulumpatan mamawa langlayangan.

oOo

(Dimuat dina Majalah Basa Sunda Mangle No. 2212, 19-25 Maret 2009)