BUKU Max Havelaar yang ditulis Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, menempati peringkat ketiga sebagai buku terbaik, hasil jajak pendapat pada Pekan Buku 2007, yang diselenggarakan di negeri Belanda. Hal ini menarik karena buku tersebut ditulis lebih dari 150 tahun yang lalu dan meyangkut negeri jajahan, yaitu Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia. Buku ini berkisah tentang penguasa yang korup, baik yang kulit putih maupun yang cokelat.
Diketahui pula apa latar belakang di balik pertentangan antara Asisten Residen Lebak, Douwes Dekker dan atasannya, Residen Brest van Kempen dan Gubernur Jenderal Daymaer van Twist. Begitu juga gugatan Douwes Dekker terhadap Bupati Lebak Karta Nata Negara yang dituduhnya memeras dan menindas rakyat.
Ternyata, di Amsterdam Belanda, ada Museum Multatuli (http://www.multatuli-museum.nl), yang mengabadikan bermacam buku, brosur termasuk artikel dan foto, berkenaan dengan Multatuli. Artefak lainnya seperti kursi, lemari, dan benda lain yang pernah dipakai Multatuli, juga ada di dalamnya.
Di Bandung, seperti ditulis dalam situs pemerintahan kota Bandung (http://www.bandung.go.id), terdapat tujuh museum, yaitu Museum Konferensi Asia Afrika, Barli, Geologi, Mandala Wangsit Siliwangi, Pos Indonesia, Sribaduga, dan Zoologi. Bercermin kepada Museum Multatuli, tampaknya di Bandung juga perlu ada museum yang secara khusus menampilkan pikiran-pikiran, sikap, dan pendapat tokoh yang dianggap mewakili baik secara lokal maupun nasional. Ada banyak tokoh yang perlu dipertimbangkan, salah satunya adalah nama Oto Iskandar di Nata (Otista).
Akan tetapi, intinya bukan memilih nama tokoh, melainkan tempat untuk menampung dokumentasi secara keseluruhan dan utuh dari tokoh-tokoh tersebut. Tempat tersebut bisa disebut museum. Karena berbentuk museum, tujuan keberadaannya tidak lepas dari tujuan pendidikan. Merujuk kepada ICOM (International Council of Museeum/Organisasi Permuseuman Internasional di bawah Unesco), makna museum adalah "sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan pengembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan, dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya".
Otista adalah seorang pahlawan nasional karena perjuangannya sebelum dan selama masa revolusi merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Keberaniannya saat berpidato di depan sidang Volksraad, kritikannya yang pedas dan suaranya yang lantang, membuatnya dijuluki Si Jalak Harupat, yaitu ayam jago yang keras dan tajam kalau menghantam lawan, kencang dalam berkokok dan selalu menang kalau diadu.
Otista pernah menjadi wakil ketua Boedi Oetomo Cabang Bandung, Ketua Paguyuban Pasundan (PP), anggota BPUPKI, PPKI, lalu Menteri Negara pada kabinet RI pertama, dan lain-lain. Saat menjadi ketua PP, organisasi ini mencapai zaman keemasan. Pekik "Indonesia Merdeka" yang selanjutnya menjadi pekik "Merdeka" adalah sumbangsih Otista yang lain dalam memperkokoh perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Pikiran-pikiran "kasundaan" yang dikedepankan Otista tidak diartikulasikan secara sempit sebagai etnosentris, tetapi untuk membangun keindonesiaan.
Oleh karena itu, apabila ada pemikiran untuk membuat Museum Otista, bukanlah hal yang berlebihan. Diyakini banyak dokumen menyangkut Otista yang masih berceceran. Mungkin masih tersimpan di tengah keluarga, perorangan, ataupun berbagai perpustakaan di dalam dan luar negeri. Dihimpunnya semua dokumen meliputi pikiran, pendapat, dan sikap Otista, akan lebih memudahkan terutama apabila ada yang berminat untuk meneliti. Di samping itu, Museum Otista bisa pula menampung dokumen mengenai pikiran, sikap, dan pendapat setiap tokoh lain yang ada di Jawa Barat.
