Oleh Mamat Sasmita
Di dalam masyarakat Sunda ada yang disebut pakasaban, ada juga yang menyebutnya patukangan, yaitu jenis pekerjaan yang menjadi keahlian seseorang. Seperti anjun, yaitu tukang membuat barang sehari-hari dari tanah liat; gending, yaitu tukang membuat alat-alat dari bahan logam kuningan; kamasan, yaitu tukang yang membuat alat-alat dari bahan logam emas, itu yang berkaitan dengan pembuatan alat-alat.
Begitu juga dengan pekerjaan lain seperti tukang berburu di hutan disebut paninggaran atau pamatang. Sedangkan untuk tukang menangkap ikan dengan cara menyelam di sungai disebut palika, untuk tukang menangkap ikan di laut disebut pamayang.
Apabila membaca naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), naskah kuno bahasa Sunda yang dibuat pada tahun 1518 M (transkripsi dan terjemahan, Saleh Danasasmita dkk, 1987), terdapat beberapa nama patukangan di antaranya pangeuyeuk (ahli kain/tekstil), paraguna (ahli karawitan), maranggi (ahli ukir), hareupcatra (ahli masak), darmamurcaya (ahli bahasa), dan sebagainya.
Apabila ingin tahu bentuk kain yang namanya kembang muncang, sebaiknya lihat saja bentuk bunga kemiri, bentuk gagang senggang kita lihat batang jenis tanaman perdu yang namanya bayam. Memang tidak semua nama jenis kain yang ada di SSK dikenal, dipilih saja yang bisa dibuat, yang tidak bisa biarkan saja, itu tugas para peneliti akademis. Tampaknya semua yang ada di SSK yang berkaitan dengan hal pakasaban pada dasarnya adalah industri kreatif.
Industri kreatif adalah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi suatu produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang-orang yang terlibat. Sedangkan kreativitas bisa muncul dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan tentu saja talenta.
Salah satu klaster industri kreatif, yaitu tekstil dan produk tekstil (TPT), bisa berupa bordir, garmen baju, kaus, dan lain-lain yang berkaitan dengan produk tekstil. Misalnya daerah Suci sekitar Pasar Cihaurgeulis, Bandung, terkenal dengan produk kaus, entah itu kaus oblong, pakaian olahraga, atau produk lainnya yang berkenaan dengan kain kaus.
Desain
Dalam hal produksi kaus ini, ada hal yang perlu dipertimbangkan baik mulai desain tekstilnya (bahan kaus), desain fashion (potongan baju kaus), dan desain grafisnya sebagai ilustrasi atau gambar yang ditampilkan melalui media kaus itu. Memang kaus bisa dianggap sebagai media kreatif, selain tujuan utama sebagai hasil industri kreatif melalui desain fashion dan desain grafis.
Barangkali di sinilah bisa berpadunya antara kaus sebagai industri kreatif dan keunikan-keunikan budaya lokal melalui eksplorasi desain grafis. Kalau pada naskah SSK ada desain yang disebut kalangkang ayakan, rasanya bentuknya bisa ditebak, ayakan masih dipergunakan sampai sekarang. Kalau hanya ingin melihat kalangkangnya tinggal ditempatkan di terik matahari dan dilihat bayang-bayangnya, itulah desain kalangkang ayakan. Yang diperlukan supaya menjadi bentuk menarik di situlah kerja kreatif dari desainer.
Ciri khas Jawa Barat yang paling sering ditampilkan adalah gambar Gedung Sate, kujang, kecapi, atau angklung. Padahal masih banyak benda tradisional lain yang pantas ditampilkan seperti kele (ruas bambu untuk mengambil air), kolanding (ruas bambu untuk tempat air sadapan), lodong (sama dengan kolanding tetapi lebih panjang, beberapa ruas bambu), boboko (tempat nasi), aseupan, dan lain-lain.
