Mamat B Sasmita dan Kecintaan pada Bahasa Ibu
Pada saat buku berbahan kertas mulai digantikan "buku digital", Mamat B Sasmita (54) justru membuka perpustakaan. Upaya itu semakin tak populer mengingat buku-buku koleksinya banyak yang berupa buku-buku kuno, berbahasa Sunda pula.
Ia terpanggil untuk membagikan pengetahuan tentang kesundaan karena ada kecenderungan penurunan penggunaan bahasa Sunda oleh kalangan generasi muda kota-kota besar di Jawa Barat. Pada Februari 2004, lelaki kelahiran Tasikmalaya 15 Mei 1951 itu membuka rumah baca di kediamannya di Jalan Margawangi VII Nomor 5, Bandung, Jawa Barat.
Di halaman rumahnya terpampang sebuah papan bertuliskan "Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana" (Rumah Baca Buku Sunda dan Sebagainya), seakan menyambut siapa pun yang datang. Sasmita berkisah, sesuai dengan konsep rumah baca, awalnya pengunjung hanya boleh membaca di tempat. Rupanya, metode itu kurang disukai peminjam. Akhirnya, ia pun mengizinkan buku-bukunya dibawa pulang.
Saat ini terdapat sekitar 1.000 buku yang menghuni rak-rak di dinding rumahnya. Sasmita mengatakan, lebih kurang 500 buku ditulis dalam bahasa Sunda, sedangkan buku-buku lainnya berbahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jerman.
Dari 500-an buku berbahasa non-Sunda itu, sekitar 200-an buku bercerita tentang Sunda. Ia mencontohkan buku berjudul Priangan de Preanger Regentscappen order het Nederlandsch Bestuur tot 1811 yang berbahasa Belanda. Buku terbitan tahun 1911 itu bercerita tentang perjalanan seorang Belanda di Tanah Priangan pada abad ke-18. Oleh karena keragaman bahasa dan tema itulah, kata jeung sajabana ditambahkan di belakang nama Rumah Baca Buku Sunda.
Dalam bahasa Sunda, kata itu berarti "dan sebagainya". Selain buku-buku sejarah dan cerita (fiksi), Sasmita juga mengoleksi kamus-kamus kuno yang berisi terjemahan bahasa Sunda ke berbagai bahasa. Salah satu kamus yang dimilikinya adalah kamus Sunda-Inggris yang terbit tahun 1912.
Mengumpulkan buku
Buku-buku kuno dan langka itu tidak turun dari langit. Sejak masih di bangku sekolah menengah, Sasmita mulai senang berburu buku. Khusus buku kuno dan langka, obyek pencarian adalah pasar-pasar buku loak. Kalau carinya di toko-toko buku baru ya sulit ketemu", ujar suami Siti Syalsiah (48) ini.
Tempat berburu buku yang paling sering ia datangi adalah Pasar Palasari, Bandung. Di pasar buku itu Sasmita punya kontak khusus yang akan menghubunginya jika ada buku-buku kuno. Namun, ayah dari Rachmah Firstriani (8) itu tidak berburu buku di Bandung saja. "Ketika ke Jakarta tempo hari, saya cari buku di Taman Ismail Marzuki dan Pasar Senen"
Kecintaannya pada cerita-cerita Sunda sudah terpupuk sejak kecil. Pada masa itu, pesawat radio dan televisi masih sangat jarang. Jika sore tiba, ayahnya yang bernama Sasmita, bisa leluasa membacakan cerita bungsu dari lima bersaudara itu. Sasmita masih ingat judul buku yang sering dibaca ayahnya, yakni Wawatjan Poernama Alam. Ada suatu kebahagiaan tersendiri ketika tahun 1990 ia menemukan buku itu di Pasar Palasari, Bandung. Sebagai pencinta buku bertema humaniora, profesi Sasmita justru tidak terkait dengan hal itu.
Sekarang ia tengah menikmati masa persiapan pensiun setelah bekerja puluhan tahun di PT Telkom. Spesialisasi yang ia kerjakan adalah transmisi satelit. Pekerjaan itu sempat membuatnya berkeliling Nusantara. Sebelum kembali menetap di Bandung tahun 2003, Sasmita sempat tinggal kota-kota lain, seperti Jambi, Papua, Denpasar, Ende, (Nusa Tenggara Timur), dan Surabaya. Bahkan, karena profesi, ia juga sempat tinggal dan belajar di California, Amerika Serikat, pada tahun 1990.
Meski telah tinggal di berbagai kota dan bertemu dengan berbagai manusia yang berlainan adat dan budaya, kecintaan Sasmita pada bahasa Sunda tidak pernah luntur. "Sunda itu kan bahasa ibu saya" kata Sasmita tertawa ketika ditanya alasannya. Bahasa ibu, menurut dia, lebih meresap jika digunakan untuk mengajarkan suatu hal.
Hingga bulan Mei 2005, pengunjung rumah bacanya mencapai 114 orang. "Kebanyakan teman-teman dan mahasiswa yang cari referensi" ujar Sasmita yang memprakarsai lomba pidato bahasa Sunda di kampungnya itu. Bahkan, para tetangga Sasmita pun tak ketinggalan. "Apalagi kalau anaknya kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah pelajaran Bahasa Sunda" kata Sasmita sembari tersenyum.(D06/D11)
Kompas Senin, 11 Juli 2005
No comments:
Post a Comment