Dukungan Kusnet
Memang, membuat sebuah museum bukanlah perkara mudah. Setidaknya, itulah pendapat dari beberapa orang, ketika gagasan ini dilemparkan melalui milis (mailing list) Urang Sunda (http://groups.yahoo.com/group/urangsunda) atau biasa disebut Kusnet (Komunitas Urang Sunda di Internet).
Ada yang mendukung, asal dipikirkan pula pemeliharaan dan upaya penambahan koleksi. Ada juga yang mengusulkan untuk memanfaatkan tempat yang sudah ada, seperti di salah satu ruang di Museum Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Ada yang berpendapat agar museum dibangun tidak di pinggir kota yang akan sepi pengunjung, tetapi di tempat strategis sehingga bisa menjadi salah satu ikon Kota Bandung. Ada pula yang keberatan dengan gagasan itu karena mempertimbangkan sebagian besar warga belum menjadi masyarakat literasi dan koleksi terbanyak dari museum yang diimpikan itu akan berupa dokumen tertulis.
Menimbang hal ini, apabila dilihat secara kasat mata, museum tersebut belum tentu menarik sebagai objek visual. Walaupun demikian, ada juga yang bersikeras mengusulkan agar dibangun karena menganggap generasi muda Sunda sudah kehilangan idola. Dengan adanya museum Otista diharapkan dapat mencuatkan kembali sosok ideal yang pantas diteladani, setidaknya ada tempat untuk mendalami pemikiran dan ketokohannya.
Dari tempat yang khusus seperti inilah sosialisasi mengenai sang tokoh dapat dirancang secara lebih khusus pula. Misalnya dalam kegiatan "mimitran" Daya Mahasiswa Sunda (Damas), mengenal tokoh Sunda dapat dijadikan salah satu materi utama. Peserta dibebaskan memilih tokoh pilihannya, yang penting mereka secara utuh memahami seorang tokoh. Materi ini tidak akan sulit kalau museum yang dimaksud sudah tersedia. Dengan demikian, keberadaan museum ini juga akan ikut menempatkan tokoh seperti Otista secara lebih terhormat. Sebab, ada kekhawatiran karena masih banyak aspek hidup Otista yang "gelap", sosok ini juga akan dimitoskan, sebagaimana tokoh Sunda yang lain.
Sebagai moderator Kusnet, penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya banyak yang setuju jika dibangun sebuah museum untuk mengabadikan perjuangan Otista. Seperti pendapat salah seorang anggota Kusnet, setidaknya dengan adanya museum itu, jika mendengar nama Otista yang terbayang bukan lagi sebuah jalan macet dan semrawut penuh pedagang kaki lima, melainkan museum yang dibangun dengan konsep arsitektur Sunda. Sebuah bangunan yang akan menjadi ikon baru untuk warga kota kembang.
Memang, semua itu baru sebatas mimpi. Siapa yang paling berkewajiban membangun museum itu? Sudah barang tentu siapa saja yang merasa cinta kepada keluhuran Sunda. Yang jelas, Otista sudah banyak berjasa untuk Sunda, tumpukan dokumen tentang dirinya masih bisa ditemukan, minat pada kesundaan saat ini sedang meningkat, dan orang-orang Sunda yang berkecukupan secara ekonomi banyak jumlahnya. Apa sulitnya merealisasikan mimpi punya museum Otista? Semoga akan terwujud. ***
MAMAT SASMITA
Pegiat Rumah Baca Buku Sunda dan Moderator 2 Kusnet.
(Dimuat di PR Suplemen TEROPONG Senin 24 Desember 2007)
(Dimuat di PR Suplemen TEROPONG Senin 24 Desember 2007)