Hal lain yang bisa "dijual" adalah bahasa Sunda itu sendiri. Ungkapan seperti ditilik ti gigir lenggik, disawang ti tukang lenjang, diteuteup ti hareup sieup....eta kabogoh abdi barangkali akan menjadi daya tarik bagi anak muda laki-laki. Keunikannya ada pada purwakanti (permainan bunyi kata pada susunan sebuah kalimat) bahasa Sunda. Untuk anak muda perempuan bisa saja sebagai jawaban ungkapan tadi mengambil kata-kata terong peot saboko, lumayan coel-coeleun, koboy gondrong nongtot leho lumayan toel-toeleun.
Tetapi, menampilkan bahasa Sunda seperti itu jangan sampai ada kesan merusak bahasa Sunda itu sendiri. Ada peribahasa Sunda yang berbunyi cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok, secara guyon sering dilanjutkan dengan kata-kata tai cakcak dina huntu, laun-laun ge dilebok, itu bukan arti dari peribahasa tersebut, hanya keisengan yang murwakanti. Sebaiknya disisipkan juga arti sebenarnya dari peribahasa tersebut, yaitu awahing ku leukeun laun-laun jadi bisa (karena terus-terusan dilakukan dengan tekun akhirnya bisa terlaksana).
Bagi yang senang berkaitan dengan kritik sosial bisa dipakai ungkapan mipit teu amit, ngala teu menta, korupsi amit-amit, atau ilmu tungtut dunya siar, hade turut goreng singlar, lamun korupsi burut..!. Atau yang lainnya jaman kiwari babari muji, sologoto moyok,...kalakuan tukang pulitik.
Gelombang keempat
Sepertinya pesan itu disampaikan sebagai kritik sosial yang bernada humor, tetapi bukankah orang Sunda senang humor? Rasanya kata-kata bernuansa seperti itu tidak akan kering bila terus digali dari kekayaan budaya dan bahasa Sunda, tinggal keuletan untuk mencarinya dan memadukan antara teks dan desain grafis yang enak dinikmati.
Contoh desain sangat melimpah di internet, namun kebanyakan hasil dari luar negeri. Barangkali tidak terlalu salah untuk memulai kembali membuka buku-buku tentang Sunda melalui perpustakaan atau rumah baca. Memang ekonomi kreatif membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir dari berpikir literal menuju berpikir metaforikal.
Hasilnya biasanya melalui pengamatan sepintas yang ada di sekitar kita. Industri kreatif ini lemah pada detail, bila dilihat dari jauh tampak sangat menarik. Tetapi, bila didekati dan dicermati misalnya jahitan tidak rapi terkesan asal jadi, begitupun kerapian desain gambarnya.
Hal lain yang berkaitan industri kreatif adalah membuat barang suvenir dari bahan logam. Sungguh sangat susah mencari jepitan dasi atau gantungan kunci yang berbentuk kujang, berbentuk keris, berbentuk kele, lodong.
Padahal, bagi kamasan atau gending, bukan suatu pekerjaan yang susah. Hal bahan tentunya mudah didapat, pemasaran bisa dilakukan melalui art shop baik yang ada di hotel-hotel maupun yang tersendiri. Itulah sisi lain industri kreatif yang bisa saling mengisi dengan keunikan budaya lokal (Sunda). Bukankah ke depan industri ekonomi kreatif akan menjadi andalan malah disebut sebagai industri ekonomi gelombang keempat setelah industri informasi dan teknologi.
MAMAT SASMITA
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda di Bandung
(Dimuat di Kompas Jabar Kamis Tanggal 17 Januari 2008 di Rubrik Riungan)
2 comments:
Tulisan yang menarik! Jadi ngerti tentang spirit industri kreatif dalam konteks budaya, khususnya budaya Sunda. Kapan-kapan kita mampir di rumah bacanya ya...
Boleh..boleh...saya tunggu kunjungannya ke Rumah Baca, kita ngobrol dan silaturahim.
Tengkyuuu bin hatur nuhun sudah menyempatkan membaca tulisan saya.
Post a Comment