20 January 2013

KORANG

Oleh : MAMAT SASMITA



Menganyam merupakan keterampilan tersendiri bagi sebagian orang Sunda, yang paling terkenal hasil anyaman dari Rajapolah Tasikmalaya, walaupun sesungguhnya hampir di setiap daerah di Jawa Barat menghasilkan barang anyaman. Istilah-istilah menganyam sering terdengar, seolah menjadi pakem, misalnya jalujur (ada juga yang menyebut dengan istilah pakan), jarugjug (ada juga yang menyebut dengan istilah lusi), pihuntuan, pisalahan, dilepe, didendang, sarungkup dan sebagainya. Entah kebetulan atau tidak kata jarugjug mungkin asalnya dari kata jugjug yang mendapat sisipan ar, jugjug artinya menuju ke. Sedangkan kata jalujur mungkin asal katanya dari jujur yang mendapat sisipan al, artinya jujur ya jujur itu. Bisa jadi apabila ingin menuju ke sesuatu tujuan (jugjug) harus disertai dengan sikap jujur baru akan tercapai dengan baik.
Bahan untuk anyaman bisa dari bambu (setelah diraut kecil suka disebut irateun atau irat), rotan (setelah diraut kecil menjadi bahan anyaman atau tali disebut hata), pandan (setelah diolah menjadi bahan anyaman disebut mores) dan mendong (ada juga yang menyebut walini atau wanasaba). Bahan anyaman tersebut didapat dari sekitarnya, tentu saja bahan tersebut akan selalu tersedia apabila dijaga kelestarian alamnya
Salah satu hasil kerajinan anyaman adalah korang. Menurut kamus bahasa Sunda Danadibrata, korang adalah wadah untuk menampung ikan hasil tangkapan dari sungai. Begitu juga dari kamus basa Sunda LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda) disebutkan korang adalah wadah untuk menyimpan ikan tetapi tidak disebutkan ikan dari sungai, hanya dilengkapi dengan penjelasan bentuknya yang ada lehernya dan seuweu (penutup korang) dan dijelaskan juga cara membawanya yaitu diikatkan ke pinggang pada orang yang sedang menjala ikan.
Bentuk korang agak unik karena mirip dengan bentuk badan manusia sekitar dada lengkap dengan bahu dan lehernya. Cara membawa korang diikatkan ke pinggang, karena korang selalu dilengkapi dengan tali. Karena cara membawa korang selalu diikatkan ke pinggang, maka besarnya korang tidak lebih besar dari pinggul orang, paling besar kira-kira sebesar paha orang dewasa, malah kabanyakan ukuran korang lebih kecil dari itu.
Korang dibuat dari anyaman rautan bambu, untuk jarugjug (bagian yang tegak dari sebuah anyaman) dibuat dari bilah bambu tipis tetapi agak lebar kira-kira selebar kelingking. Sedangkan bagian jalujur (bagian yang mendatar dari sebuah anyaman) rautan bambunya dibuat agak bulat sebesar lidi atau sebesar tusuk sate. Menganyamnya antar jarugjug agak jarang, sedangkan antar jalujur sangat rapat. Sehingga anyaman yang dihasilkan kelihatan rapat dan kokoh, tetapi bagian dasarnya tetap agak jarang sesuai dengan jarak antar jarugujug. Begitu juga bagian leher dari korang dianyam rapat, untuk menutup korang dibuat anyaman bambu yang terpisah, yang lebih lentur disebut seuweu, semacam lubang perangkap sehingga ikan yang telah masuk korang tidak akan bisa loncat keluar lagi, untuk mengeluarkan ikan dari dalam korang seuweunya harus dilepas terlebih dahulu.

