04 June 2007

HASIL WAWANCARA 2

Basa Sunda (Jangan) Termarginalkan

Tina (29), mengaku kesulitan setiap anaknya, Resya, yang duduk di bangku kelas III Sekolah Dasar di Bandung meminta pertolongannya untuk mengerjakan PR (pekerjaan rumah) mata pelajaran Bahasa Sunda. "Anak saya tidak bisa bicara bahasa Sunda karena sedari kecil tidak dibiasakan," ujarnya.

Meski Tina sendiri pituin urang Bandung asli yang bahasa ibunya adalah bahasa Sunda, tetapi lingkungan masyarakatnya jarang menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, bagi keluarga muda seperti Tina, ada sebuah prestise tersendiri jika menggunakan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tampaknya sudah menjadi tren di lingkungan keluarga muda yang tumbuh di tanah Sunda sendiri.

Menurut salah seorang pemerhati bahasa Sunda, Gugun Gunardi, fenomena ini terjadi karena kalangan generasi muda saat ini menganggap basa Sunda itu kurang elite. "Karena mungkin pengajaran basa Sunda di rumah baik di sekolah kurang," ujarnya.

Selain itu, generasi muda saat ini banyak yang menganggap bahwa bahasa Sunda hanya digunakan oleh kalangan grass root (masyarakat kelas bawah-Red.). Gugun menilai anggapan seperti itu adalah salah, akan tetapi itulah yang terjadi karena gerusan zaman.

Berbeda dengan Gugun, fenomena ini tidak terlalu ditakutkan oleh salah seorang pengasuh perpustakaan basa Sunda, Mamat Sasmita. Dibandingkan dengan bahasa daerah lain, menurut dia, bahasa Sunda masih terhitung banyak digunakan oleh masyarakatnya. Prediksi orang tua dahulu akan punahnya bahasa Sunda pada tahun 2000-an tidak terbukti hingga saat ini.

Yang paling penting, lanjut Mamat, bagaimana cara kita menyebarkan dan menggunakan bahasa Sunda secara arif kepada masyarakat. Di perpustakaan yang ia kelola sejak tahun 2004 di rumahnya itu, Mamat banyak dikunjungi oleh kalangan akademisi. Ia tidak memungkiri, yang berminat untuk mempelajari kaidah bahasa Sunda memang masih didominasi oleh para akademisi itu, di antaranya beberapa mahasiswa S-3 yang sedang menyelesaikan disertasinya.

Gugun menegaskan budaya daerah bisa berfungsi sebagai benteng dari pengaruh budaya luar yang tidak atau kurang cocok. “Untuk itu, harus kembali ke budaya daerah yang dasarnya adalah dengan penguasaan bahasa daerah,”katanya.

Kiprah nyata Gugun antara lain dilakukan dengan ikut dalam tim editor Kamus Basa Sunda R.A. Danadibrata. Alasannya, kamus adalah salah satu indikator lestarinya sebuah bahasa. Sedangkan Mamat, memang belum sampai pada penyusunan kamus. Melainkan, berburu kamus dan buku-buku Sunda untuk melengkapi koleksi perpustakaannya.

Berburu kamus Rigg

Siapa yang tidak tahu kamus Sunda-Inggris pertama karya Jonathan Rigg yang diterbitkan pada tahun 1862? Dalam sejarah perburuannya, Mamat beruntung karena mendapat cetakan asli kamus karya monumental Rigg itu.

Kini, di Rumah Baca Buku Sunda jeung Sajabana yang dikelolanya di rumahnya di Jln. Margawangi VII No. 5 Margacinta, Bandung, kamus setebal 537 halaman itu menjadi daya tarik tertentu. Warna kertasnya sudah kian menguning termakan usia. Meski begitu, tak sehelai pun kertasnya hilang, alias masih lengkap. Jumlah kata yang tercantum dalam kamus yang disusun selama Rigg tinggal di Jasinga, Bogor itu, ada 9.308 kata.

Dalam kata pendahuluannya, Rigg yang pada waktu itu menjadi anggota Batavian Society of Arts and Sciences, menuliskan padanan kata dalam bahasa Sunda untuk bilangan. Contohnya, 175 dibaca saratus tujuh puluh lima atau lebak satak. Lebak samas adalah padanan untuk 375. Kata bilangan lainnya yang sekarang cukup jarang digunakan adalah salaksa yang berarti 10.000, saketi untuk 100.000 dan saratus laksa atau sayuta untuk pelafalan 1.000.000.

Yang menarik, Rigg berhasil menampilkan 150 kata khusus dari kata pare (padi- Red.). Kata-kata khusus itu dibedakan melalui tanda-tanda fisik dan tahap pertumbuhannya, baik padi sawah maupun padi huma. Contohnya, angsana baheula, angsana leutik, banteng, benteng, beureum gede, beureum huis, beureum loyor, beureum seksek, dan lain-lain.

Pertengahan tahun 2003, Mamat yang gemar mengoleksi buku-buku berbahasa Sunda itu, mendapat kamus babon itu di salah satu kios buku bekas di Pasar Suci, Bandung. Ketika sang pemilik toko menawarkan kamus yang menjadi acuan tetap penelusuran sejarah bahasa Sunda itu, Mamat berlaku biasa saja.

“Setelah ditawar-tawar, saya beli kamus itu seharga Rp 125.000,00,” ujarnya mengenang. Bagi dia, hal itu adalah rezeki yang amat luar biasa. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun memburu kamus karya Rigg, Mamat pernah ditawari dari sebuah situs penjualan buku online dari Belanda. “Waktu itu harganya yang ditawarkan 500 euro atau sekira Rp 4 juta-an,” katanya. Kini, kamus asli karya Rigg itu bisa dipinjam kalangan umum di Rumah Baca Buku Sunda jeung Sajabana yang dikelola Mamat di rumahnya.

Berbeda dengan perpustakaan atau rumah baca pada umumnya, Mamat tidak mengenakan tarif pinjam buku. Begitu pula, waktu peminjaman, tidak diatur. Ia mengaku, semuanya diatur berdasarkan feeling. Meski begitu, ia tetap mengharuskan para peminjam untuk menyerahkan nama, alamat, dan nomor telefon yang jelas. (Lina Nursanty/”PR”)***

Pikiran Rakyat Kamis, 18 Januari 2007 ( http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/18/lapsus01.htm )

1 comment:

Anonymous said...

kasihan sekali kepada mereka yang menolak menggunakan bahasa daerahnya atas nama ''kurang'' prestise. sementara kita semua tahu bahwa bahasa itu ciri khas budaya sebuah bangsa. kalau bukan kita yang mengawetkan dan menggunakannya siapa lagi.
bravo buat Pak Mamat Sasmita dengan rumah baca buku sundanya.