Oleh : MAMAT SASMITA
Ngangon meri adalah pekerjaan menggembala itik. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bebek itu itik. Tetapi bagi sebagian orang Sunda ada yang mengartikan bebek itu entog. Sedangkan itik itu adalah meri. Dipinggir jalan sering dijumpai warung makan yang menyajikan bebek goreng, dapat dipastikan itu adalah meri yang digoreng, bukan entog.
Ujar penggembala itik, melakukan pekerjaan ini dituntut kejujuran. Sebab kalau tidak jujur itiknya suka bertelur dimana saja, bisa di sawah, di jalan sehingga penggembala sulit menemukannya, istilah mereka kababayan. Itu artinya rugi. Itik sepertinya mengerti isi hati tuannya. Kalau penggembalanya jujur, itik akan membalas dengan sepenuh hati dan disiplin. Itik akan bertelur di kandang setelah subuh, tepat waktu. Tuannya tinggal mengambil telur, itulah keuntungan buah kejujuran.
Kejujuran bagi penggembala itik tidak perlu diklaim melalui kata-kata apalagi ditayangkan televisi, karena kejujuran adalah dirinya. Kejujuran purba setiap manusia. Bahasa kejujuran pengangon meri bukan verbal, tetapi isi hati yang diimplementasikan dalam tindak perbuatan. Disadari betul bahwa dirinya dan itik adalah satu kesatuan utuh sebuah mesin pencetak telur, pencetak kesejahteraan. Bukan bentuk hubungan buruh dan majikan apalagi bentuk hubungan militeristik, jendral dan prajurit. Alat untuk menunjukan kekuasaan hanyalah sebuah tongkat yang namanya pangilang. Sebilah batang bambu kecil yang panjang untuk mengarahkan itik kemana harus pergi.
Ketika musim panen tiba, dimana sawah setelah dipanen seolah tak lagi bertuan, itulah tempat kesenangan itik, segera pindah tempat untuk menggembala menuju sawah setelah panen. Kegiatan pindah menggembala itu disebut mangkalan. Aturan utama mangkalan adalah tidak mengganggu hak dan kewenangan orang lain. Jangan sampai itik merambah sawah yang belum dipanen, bila itu terjadi petaka akan tiba.
Antar penggembala itik saling menjaga agar tidak terjadi persaingan tidak sehat dalam hal memilih tempat menggembala. Bila terjadi kehilangan itik karena pindah kelompok ke kelompok penggembala lain, disitu ada dialog, sekali lagi kejujuranlah landasannya. Yang merasa itiknya tiba-tiba bertambah, sang penggembala akan nyalabarkeun, bertanya siapa yang merasa kehilangan. Tidak ada saling klaim adu argumentasi berkepanjangan memperebutkan kebenaran, tidak ada ego pribadi, ego sektoral apalagi nama Tuhan tak perlu dibawa-bawa kalau hanya untuk meyakinkan orang lain.
Penggembala sangat paham akan itik, mungkin dia sedang sakit atau barangkali sedang birahi. Itik tak bisa bersuara hanya wek wek wek baik saat kenyang ataupun lapar. Untuk memahaminya membaca dari kedip mata dan bahasa tubuhnya. Itulah kearifan.
Dia hapal betul perkembangan itik dari sejak menetas sampai dewasa. Anak itik (meri) yang baru menetas disebut titit, umur satu bulan disebut bijil bulu gigir selanjutnya disebut bijil bulu dada. Bila telah berumur dua bulan disebut bulu sapotong selanjutnya disebut nyapit atau herang. Pada usia 5 atau 6 bulan disebut beger cai, bila telah mulai belajar bertelur disebut babaya. Apabila itik tak lagi produktif atau tak mau bertelur disebut gumurut, sedangkan meri yang sejak kecil sampai dewasa tak pernah bertelur disebut bajir.