Menilik dari kecilnya sebuah korang, maka maksimum ikan yang bisa dimasukan diperkirakan tidak lebih dari dua kilogram ikan basah. Ikan yang ditangkap juga bukan ikan yang besar, paling besar yang bisa masuk lubang leher korang kira-kira sebesar telapak tangan anak-anak. Karena apabila terlalu besar tidak akan masuk, selain harus melewati seuweu juga memang lubang masuk di leher korang bentuknya kecil.
Nampaknya para karuhun Sunda sejak dahulu kala telah mengajarkan dalam hal mencari ikan dari sungai supaya tidak berlebihan, tidak mengambil ikan sebanyak-banyaknya tetapi hanya sebatas keperluan sehari-hari, seuai dengan isi sebuah korang. Padahal keadaan sungai jaman dahulu pasti sangat berbeda dengan keadaan sungai jaman sekarang, tentunya ikan di sungai jaman dahulu masih banyak jumlahnya dan banyak jenisnya. Apabila ingin menangkap ikan sebanyak-banyaknya pasti tidak sulit.
Bukan hanya banyaknya ikan yang dibatasi oleh korang tetapi juga besarnya ikan, yang lebih besar dari mulut korang berikut seuweunya tidak akan masuk, artinya itu harus dilepas lagi ke sungai karena mengandung harapan kelak ikan yang besar tersebut akan beranak pinak. Begitu juga ikan yang kecil tidak boleh diambil karena kalau dipaksa dimasukkan ke dalam korang akan terlepas dengan sendirinya sebab alas korang dibuat jarang, ini mengandung pelajaran bahwa ikan kecil mempunyai harapan kelak akan menjadi besar, sehingga pantas untuk ditangkap.
Kata para sepuh jaman dulu, melalui ujaran yang disampaikan tatalepa (secara turun temurun), bahwa ngaragap (memegang) korang tidak bedanya dengan ngaragap angen sorangan (ada juga yang mengatakan dengan istilah ngaragap dada sorangan) yang artinya harus punya perasaan, dalam hal ini harus sadar akan diri sendiri bahwa hidup jangan serakah, sadar bahwa sungai adalah kekayaan alam yang harus dijaga bersama, bukan milik pribadi yang bisa diperlakukan sekehendak hati.  Apakah ini karena bentuk korang yang seperti dada atau hanya kebetulan saja, entahlah. Tetapi, apapun itu, ada pelajaran yang patut dipetik dari ujaran para sepuh tersebut, dan itulah kearifan lokal.

Barang lain yang hampir sama bentuk dan fungsinya dengan korang adalah kembu dan kempis. Kembu (bandingkan dengan kempu di daerah Sumbawa NTB) lebih besar dari korang, dibuat dari anyaman bambu, bentuknya lebih bulat memanjang dilengkapi seperti jendela yang bisa ditutup dan dibuka di bagian tengah badannya. Kempis hampir sama bentuknya dengan korang hanya lebih kecil dan lehernya lebih tinggi hampir menyerupai botol.
Hal lain yang berkaitan dengan korang adalah babasan (peribahasa singkat) yang bunyinya taktak korangeun secara harfiah artinya bahu yang menyerupai bahu korang. Babasan ini lebih ditujukan kepada orang yang bahunya terlalu landai, mengandung arti orang yang tidak bisa memikul, seperti memikul bambu atau lainnya, karena barang yang dipikulnya akan merosot terus.

Tidak ketahui secara pasti sejak kapan keberadaan korang dalam kehidupan (kebudayaan) Sunda, khususnya sebagai material culture sesuai jamannya. Hanya apabila membaca naskah kuna Sunda, Sanghyang Siksakandang Karesian (1518), disitu disebutkan sebuah benda budaya yaitu ayakan, walaupun hanya disebut kalangkang ayakan, bukan ayakannya. Tetapi mustahil ada kalangkangnya (bayang-bayangnya) apabila tidak ada bendanya. Ayakan di dalam kebudayaan Sunda sering juga disebut sair (harap tidak dibaca sebagai syair di dalam bahasa Indonesia), yaitu alat untuk memudahkan menangkap ikan di air yang dangkal, biasanya di pinggir sungai atau di kolam yang sedang dibedahkeun (dikuras airnya). Ayakan atau sair itu dibuat dari anyaman bambu, sama dengan korang, mestinya ayakan dan korang sejaman awal kebaradaannya. Indikasi lain adanya babasan dan peribahasa Sunda yang berkaitan dengan sebuah benda, misalnya taktak korangeun, lir kacang ninggang kajang, elmu ajug dan lain sebagainya. Sewajarnya keberadaan bendanya yang lebih dulu ada baru muncul babasan atau peribahasa yang berkaitan denagn benda tersebut. Sedangkan babasan dan peribahasa itu sendiri tidak diketahui secara pasti sejak kapan mulai hadir di dalam kebudayaan (lisan/tulisan) Sunda. Dengan demikian keberadaan korang dalam kehidupan orang Sunda sudah ada sejak lama, bisa jadi sejak ratusan tahun lalu.

Keberadaan korang jaman sekarang ternyata masih ada, walau dengan populasi yang terbatas. Tidak bisa dipungkiri bahwa benda-benda tradisional sangat rentan terhadap kemajuan jaman, diganti dengan yang baru yang dianggap lebih mewakili jamannya. Dari sisi ini ada baiknya apabila ada usaha untuk mendokumentasikan benda-benda tradisional tersebut dan membaca ulang tentang keberadaannya untuk pengetahuan anak cucu kelak.

Itulah sekelumit tentang korang, sebuah benda sebagai kekayaan budaya khususnya kebudayaan Sunda, apabila dibaca ulang ternyata ada makna lain disebalik onggokan bendanya, setidaknya makna lain di sebalik onggokan bendanya itu bisa memperkaya batin untuk hidup lebih bijak.