28 August 2007

KESALEHAN SOSIAL , Antara Nyi Omoh Koret dan Nini Arum Sekarwangi.

Oleh : MAMAT SASMITA

“Nyi Omoh Koret” itulah judul sebuah cerita dari buku bacaan UPI, sebuah buku bacaan untuk anak SD pada tahun 1958. Diceritakan Nyi Omoh (nama seorang anak perempuan kira-kira berumur 7 tahun) lagi makan pisang, makannya sedikit-sedikit sambil berjalan menemui teman-temannya yang sedang bermain di pekarangan rumah, kelakuannya seolah-olah “ngabibita” (mengiming-iming), ada beberapa orang anak yang meminta tetapi Omoh selalu bilang “meunyi”. Setiap Nyi Omoh bilang meunyi, pisang yang dibawanya disembunyikan kebelakang badannya, celaka ketika pisang dikebelakangkan disana ada seekor kambing, langsung saja pisang Nyi Omoh disambarnya. Nyi Omoh menangis “lolongseran” kata temannya yang lain “tah kitu wawales ka anu koret teh…” ( Nah itulah balasan kepada orang pelit..)
Koret adalah sebuah kata dalam bahasa Sunda padanannya dalam bahasa Indonesia adalah pelit. Kata pelit apabila dilihat didalam kamus bahasa Indonesia artinya kikir, terlampau hemat, didalam kamus itu dicontohkan dengan sebuah kalimat pendek “ orang pelit tidak suka memberi sedekah”.

Bercermin kepada cerita tersebut, disitu ada cerminan kehidupan sekaligus ada unsur sosial. Pada dasarnya membicarakan masalah sosial adalah membicarakan hubungan antar manusia.
Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual, dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai kelompok atau kolektifitas seperti komunitas. Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binantang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manuisa berbeda dengan pembanguna fisik seperti pembangunan jalan, jembatan atau gedung. Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi, dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat sukarela (volunter), swadaya atau organisasi yang tidak berorientasi mencari keuntungan. Kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, seperti kesamaan hak untuk mendapat pendidikan, pekerjaan, perumahan dan berpartisipasi dalam pembangunan (Edi Suhartono, Pembangunan Kebijakan Sosial, STKS tanpa tahun).

Sebelum istilah kesalehan sosial populer sudah ada istilah lain yaitu kepedulian sosial dan kesetiakawanan sosial, nampaknya hampir sama artinya, mengungkit dan menjentik hati seseorang untuk memunculkan nilai kesadaran sosial, walaupun terasa istilah kesalehan sosial lebih sengaja dimunculkan dari arah kesadaran keberagamaan.
Saleh (ada juga yang mengeja shaleh) tentunya berasal dari bahasa Arab yang artinya taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Kesalehan adalah ketaatan (kepatuhan) dalam menjalankan ibadah atau kesungguhan menjalankan agama. Jadi kesalehan sosial adalah ketaatan yang berdimensi sosial, ketaatan atau memposisikan diri sangat peduli akan hubungan antar manusia, bukan saja dalam hal etika tetapi juga diharapkan ada didalam tataran saling berbagi akan kelebihan apa yang dipunyainya. Disamping kesalehan sosial ada juga yang disebut kesalehan ritual, yang lebih mengarah kepada hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Pada saat Nyi Omoh memamerkan apa yang dia punya kepada teman-temannya berupa sebuah pisang, dan ketika teman-temannya ingin mencicipi dia langsung berreaksi dengan berkata “meunyi” (asal katanya dari meuli, membeli, ari hayang mah meuli we, kalau mau ya membeli) sambil menyembunyikan pisangnya, saat itulah temannya menghukum Nyi Omoh dengan sebutan koret (pelit).
Sikap demonstratif dari Nyi Omoh memamerkan apa yang dipunyai terhadap lingkungannya yang tidak mempunyai seperti apa yang dia punya, menimbulkan friksi, masih mending kalau hanya menghujat dengan mengatakan pelit, tetapi akan berbahaya apabila Nyi Omoh dianggap lawan kelompok.
Ketika mall bermunculan di kota-kota besar untuk menawarkan beribu macam dagangan yang gemerlap berkonotasi mewah, sedangkan sisi lain kondisi ekonomi dianggap masih terpuruk, PHK dimana-mana, pengangguran bertambah banyak, kemiskinan semakin menggejala. Disitu yang dikhawatirkan seperti sikap kelompok terhadap Nyi Omoh. Memang mall terbuka untuk siapa saja, mall bukan saja tempat segala macam barang dagangan, tetapi juga sebagai “ruang publik”, siapapun dapat masuk walaupun dimana setiap pengunjung belum tentu menjadi seorang pembeli, belum tentu terjadi transaksi ekonomi. Pengunjung bisa saja hanya sekedar mengisi waktu luang dengan keluyuran di mall atau hanya sekedar nongkrong bareng dengan teman-teman, paling tidak disana akan menatap berbagai barang sebagai sarana melambungkan mimpi atau pengunjung menonton pengunjung “to see or to be seen”. Bukankah di mall “ngabibita” itu telah “dilegalkan” dan sang penjual akan berkata meunyi bagi yang menghendaki barang tapi tak punya uang.
Ngabibita yang dilegalkan juga terjadi di kompleks perumahan (real estate), coba saja lihat antara rumah penduduk biasa yang sudah lama ada, dengan penghuni real estate, dibatasi dengan pagar tembok, seolah-olah ada batas antara penghuni lama dan penghuni baru, antara yang punya gedung dan rumah biasa. Pagar disana bukan hanya sekedar batas tapi juga untuk keamanan, kalau tidak ada pagar dianggap tidak aman. Belum lagi pagar rumah masing-masing penghuni estate, semakin kokoh dan semakin tinggi dirasa semakin aman. Harga keamanan seolah-olah ada pada pagar itu, bukan menjalin hubungan baik dengan setiap penghuni entah antar penghuni di estate atau dengan penghuni diluar estate. Pagar sepertinya adalah batas yang kaya dan yang miskin, ada kontras antara golongan the have dan the havenot (Setiawan Sabana, PR Khazanah Sabtu, 17 Juni 2006). Batas seperti ini yang dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial, satu sama lain saling berhadapan sebagai lawan.

