Oleh MAMAT SASMITA
Membaca tulisan Jamaludin Wiartakusumah (Mang Jamal) tentang Urang Sunda Jadi Presiden (Kompas Jawa Barat 18/9/10) dan tulisan Iip.D.Yahya (Kompas Jabar 30/9/10) sangat menggembirakan sekaligus menyedihkan. Disebut menggembirakan karena wacana presiden dari urang Sunda digelar dengan terbuka. Tersirat tulisan keduanya tersebut ada kerinduan urang Sunda jadi presiden. Disebut menyedihkan karena seolah-olah jabatan presiden adalah satu-satunya jabatan yang sangat dibanggakan untuk memperlihatkan eksistensi urang Sunda. Sampai-sampai semua Presiden RI dikaitkan dengan Tatar Sunda mulai dari istri, pendidikan, masa tugas, tampat tinggal dan sisi mistisnya. Terasanya sangat ngageuri.
Kalau memang jadi presiden itu satu-satunya kebanggaan yang perlu diraih untuk memulihkan kepercayaan diri urang Sunda, marilah kita tatahar, membuat strategi untuk meraihnya.
Pertama, jadikan bahwa urang Sunda jadi presiden itu impian kolektif urang Sunda dengan jalan kampanye besar-besaran. Jangan malu-malu seperti tokek, bunyinya keras tapi tidak menampakan diri. Jangan malu-malu seperti kucing, menyambar ikan asin ketika orang lengah. Mari kita tandang, bak kesatria menghadang perang, mun datang kaciri tarang, mun undur kaciri punduk.
Kedua, pasang iklan di media massa, besar-besar, yang berbunyi dicari orang Sunda yang jujur, adil dan tegas (mengutip tulisan Pong Harjatmo di atap gedung DPR). Pasti urang Sunda akan berduyun-duyun mendaftarkan diri. Sebab urang Sunda merasa paling jujur, adil dan tegas sedunia. Hal ini sering dipidatokan para pejabat lembaga pemerintahan yang mengurus kebudayaan, bahwa budaya Sunda teh luhung, bahwa ajen inajen Sunda teh luhung.
Kalau saja benar bahwa budaya dan nilai-nilai Sunda itu luhur, pastinya sekarang tak merasa rendah. Pastinya di Tatar Sunda tidak ada korupsi. Pastinya di Tatar Sunda tidak ada bupati atau mantan gubernur yang mendekam di pangberokan. Nyatanya, di Tatar Sunda banyak yang korupsi dan tidak lebih maju dibanding daerah lain.
Pendaftar, tidak perlu membuktikan kejujuran, keadilan dan ketegasannya. Ia cukup dipercaya atas pengakuannya, karena urang Sunda selalu dididik berprasangka baik. Kalau tidak percaya kepada orang Sunda sendiri, apa harus percaya kepada burung beo atau kepada burung kakak tua?.
Pendaftar bisa mulai dari yang seusia siswa taman kanak-kanak sampai kakek nenek. Sebab kejujuran, keadilan dan ketegasan, harus dipunyai sejak anak-anak sampai kakek nenek. Kan tidak ada yang pernah memberikan pelajaran kepada anak-anak atau kakek nenek boleh tidak jujur, boleh tidak adil, boleh tidak tegas.
Sekolah Presiden
Ketiga, segeralah buka sekolah jadi presiden atau bimbingan belajar jadi presiden sebanyak-banyaknya. Kan kita sangat terampil membuka sekolah atau membuka tempat bimbingan belajar. Tengok saja pada awal ajaran baru akan berseliweran iklan sekolah, mulai dari yang terakreditasi baik sampai yang terakreditasi didoakan.
Begitu juga kalau menjelang ujian akhir akan sering muncul iklan bimbingan belajar entah itu ditempel di pohon atau digelar berbentuk baliho yang besar
Murid yang medaptarkan diri dari iklan yang dipasang itu pasti akan banyak. Sekolah yang lulusannya tidak tahu bakal jadi apa saja banyak muridnya, apalagi yang lulusannya bakal jadi presiden.
Tempat belajarnya tak perlu di gedung mentereng, berpendingin, berlampu kelap kelip. Cukup dibawah pohon rindang atau di lapangan terbuka, mirip Shantiniketan (tempat yang damai) kepunyaan Rabindranath Tagore.
Para pengajarnya jangan yang sehari-hari berdasi apalagi pejabat, tetapi para pemulung, petani gurem, tukang becak, sopir angkot, pangangguran dan orang miskin lainnya. Jangan dianggap remeh mereka yang miskin itu. Mereka juga punya cita-cita. Mereka juga sangat pintar mengatasi kesusahan dalam hidupnya.
Buat kurikulum yang baik, umpamanya tahun pertama disuruh menuliskan kata jujur terus menerus, tidak peduli menghabiskan berpuluh-puluh buku tulis. Tahun kedua menulis kata adil, tahun ketiga menulis kata tegas, tahun keempat mulai menulis gabungan kata seperti korupsi adalah perbuatan tidak jujur, dan seterusnya.
