Menganyam merupakan keterampilan tersendiri
bagi sebagian orang Sunda, yang paling terkenal hasil anyaman dari Rajapolah
Tasikmalaya, walaupun sesungguhnya hampir di setiap daerah di Jawa Barat menghasilkan
barang anyaman. Istilah-istilah menganyam sering terdengar, seolah menjadi
pakem, misalnya jalujur (ada juga
yang menyebut dengan istilah pakan), jarugjug (ada juga yang menyebut dengan
istilah lusi), pihuntuan, pisalahan, dilepe, didendang, sarungkup dan sebagainya.
Entah kebetulan atau tidak kata jarugjug mungkin asalnya dari kata jugjug yang
mendapat sisipan ar, jugjug artinya menuju ke. Sedangkan kata jalujur mungkin
asal katanya dari jujur yang mendapat sisipan al, artinya jujur ya jujur itu.
Bisa jadi apabila ingin menuju ke sesuatu tujuan (jugjug) harus disertai dengan
sikap jujur baru akan tercapai dengan baik.
Bahan untuk anyaman bisa dari bambu
(setelah diraut kecil suka disebut irateun
atau irat), rotan (setelah diraut
kecil menjadi bahan anyaman atau tali disebut hata), pandan (setelah diolah menjadi bahan anyaman disebut mores) dan mendong (ada juga yang
menyebut walini atau wanasaba). Bahan anyaman tersebut didapat dari sekitarnya,
tentu saja bahan tersebut akan selalu tersedia apabila dijaga kelestarian
alamnya
Salah satu hasil kerajinan anyaman adalah
korang. Menurut kamus bahasa Sunda
Danadibrata, korang adalah wadah untuk menampung ikan hasil tangkapan dari
sungai. Begitu juga dari kamus basa Sunda LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra
Sunda) disebutkan korang adalah wadah untuk menyimpan ikan tetapi tidak
disebutkan ikan dari sungai, hanya dilengkapi dengan penjelasan bentuknya yang
ada lehernya dan seuweu (penutup korang) dan dijelaskan juga cara membawanya
yaitu diikatkan ke pinggang pada orang yang sedang menjala ikan.
Bentuk korang agak unik karena mirip
dengan bentuk badan manusia sekitar dada lengkap dengan bahu dan lehernya. Cara
membawa korang diikatkan ke pinggang, karena korang selalu dilengkapi dengan
tali. Karena cara membawa korang selalu diikatkan ke pinggang, maka besarnya
korang tidak lebih besar dari pinggul orang, paling besar kira-kira sebesar
paha orang dewasa, malah kabanyakan ukuran korang lebih kecil dari itu.
Korang dibuat dari anyaman rautan bambu,
untuk jarugjug (bagian yang tegak
dari sebuah anyaman) dibuat dari bilah bambu tipis tetapi agak lebar kira-kira
selebar kelingking. Sedangkan bagian jalujur
(bagian yang mendatar dari sebuah anyaman) rautan bambunya dibuat agak bulat
sebesar lidi atau sebesar tusuk sate. Menganyamnya antar jarugjug agak jarang,
sedangkan antar jalujur sangat rapat. Sehingga anyaman yang dihasilkan kelihatan
rapat dan kokoh, tetapi bagian dasarnya tetap agak jarang sesuai dengan jarak
antar jarugujug. Begitu juga bagian leher dari korang dianyam rapat, untuk
menutup korang dibuat anyaman bambu yang terpisah, yang lebih lentur disebut seuweu, semacam lubang perangkap
sehingga ikan yang telah masuk korang tidak akan bisa loncat keluar lagi, untuk
mengeluarkan ikan dari dalam korang seuweunya harus dilepas terlebih dahulu.
Menilik dari kecilnya sebuah korang, maka
maksimum ikan yang bisa dimasukan diperkirakan tidak lebih dari dua kilogram
ikan basah. Ikan yang ditangkap juga bukan ikan yang besar, paling besar yang
bisa masuk lubang leher korang kira-kira sebesar telapak tangan anak-anak.
Karena apabila terlalu besar tidak akan masuk, selain harus melewati seuweu
juga memang lubang masuk di leher korang bentuknya kecil.
Nampaknya para karuhun Sunda sejak dahulu kala telah mengajarkan dalam hal mencari
ikan dari sungai supaya tidak berlebihan, tidak mengambil ikan
sebanyak-banyaknya tetapi hanya sebatas keperluan sehari-hari, seuai dengan isi
sebuah korang. Padahal keadaan sungai jaman dahulu pasti sangat berbeda dengan
keadaan sungai jaman sekarang, tentunya ikan di sungai jaman dahulu masih banyak
jumlahnya dan banyak jenisnya. Apabila ingin menangkap ikan sebanyak-banyaknya
pasti tidak sulit.
