04 September 2012

ILANG DANGIANG



Oleh : MAMAT SASMITA / Pegiat Rumah Baca Buku Sunda.
Artinya dangiang menurut kamus bahasa Sunda Danadibrata yaitu sebangsa mahluk halus (dedemit) yang besar pengaruhnya sehingga terasa oleh manusia. Masih dalam kamus yang sama disebutkan bagi urang Sunda arti dangiang yaitu semacan daya tarik atau sesuatu yang menarik hati umpamanya manusia yang hatinya bersih dan mempunyai nilai (wibawa) suka disebut besar dangiangnya. Sedangkan kata ilang artinya sama dengan hilang, dengan demikian artinya ilang dangiang bisa disamakan dengan hilang kewibawaan.
Sejalan dengan itu didalam buku Babasan jeung Paribasa (Ajip Rosidi, Kiblat 2005) arti ilang dangiang yaitu leungit komarana (hilang wibawa) dengan dijelaskan bahwa dangiang biasanya diterapkan ke sebuah tempat yang dianggap suci atau keramat, sedangkan bila diterapkan kepada manusia,  dangiang itu artinya wibawa akibat pengaruh kekuatan batin yang bersih.
Lain lagi pendapat Godi Suwarna seperti tercermin di dalam fiksi mini bahasa Sunda yang berjudul  Ringkang Sang Dangiang (http://fikminsunda.com) , dangiang lebih diartikan sebagai pulung atau sesuatu yang datang dari langit yang memberi tanda kepada siapa kekuasaan akan datang ke genggamannya.

Di dalam karya sastra Sunda ungkapan ilang dangiang atau leungit dangiang diantaranya ditemukan di dalam sajak dan novel, seperti pada sajak Sangkuriang karya Hasan Wahyu Atmakusumah (Kanjutkundang, Balai Pustaka, 1963) dan sajak Sang Prabu Ngalimba karya Yoseph Iskandar (Tumbal, Rachmat Cijulang,1982), sedang dalam novel, ada di dalam cerita Mantri Jero karya R.Memed Sastrahadiprawira (Balai Pustaka, 1958).
Inilah petikannya:

bongan kiwari geus taya wanci nu mustari / réa teuing sangkuriang / geus musna beurang / alam geus ilang dangiang / tinggal peuting anu panjang / cul hanca ngadukduk acong-acongan / cul raga muru-muru nu can karuhan (Sajak Sangkuring)

Duh Prabu / Pajajaran geus lila ilang dangiang / leungiteun tapak / leungiteun udagan
Duh Prabu / Tatar Pasundan uyu-ayap / nataran Sajarah nu paburisat / leungiteun lontar / leungiteun wangsit (Sajak Sang Prabu Ngalimba )

Pasar nu sakitu raména jadi runtang-rantin, lantaran kurang nu dagang, sepi nu barang beuli, kawantu jelema téh boloampar ngajalankeun pausahaan; saban poé saban peuting téh ngan abring-abringan baé, ngiring-ngiring kapala, ngaronda. Padaleman ngadak-ngadak leungit dangiangna (novel Mantri Jero)

Nampaknya dari ketiga gambaran tersebut semuanya mengedepankan tentang ilang dangiang yang bertautan dengan bukan orang tetapi lebih kepada tempat yang (bisa jadi) dianggap keramat.

Seandainya nama tempat yang dianggap keramat itu adalah Indonesia, (dan sungguhnyalah  Indonesia itu keramat, bukankah kemerdekaannya ditebus dengan jiwa, dengan darah dan air mata, ketika mengibarkan sang saka kita juga harus menghomat, ketika Indonesia Raya berkumandang kita juga harus berdiri tegak menghormat, ketika mengenang para pahlawan kita juga harus larut dalam doa) ketika gegap gempita saat revolusi 1945 untuk merebut kemerdekaan, para pemimpin bersuara dalam pidato heroik dengan penuh harapan menyongsong masa depan penuh gemilang. Rakyatpun siaga, sanggup mengorbankan harta, raga dan jiwa untuk melepaskan diri dari penjajahan. Rasa optimis menyeruak ke setiap penjuru hati putra bangsa, optimis menatap masa depan yang lebih baik. Padahal keadaan di tahun 1945 itu sangat layak untuk pesimis karena rakyat masih banyak yang tak bisa membaca, tak bisa menulis. Ekonomi morat-marit. Para pemimpin berkantor di ruang darurat, berhawa panas dan berkeringat, bersarung berpakaian lusuh. Senjata cukup dengan bambu runcing, para tentara berseragam seadanya. Jalan becek, kampung kumuh, dari Jakarta ke Bandung bilangan hari. Bisa makan oyék (juga biasa disebut onggok yaitu semacam ampas ubi jalar) saja itu sudah sangat beruntung.
Kini, di usia kemerdekaa ke-enam puluh tujuh tahun, menyeruak rasa pesimis, pidato para pemimpin lebih banyak menangkis tuduhan miring bernada curhat, para rakyat terombang ambing ombak ketidakpastian, masa depan sepertinya hanya fatamorgana. Padahal keadaan sekarang sangat layak untuk optimis karena rakyat lebih banyak bisa membaca bisa menulis, bisa mendengar bisa melihat. Jalan panjang tak bergelombang, berbeton dan beraspal licin. Dari Jakarta ke Bandung berbilang jam. Para tentara para polisi penjaga keamanan berseragam rapih bertabur bintang berwarna emas. Para pemimpin berkantor di gedung jangkung barhawa dingin menyegarkan, berdasi berpakaian necis.   
Barangkali, sekali lagi barangkali, inilah kila-kila atau tanda-tanda bahwa Indonesia sedang ilang dangiang, para pemimpin sedang leungit komarana. Sehingga banyak kejadian TKI atau TKW digebukin di negri orang, pulau dicaplok, patok batas negara bergeser, kesenian dan kebudayaan diakui negara tetangga, naskah kuno diperjual belikan, benda artefak di musium dicuri, kejahatan dengan kekerasan merebak, pendidikan menjadi komoditi, proses hukum hanya jadi sandiwara, tontonan yang gegap gempita.

Sungguh mengherankan setiap pejabat negara selalu mengatakan telah melaksanakan tugas dengan baik, sesuai dengan prosedur, tetapi di lapangan sepertinya masih jauh panggang dari api. Berita korupsi menjadi santapan sehari-hari, penyelewengan kekuasaan dimana-mana, malah ada berita hampir saparuhnya kepala daerah berindikasi korupsi.
Bung stop bung. Stop akrobat dan obral kata-kata, stop silat lidah apalagi apabila sedang  ditonton orang banyak. Stop korupsi, agar Indonesia kembali mempunyai dangiang. Percayalah, dangiang, komara, pulung atau apapun namanya yang berkaitan dengan kewibawaan akan datang dengan sendirinya asalkan menjalankan sesuatu yang menjadi tugasnya dengan jujur dan amanah. Melaksanakan tugas dengan jujur dan amanah itu bukan menurut diri sendiri tapi menurut rakyat, menurut orang lain.
Merdeka Bung.

Bandung Agustus 2012 
MAMAT SASMITA, pegiat Rumah Baca Buku Sunda.