Tahun kelima menginjak kepada pelajaran apabila menurut penilaian rakyat gagal harus berani mengundurkan diri. Keberanian untuk mengundurkan diri ini ternyata barang mahal, sehingga belum pernah ada pejabat yang membelinya. Urang Sunda harus menjadi pelopor membelinya. Indikator kegagalan itu gampanag dilihat, misalnya semakin banyak pengemis di perempatan jalan, makin banyak penganggur, banjir makin meluas, harga bahan pangan makin melonjak naik dan jalan aspal semakin banyak bolong.
Lulusan sekolah atau bimbingan belajar jadi presiden inilah yang akan menjadi presiden dari urang Sunda. Kata pepatah, kalau kita tidak pernah menanam pohon jangan harap memanen buahnya. Sekarang, rasanya tidak pernah ada urang Sunda yang mengaku mendidik (mengaderkan) seseorang untuk presiden. Jadi kalau tidak ada urang Sunda yang jadi presiden, jangan nganaha-naha. Begitu juga bila ada yang percaya diri mencalonkan jadi presiden jangan cepat direngkas malah harus dirojong.
Biaya untuk mendirikan sekolah jadi presiden atau biaya bimbingan belajar jadi presiden, tidak perlu meminta kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kota. Kita harus menghindari mempunyai mental baramaen. Biarkan pemerintah itu asyik sendiri dengan urusannya, menangkis tuduhan ada korupsi, menangkis tuduhan ada kegagalan.
Harus siap kalah.
Karena yang jadi presiden itu hanya satu orang dari 230 juta orang, siapa pun harus siap kalah bersaing. Artinya kalau kalah tidak perlu putus asa, tidak perlu menebar amuk, apalagi sampai gantung diri. Kesempatan masih ada, apalagi kalau masih muda (yang merasa sudah tua harus tahu diri). Untuk latihan sebelum jadi presiden, sebaiknya ikuti dulu persaingan jadi walikota, bupati atau gubernur. Kan sudah belajar menjadi orang jujur, adil, dan berani mengundurkan diri apabila dinilai gagal.
Benar kata Iip.D.Yahya, kita harus memilih bupati, wali kota atau gubernur yang ber-KTP daerah yang akan dipimpin. KTP jangan hanya dilihat sebagai selembar kertas bertuliskan kartu tanda penduduk. Setidaknya proses membuat KTP akan mengenal Ketua RT, Ketua RW, lurah dan camat setempat. Dengan kata lain harus mengenal daerah yang akan dipimpin.
Karena menjadi bupati, wali kota atau gubernur itu harus melalui partai, pilih partai yang baik, bukan partai yang menjadi juru lelang. Atau, untuk latihannya berani bersaing menjadi ketua partai. Sekali lagi, pilih partai yang baik, bukan partai yang memilih ketuanya karena uang. Jadikan slogan, partai yang jujur hanya partai yang ketuanya urang Sunda.
Der ah..!
Kalau memang jadi presiden itu satu-satunya kebanggaan yang perlu diraih untuk memulihkan kepercayaan diri urang Sunda, marilah kita tatahar, membuat strategi untuk meraihnya.
Pertama, jadikan bahwa urang Sunda jadi presiden itu impian kolektif urang Sunda dengan jalan kampanye besar-besaran. Jangan malu-malu seperti tokek, bunyinya keras tapi tidak menampakan diri. Jangan malu-malu seperti kucing, menyambar ikan asin ketika orang lengah. Mari kita tandang, bak kesatria menghadang perang, mun datang kaciri tarang, mun undur kaciri punduk.
Kedua, pasang iklan di media massa, besar-besar, yang berbunyi dicari orang Sunda yang jujur, adil dan tegas (mengutip tulisan Pong Harjatmo di atap gedung DPR). Pasti urang Sunda akan berduyun-duyun mendaftarkan diri. Sebab urang Sunda merasa paling jujur, adil dan tegas sedunia. Hal ini sering dipidatokan para pejabat lembaga pemerintahan yang mengurus kebudayaan, bahwa budaya Sunda teh luhung, bahwa ajen inajen Sunda teh luhung.
Kalau saja benar bahwa budaya dan nilai-nilai Sunda itu luhur, pastinya sekarang tak merasa rendah. Pastinya di Tatar Sunda tidak ada korupsi. Pastinya di Tatar Sunda tidak ada bupati atau mantan gubernur yang mendekam di pangberokan. Nyatanya, di Tatar Sunda banyak yang korupsi dan tidak lebih maju dibanding daerah lain.
Pendaftar, tidak perlu membuktikan kejujuran, keadilan dan ketegasannya. Ia cukup dipercaya atas pengakuannya, karena urang Sunda selalu dididik berprasangka baik. Kalau tidak percaya kepada orang Sunda sendiri, apa harus percaya kepada burung beo atau kepada burung kakak tua?.
Pendaftar bisa mulai dari yang seusia siswa taman kanak-kanak sampai kakek nenek. Sebab kejujuran, keadilan dan ketegasan, harus dipunyai sejak anak-anak sampai kakek nenek. Kan tidak ada yang pernah memberikan pelajaran kepada anak-anak atau kakek nenek boleh tidak jujur, boleh tidak adil, boleh tidak tegas.
