Oleh : MAMAT SASMITA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi itu menyelewengkan atau menggelapkan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ini artinya sama dengan mencuri, karena mencuri masih menurut kamus bahasa Indonesia adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan mencuri, masih menurut kamus yang sama, artinya sama dengan nyolong. Anak TK (Taman Kanak-kanak) juga tahu kalau nyolong itu adalah dosa.
Korupsi yang menjadi berita besar akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh pegawai pemerintahan, ada yang dari departemen ada yang dari pemerintah daerah termasuk oleh anggota legislatif. Sehingga banyak orang yang tadinya terhormat lantas diborgol masuk bui. Aneh juga rasanya ada orang terhormat yang mendapat kepercayaan menjalankan tugas mulia menghianati dirinya sendiri karena serakah. Barangkali inilah cermin dari beragama tapi tidak bermoral, berpendidikan tapi tidak berilmu. Atau terlalu besar rasa memilikinya, sehingga uang rakyat, uang negara, juga diakui milik dirinya sendiri, bebas dipergunakan semaunya.
Pegawai pemerintah biasa juga disebut birokrat, pegawai yang bertindak secara birokrasi. Arti birokrasi adalah 1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. 2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya. Itu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan, birokrat juga. Yang menggelikan arti yang kedua, sepertinya penyusun kamus sedang menghujat diri sendiri, neluh maneh itu kata ungkapan dalam bahasa Sunda. Tetapi tak bisa dipungkiri memang seperti itu berurusan dengan birokrat, serba lamban dan banyak liku-likunya. Dari pelayanan yang serba lamban dan banyak liku-likunya ini menimbulkan kreativitas lain berbau negatif. Bila ingin mendapat pelayanan serba cepat dan tepat seolah-olah harus ada tanda terima kasih, ada ungkapan yang dilontarkan secara guyon nu dipeuncit seuseurian, nu meuncit heheotan, yang disembelih tertawa senang, yang menyembelih bersiul senang. Tentunya yang disembelih itu masyarakat atau rakyat, sedangkan yang menyembelih adalah birokrat.
Akhir-akhir ini di media masa cetak di kota Bandung sering muncul iklan yang dibuat oleh para birokrat bunyinya Stop Korupsi, kata-kata yang menyertainya puitis, beragam dan menarik. Seperti “Jadilah PNS Sejati Stop Korupsi” (mudah mudahan iklan ini bukan himbauan supaya PNS menghisap rokok Sejati), “Bersihkan diri dari sifat-sifat korupsi”, “Jujur berkarya mengabdi sepenuh hati tanpa korupsi”, “Korupsi adalah extraordinary crime” dan banyak lagi. Lantas ada foto diri yang memasang iklan tersebut lengkap dengan jabatannya. Langkah ini patut diacungi jempol, setidaknya sebagai langkah baik untuk memberantas korupsi dilingkungan birokrat sendiri. Hanya jangan sampai ada yang tertawa sinis seolah-olah itu adalah iklan yang berbau narsis, menghimbau atau ajakan terhadap diri sendiri yang tahu persis ada atau tidaknya korupsi. Toh yang melakukan korupsi terbesar selama ini adalah birokrat. Jangan sampai iklan stop korupsi yang awalnya bertujuan baik, menjadi bumerang dan bahan tertawaan publik.
Yang paling ditunggu adalah pernyataan resmi dari walikota yang menyatakan bahwa di pemerintahan kota Bandung telah bersih dari korupsi. Yang diamini oleh setiap satuan kerja sehingga iklan yang ditampilkan “Satuan kerja kami bersih dari korupsi, memakan uang negara atau uang rakyat satu sen pun itu haram, silahkan diaudit oleh siapapun”. Itu baru kejutan dan rakyatpun akan mengacungkan dua jempol sekaligus.
Dapat diyakini yang melakukan korupsi tidak semua birokrat, walaupun ada yang mengatakan korupsi saat sekarang telah berjamaah. Masih banyak birokrat yang jujur, yang tidak mau memotong anggaran kerja sekian persen dengan dalih untuk koordinasi. Sayangnya birokrat yang jujur itu ikut tercoreng oleh kelakuan segelintir orang. Seandainya jumlah pegawai di pemerintah kota Bandung ada 23 ribu orang (termasuk 18 ribu orang guru) untuk mengurus warga Bandung sebanyak 2,3 juta orang. Yang mempunyai potensi untuk korupsi paling banyak juga ratusan orang, yaitu yang mempunyai wewenang, yang dekat dengan sumber uang dan ada peluang karena kurang pengawasan atau kurang kuat iman terlalu banyak jang ka imah (untuk ke rumah).
Kalau tidak ada korupsi yang dilakukan ratusan orang itu mestinya keadaan kota Bandung dan warganya lebih baik dari sekarang, baik itu fasilitas umum, jalan tidak cepat rusak, kesehatan, pendidikan, ruang publik, maupun masalah sosial ekonomi dan lain lain. Setidaknya warga Bandung yang 2.3 juta orang itu lebih sejahtera dan hidup lebih nyaman dibanding sekarang. Walikota juga pasti akan mendapat trofi penghargaan lebih banyak dari sekarang. Kapan ya walikota Bandung dapat trofi penghargaan karena kota Bandung bebas dari korupsi.
Ada yang mengatakan apabila ingin tahu korupsi atau tidaknya aparat pemerintahnya lihatlah sungai yang mengalir di kota tersebut kalau airnya bersih itu tandanya tidak ada korupsi. Sungai yang membelah kota Bandung adalah sungai Cikapundung, sayang airnya cakeutreuk hideung (hitam kotor) jangankan untuk mandi mengenai kaki saja sudah jarijipen (enggan menyentuh karena kotor).
Stop korupsi di kota Bandung supaya air sungai Cikapundung menjadi bersih.
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
(Dimuat di koran Tribun Jabar Sabtu 19 Desember 2009, rubrik Podium)