Oleh Mamat Sasmita
Peribahasa merupakan ungkapan tradisional yang terdiri dari kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, dan nasihat, serta bisa dianggap sebagai tuntunan hidup atau aturan tingkah laku. Peribahasa biasanya timbul dalam percakapan sehari-hari dalam situasi tertentu, umpamanya dalam pidato, upacara adat, atau sambutan yang bernuansa tradisional.
Sebagai kekayaan batin orang Sunda, tentu saja sebuah paribasa terbentuk melalui proses panjang hasil perenungan atau endapan pikiran dan pengalaman dari para karuhun Sunda. Bukan saja yang berkaitan dengan ruang dan waktu, melainkan juga perilaku.
Dengan alasan itu, paribasa mencoba mencari tahu sikap orang Sunda terhadap waktu. Buku Peperenian Urang Sunda (Rachmat Taufik Hidayat dan kawan-kawan, Kiblat 2005) yang memuat 1259 paribasa mencoba memilah seberapa banyak paribasa yang basisnya (hasil pemikiran dan pengalaman) berdasarkan waktu.
Ternyata jumlahnya sedikit sekali, hanya ada 27 paribasa. Jumlah itu sedikit bila dibandingkan dengan jumlah paribasa yang berbasis ruang dan perilaku orang. Hal ini sangat mengherankan, seolah-olah waktu yang sedikit sekali menjadi ukuran dalam tatanan kehidupan orang Sunda saat itu.
Dari 27 paribasa tersebut terdapat lima kategori, yaitu yang berkaitan dengan lama hidup atau umur seseorang, penanda waktu, lamanya waktu, dan ketepatan waktu. Pemilahan ini terjadi karena isi atau arti paribasa tersebut mengandung unsur waktu atau kata yang tersurat dan terkait dengan waktu. Bisa jadi pemilahan ini tidak tepat betul.
Hasil secara rinci sebagai berikut. Pertama, kategori umur, misalnya Ari umur tunggang gunung angen-angen pecat sawed. Asa ditumbu umur. Hirup katungkul ku pati paeh teu nyaho dimangsa. Kaduhung tara tiheula. Maot ulah manggih tungtung paeh ulah manggih beja. Pakokolot supa, umur gagaduhan banda sasampiran.
Kedua, kategori zaman, misalnya Bihari ngalingling pasir ayeuna ngalanglang pasar. Jaman bedil sundut. Jaman cacing dua saduit. Jaman tai kotok dilebuan. Ngindung ka waktu ngabapa ka mangsa.
Ketiga, kategori penanda waktu, misalnya Kapiheulaan ngalulun taneuh. Kawas nu mulangkeun panyiraman. Peujit koreseun. Ti nanggerang lila beurang ti nanggorek lila poek. Ti ngonggkoak nepi ka ngungkueuk. Ti peuting kapalingan ti beurang kasayaban. Trong kohkol morongkol dur bedug murungkut.
Keempat, kategori lamanya waktu, misalnya Kiceupna sabedug sakali. Ngadagoan belut buluan. Ngadagoan kuda tandukan. Ngadagoan uncal mahpal. Ngadago dago dawuh, Ngomongna sabedug sakali. Saumur nyunyuhun hulu. Teu kaleungitan peuting.
Kelima, kategori tepat waktu, misalnya Kapiheulaan ngalulun taneuh. Ngindung ka waktu ngabapa ka mangsa. Bihari ngalingling pasir ayeuna ngalanglang pasar.
Sangat longgar
Dari jumlah paribasa sebanyak 27 buah yang berkaitan dengan waktu, tak satu pun yang tegas mengatakan hidup itu harus tepat waktu dan harus disiplin dalam hal tepat waktu.
Apabila tinjauan ini dikaitkan dengan sebutan penanda waktu yang hidup di dalam tradisi orang Sunda, akan semakin tampak bahwa sikap orang Sunda terhadap waktu memang sangat longgar. Misalnya, penamaan waktu sehari semalam, wanci tumorek, yaitu pukul 00.30-01.30; wanci janari leutik (01.30-02.00); wanci janari gede (02.00-02.30); wanci balebat (05.00-05.30) wanci haneut moyan (08.00-09.00); wanci rumangsang (09.00-10.00); wanci pecat sawed (10.00-11.00); wanci lingsir ngulon (14.00-15.00); dan wanci tunggang gunung (16.00-17.00).