Bukan hanya banyaknya ikan yang dibatasi
oleh korang tetapi juga besarnya ikan, yang lebih besar dari mulut korang
berikut seuweunya tidak akan masuk, artinya itu harus dilepas lagi ke sungai
karena mengandung harapan kelak ikan yang besar tersebut akan beranak pinak. Begitu
juga ikan yang kecil tidak boleh diambil karena kalau dipaksa dimasukkan ke
dalam korang akan terlepas dengan sendirinya sebab alas korang dibuat jarang,
ini mengandung pelajaran bahwa ikan kecil mempunyai harapan kelak akan menjadi
besar, sehingga pantas untuk ditangkap.
Kata para sepuh jaman dulu, melalui ujaran
yang disampaikan tatalepa (secara turun temurun), bahwa ngaragap (memegang) korang tidak bedanya dengan ngaragap angen sorangan (ada juga yang
mengatakan dengan istilah ngaragap dada
sorangan) yang artinya harus punya perasaan, dalam hal ini harus sadar akan
diri sendiri bahwa hidup jangan serakah, sadar bahwa sungai adalah kekayaan
alam yang harus dijaga bersama, bukan milik pribadi yang bisa diperlakukan
sekehendak hati. Apakah ini karena
bentuk korang yang seperti dada atau hanya kebetulan saja, entahlah. Tetapi,
apapun itu, ada pelajaran yang patut dipetik dari ujaran para sepuh tersebut,
dan itulah kearifan lokal.
Barang lain yang hampir sama bentuk dan
fungsinya dengan korang adalah kembu
dan kempis. Kembu (bandingkan dengan kempu di daerah Sumbawa NTB) lebih besar
dari korang, dibuat dari anyaman bambu, bentuknya lebih bulat memanjang
dilengkapi seperti jendela yang bisa ditutup dan dibuka di bagian tengah
badannya. Kempis hampir sama bentuknya dengan korang hanya lebih kecil dan
lehernya lebih tinggi hampir menyerupai botol.
Hal lain yang berkaitan dengan korang
adalah babasan (peribahasa singkat)
yang bunyinya taktak korangeun secara
harfiah artinya bahu yang menyerupai bahu korang. Babasan ini lebih ditujukan
kepada orang yang bahunya terlalu landai, mengandung arti orang yang tidak bisa
memikul, seperti memikul bambu atau lainnya, karena barang yang dipikulnya akan
merosot terus.
Tidak ketahui secara pasti sejak kapan
keberadaan korang dalam kehidupan (kebudayaan) Sunda, khususnya sebagai material culture sesuai jamannya. Hanya
apabila membaca naskah kuna Sunda, Sanghyang Siksakandang Karesian (1518),
disitu disebutkan sebuah benda budaya yaitu ayakan, walaupun hanya disebut
kalangkang ayakan, bukan ayakannya. Tetapi mustahil ada kalangkangnya
(bayang-bayangnya) apabila tidak ada bendanya. Ayakan di dalam kebudayaan Sunda
sering juga disebut sair (harap tidak
dibaca sebagai syair di dalam bahasa Indonesia), yaitu alat untuk memudahkan
menangkap ikan di air yang dangkal, biasanya di pinggir sungai atau di kolam
yang sedang dibedahkeun (dikuras
airnya). Ayakan atau sair itu dibuat dari anyaman bambu, sama dengan korang,
mestinya ayakan dan korang sejaman awal kebaradaannya. Indikasi lain adanya
babasan dan peribahasa Sunda yang berkaitan dengan sebuah benda, misalnya
taktak korangeun, lir kacang ninggang kajang, elmu ajug dan lain sebagainya.
Sewajarnya keberadaan bendanya yang lebih dulu ada baru muncul babasan atau
peribahasa yang berkaitan denagn benda tersebut. Sedangkan babasan dan
peribahasa itu sendiri tidak diketahui secara pasti sejak kapan mulai hadir di
dalam kebudayaan (lisan/tulisan) Sunda. Dengan demikian keberadaan korang dalam
kehidupan orang Sunda sudah ada sejak lama, bisa jadi sejak ratusan tahun lalu.
Keberadaan korang jaman sekarang ternyata
masih ada, walau dengan populasi yang terbatas. Tidak bisa dipungkiri bahwa
benda-benda tradisional sangat rentan terhadap kemajuan jaman, diganti dengan
yang baru yang dianggap lebih mewakili jamannya. Dari sisi ini ada baiknya
apabila ada usaha untuk mendokumentasikan benda-benda tradisional tersebut dan membaca ulang tentang keberadaannya
untuk pengetahuan anak cucu kelak.
Itulah sekelumit tentang korang, sebuah
benda sebagai kekayaan budaya khususnya kebudayaan Sunda, apabila dibaca ulang ternyata ada makna lain
disebalik onggokan bendanya, setidaknya makna lain di sebalik onggokan bendanya
itu bisa memperkaya batin untuk hidup lebih bijak.
1 comment:
nuhun pa, sangat membantu pekerjaan rumah anak saya yg duluk di kelas 1 SD
Post a Comment