Sekolah Presiden
Ketiga, segeralah buka sekolah jadi presiden atau bimbingan belajar jadi presiden sebanyak-banyaknya. Kan kita sangat terampil membuka sekolah atau membuka tempat bimbingan belajar. Tengok saja pada awal ajaran baru akan berseliweran iklan sekolah, mulai dari yang terakreditasi baik sampai yang terakreditasi didoakan.
Begitu juga kalau menjelang ujian akhir akan sering muncul iklan bimbingan belajar entah itu ditempel di pohon atau digelar berbentuk baliho yang besar
Murid yang medaptarkan diri dari iklan yang dipasang itu pasti akan banyak. Sekolah yang lulusannya tidak tahu bakal jadi apa saja banyak muridnya, apalagi yang lulusannya bakal jadi presiden.
Tempat belajarnya tak perlu di gedung mentereng, berpendingin, berlampu kelap kelip. Cukup dibawah pohon rindang atau di lapangan terbuka, mirip Shantiniketan (tempat yang damai) kepunyaan Rabindranath Tagore.
Para pengajarnya jangan yang sehari-hari berdasi apalagi pejabat, tetapi para pemulung, petani gurem, tukang becak, sopir angkot, pangangguran dan orang miskin lainnya. Jangan dianggap remeh mereka yang miskin itu. Mereka juga punya cita-cita. Mereka juga sangat pintar mengatasi kesusahan dalam hidupnya.
Buat kurikulum yang baik, umpamanya tahun pertama disuruh menuliskan kata jujur terus menerus, tidak peduli menghabiskan berpuluh-puluh buku tulis. Tahun kedua menulis kata adil, tahun ketiga menulis kata tegas, tahun keempat mulai menulis gabungan kata seperti korupsi adalah perbuatan tidak jujur, dan seterusnya.
Tahun kelima menginjak kepada pelajaran apabila menurut penilaian rakyat gagal harus berani mengundurkan diri. Keberanian untuk mengundurkan diri ini ternyata barang mahal, sehingga belum pernah ada pejabat yang membelinya. Urang Sunda harus menjadi pelopor membelinya. Indikator kegagalan itu gampanag dilihat, misalnya semakin banyak pengemis di perempatan jalan, makin banyak penganggur, banjir makin meluas, harga bahan pangan makin melonjak naik dan jalan aspal semakin banyak bolong.
Lulusan sekolah atau bimbingan belajar jadi presiden inilah yang akan menjadi presiden dari urang Sunda. Kata pepatah, kalau kita tidak pernah menanam pohon jangan harap memanen buahnya. Sekarang, rasanya tidak pernah ada urang Sunda yang mengaku mendidik (mengaderkan) seseorang untuk presiden. Jadi kalau tidak ada urang Sunda yang jadi presiden, jangan nganaha-naha. Begitu juga bila ada yang percaya diri mencalonkan jadi presiden jangan cepat direngkas malah harus dirojong.
Biaya untuk mendirikan sekolah jadi presiden atau biaya bimbingan belajar jadi presiden, tidak perlu meminta kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kota. Kita harus menghindari mempunyai mental baramaen. Biarkan pemerintah itu asyik sendiri dengan urusannya, menangkis tuduhan ada korupsi, menangkis tuduhan ada kegagalan.
Harus siap kalah.
Karena yang jadi presiden itu hanya satu orang dari 230 juta orang, siapa pun harus siap kalah bersaing. Artinya kalau kalah tidak perlu putus asa, tidak perlu menebar amuk, apalagi sampai gantung diri. Kesempatan masih ada, apalagi kalau masih muda (yang merasa sudah tua harus tahu diri). Untuk latihan sebelum jadi presiden, sebaiknya ikuti dulu persaingan jadi walikota, bupati atau gubernur. Kan sudah belajar menjadi orang jujur, adil, dan berani mengundurkan diri apabila dinilai gagal.
Benar kata Iip.D.Yahya, kita harus memilih bupati, wali kota atau gubernur yang ber-KTP daerah yang akan dipimpin. KTP jangan hanya dilihat sebagai selembar kertas bertuliskan kartu tanda penduduk. Setidaknya proses membuat KTP akan mengenal Ketua RT, Ketua RW, lurah dan camat setempat. Dengan kata lain harus mengenal daerah yang akan dipimpin.
Karena menjadi bupati, wali kota atau gubernur itu harus melalui partai, pilih partai yang baik, bukan partai yang menjadi juru lelang. Atau, untuk latihannya berani bersaing menjadi ketua partai. Sekali lagi, pilih partai yang baik, bukan partai yang memilih ketuanya karena uang. Jadikan slogan, partai yang jujur hanya partai yang ketuanya urang Sunda.
Der ah..!
MAMAT SASMITA
Pengelola Rumah Baca Buku Suda, Bandung.
(Dimuat Kompas Jabar Sabtu 9 Oktober 2010, rubrik Anjungan)
Pengelola Rumah Baca Buku Suda, Bandung.
(Dimuat Kompas Jabar Sabtu 9 Oktober 2010, rubrik Anjungan)
No comments:
Post a Comment