Tentu saja persepsi tentang waktu ini disebut sangat longgar apabila yang menjadi ukuran adalah zaman modern seperti sekarang ini. Saat ini waktu telah dicacah dan dibagi-bagi menjadi detik, menit, dan jam, dengan setiap orang telah menenteng penanda waktu, yaitu jam tangan yang dapat melihat perubahan waktu dari detik ke menit ke jam.
Yang menjadi persoalan saat ini adalah sering sekali didengar adanya istilah jam karet, yaitu ketaatan terhadap waktu sering meleset, seolah-olah keterlambatan adalah hal wajar. Jam tangan akhirnya menjadi sekadar hiasan. Ketika panitia merancang sebuah acara yang akan dihadiri seorang gubernur atau wali kota, misalnya, untuk langkah antisipasi menghindari jam karet, di kartu undangan ditulis bahwa acara dimulai pukul 08.00, padahal acara dimulai pukul 09.00.
Langkah ini sekadar mengantisipasi jam karet, terutama terhadap tingkat kehadiran para undangan. Celakanya, seorang yang menjadi pembicara utama, misalnya gubernur atau walikota, sering datang terlambat.
Begitu juga dalam penyelenggaraan rapat-rapat formal, keterlambatan selalu menjadi ciri, apalagi dalam pertemuan yang sifatnya silaturahim yang tidak formal. Persepsi waktu yang demikian longgar itu (polikronik) akan sangat tidak menguntungkan bila berkaitan dengan ekonomi atau bisnis apa pun yang ditandai dengan tingkat persaingan yang demikian ketat dan memerlukan ketepatan waktu (monokronik).
Nilai arkeologis
Walaupun ada anggapan bahwa polikronik-nya orang Sunda tidak mencapai tahap ekstrem, keterlambatannya tidak sampai berjam-jam. Namun, terlambat tetap terlambat, dan tepat waktu itu akan lebih baik dan lebih menguntungkan.
Untuk memahami itu, ada baiknya bila kita melirik kepada apa yang disebut arkeologi pikiran, seperti dikatakan Jakob Sumardjo (Khazanah Pantun Sunda, Kelir 2006), bahwa alam pikiran yang mengendap menjadi pengetahuan nilai-nilai sekarang bukan hanya terdiri dari perolehan pengetahuan nilai sekarang, melainkan juga dari masa lampau masyarakatnya. Nilai-nilai arkeologis ini ia peroleh melalui tradisi masyarakatnya.
Nilai-nilai arkeologis ini kadang-kadang tidak disadari oleh pelakunya meskipun dijadikan dasar tindakannya.
Dengan demikian, bisa jadi orang Sunda saat ini begitu longgar terhadap persepsi waktu karena artefak (pikiran) masa lalu masih menempel; tidak peduli seberapa tinggi pendidikan yang didapat; tidak peduli seberapa tinggi jabatan yang dimiliki.
Barangkali ada baiknya apabila mulai sekarang membuat paribasa -sebutlah sebagai paribasa jijieunan- sebanyak mungkin yang berkaitan dengan hal tepat waktu. Siapa tahu 20 tahun atau 30 tahun yang akan datang menjadi paribasa enyaan dan menjadi artefak yang bisa mengubah sikap tentang ketepatan waktu yang tadinya longgar (polikronik) menjadi tepat waktu (monokronik).
Contoh paribasa jijieunan, Arloji tina beusi atah beuleum. Artinya, tidak tepat waktu. Peribahasa ini dipakai dalam kalimat Cik atuh hirup teh tong kawas arloji tina beusi atah beuleum...! (Hidup itu jangan selalu tidak tepat waktu).
Contoh lainnya, Nyanghulu di waktu nyangkere di tempat sare, dan Melak mangsa gorehel meunang pakel. Arti kedua paribasa jijieunan itu adalah dia yang memberi patokan waktu, tetapi dia sendiri tidak tepat waktu. Contoh tersebut hanya sabulangbentor, hanya sekenanya, mungkin saja tidak sesuai dengan aturan paribasa. Nyanggakeun.
MAMAT SASMITA
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda; Tinggal di Bandung
(Dimuat di Kompas Jabar Sabtu 28 Juli 2007)
No comments:
Post a Comment