Barangkali ada baiknya membaca cerita Nini Arum Sekarwangi di dalam Gandasari jilid 5, sebuah buku bacaan untuk anak SD sekitar tahun 1940, seorang nenek yang “masakat” (miskin sekali) namanya Nini Arum Sekarwangi, dijuluki sekarwangi karena menjual bunga melati, sehari-harinya hidup selain menjual bunga melati juga menjual “daun kole” (daun pisang), “bongborosan”(bakal batang yang belum berdaun dari tanaman seperti honje, laja, kunci, kuning) dan umbi-umbian, karena tekun dan kasih sayang bukan saja kepada sesama manusia tetapi juga kepada binatang, kepada lingkungan. Hidupna menjadi lebih ajeg, hasil dari penjualan daun pisang dan umbi-umbian mencukupi untuk hidupnya. Dipihak lain ada tetangganya bernama Ambu Juma, awalnya hidupnya lebih baik tetapi mempunyai sifat kebalikan dari Nini Arum, iri, dengki dan pelit, sering menteror Nini Arum, lama-lama hidupnya semakin susah akibat kelakuannya sendiri. Dalam keadaan Ambu Juma kritis karena kecelakaan, Nini Arum menjadi penyelamatnya. Nini Arum melihat Ambu Juma sebagai sesama manusia yang perlu ditolong, walaupun mungkin pernah menyakiti hatinya. Nini Arum membagikan sebagian rizkinya untuk sesama, memberi makan, memberi keteduhan, memberikan ketenangan hidup.
Posisi Nini Arum adalah orang kaya dimata Ambu Juma yang mengaku orang miskin, walaupun Ambu Juma menyadari kesalahannya, kemiskinan yang ia dapat akibat kesalahan dirinya dalam menyikapi hidup.

Kemiskinan dapat dilawan dengan ketekunan belajar, ketekunan kerja (mempunyai etos kerja yang tinggi), dan yang lebih penting bagaimana sikap penguasa (pemerintah) memposisikan kemiskinan, jangan sampai terjadi dengan apa yang disebut kemiskinan struktural (dampak kebijakan pemerintah yang tidak kondusif terhadap akses ekonomi produktif berupa permodalan, teknologi, infrastruktur, akses pasar, dan informasi situasi harga, dan sebagainya).

Sekat sekat antara miskin dan kaya dapat dikikis melalui sikap Nini Arum Sekarwangi, itulah kesalehan sosial.

Tampaknya selain kesalehan ritual dan kesalehan sosial, kita juga harus menyetujui adanya istilah kesalehan profesional.. Pada awalnya kesalehan profesional adalah kesalehan sosial juga, kesalehan sosial menyangkut kegiatan sosial secara umum, sedang kesalehan profesional terkait dengan kegiatan pekerjaan atau profesi kita. Kesalehan profesional sebenarnya adalah profesionalisme atau kemampuan bekerja dengan baik sesuai aturan dan hukum yang berlaku serta etika kerja universal. Hal itu ditentukan oleh kemampuan (teknis plus manajerial) dan integritas (Salahuddin Wahid, Kompas Jumat, 23 November 2001). Seorang tukang ojeg jadilah tukang ojeg yang baik, mematuhi aturan lalu lintas, penumpang merasa aman, tidak ngebut, tidak berlaku genit terhadap penumpang, meminta ongkos proporsional. Seorang PNS jadilah PNS yang baik, sesuai aturan-aturan ke-pns-an, seorang pedagang jadilah pedagang yang baik, begitupun yang lainnya. Berlaku curang, korupsi, tidak disiplin waktu, itulah penghianat kesalehan profesional, itulah kelakuan Ambu Juma.

Bagaimana dengan kita, apakah sebagai Nyi Omoh Koret atau sebagai Nini Arum Sekarwangi atau sebagai Ambu Juma….?. Nah..!



Margawangi 22 Juli 2007.
Mamat Sasmita, pensiunan pegawai TELKOM, penggiat Rumah Baca Buku Sunda, tinggal di Bandung.
(Dimuat di Majalah Warta Bapeda Propinsi Jabar Volume 12 No.2 April-Juni 2007)

2 comments:

denny saloon said...

ari carita nyi omoh koret anu lengkapna, aya? sok atuh send ka dennysaloon@gmail.com ari sami-sami pangsiunan telkom mah

denny saloon said...

ari carita nyi omoh koret anu lengkapna, aya? sok atuh send ka dennysaloon@gmail.com ari sami-sami pangsiunan telkom mah