Penggembala adalah pemimpin, pemimpin bagi dirinya, itik bagian dari dirinya, memahami dengan sepenuh hati. Karena memahami dengan sepenuh hati, kebenaran atau lebih tegasnya lagi kejujuran tak perlu direkayasa, tak perlu citra, kepongahan simulakra tak ada gunanya. Itik itu senang di air yang berlumpur, maka citra yang ditampilkan adalah siap berlumpur. Pakaian dan topi (dudukuy) sebatas menghindari dari tiupan angin dan menghindari sengatan matahari, dasi dan kerah putih tak ada artinya.
Penghasilan penggembala meri jangan dikira kecil, mungkin gaji jaksa, polisi atau pegawai negri juga bisa kalah. Bila jumlah meri yang diangon sekitar 200 ekor, maka hasil optimal sekitar 190 butir telor setiap hari, artinya sekitar 190 ribu rupiah masuk kantong per hari, itu kalau dijual ke bandar tapi kalau dijual langsung ke pasar bisa dapat lebih dari 200 ribu rupiah. Padahal untuk medapatkan uang sebesar itu yang diucapkan oleh penggembala itik hanya rriii...rrriii (mungkin singkatan dari meri), tidak lebih tidak kurang. Tak perlu bersilat lidah, tidak perlu mengobral kata, bagi penggembala itik kata-kata bukan komoditas. Memang penggembala itik citranya kalah jauh, kalah gagah dengan pegawai negri, kalah gagah dengan hakim dan jaksa apalagi dengan polisi yang bertabur pangkat berwarna keemasan.
Kebahagiaan penggembala itik pada sore hari, saat itik telah masuk kandang sementara selama mangkalan. Kandang sementara terbuat dari bilah bambu sebesar telunjuk tidak terlalu tinggi sekitar setengah meter. Disusun dan dianyam dengan tali, seperti wide (dinding bambu yang bisa digulung) tetapi lebih pendek. Penggembala telah mandi, telah segar. Semua itik ditatap, semua telah makan kenyang, kadang tertawa melihat tingkah laku itik, dan yang paling penting ada harapan besok pagi dapat telur banyak. Itulah kebahagiaan sejati yang didapat dari kejujuran. Bukan kebahagiaan semu yang dibungkus oleh retorika dan citra. Sungguh, belajarlah pada itik dan penggembalanya untuk menyelesaikan masalah.
Ujar penggembala itik, melakukan pekerjaan ini dituntut kejujuran. Sebab kalau tidak jujur itiknya suka bertelur dimana saja, bisa di sawah, di jalan sehingga penggembala sulit menemukannya, istilah mereka kababayan. Itu artinya rugi. Itik sepertinya mengerti isi hati tuannya. Kalau penggembalanya jujur, itik akan membalas dengan sepenuh hati dan disiplin. Itik akan bertelur di kandang setelah subuh, tepat waktu. Tuannya tinggal mengambil telur, itulah keuntungan buah kejujuran.
Kejujuran bagi penggembala itik tidak perlu diklaim melalui kata-kata apalagi ditayangkan televisi, karena kejujuran adalah dirinya. Kejujuran purba setiap manusia. Bahasa kejujuran pengangon meri bukan verbal, tetapi isi hati yang diimplementasikan dalam tindak perbuatan. Disadari betul bahwa dirinya dan itik adalah satu kesatuan utuh sebuah mesin pencetak telur, pencetak kesejahteraan. Bukan bentuk hubungan buruh dan majikan apalagi bentuk hubungan militeristik, jendral dan prajurit. Alat untuk menunjukan kekuasaan hanyalah sebuah tongkat yang namanya pangilang. Sebilah batang bambu kecil yang panjang untuk mengarahkan itik kemana harus pergi.
Ketika musim panen tiba, dimana sawah setelah dipanen seolah tak lagi bertuan, itulah tempat kesenangan itik, segera pindah tempat untuk menggembala menuju sawah setelah panen. Kegiatan pindah menggembala itu disebut mangkalan. Aturan utama mangkalan adalah tidak mengganggu hak dan kewenangan orang lain. Jangan sampai itik merambah sawah yang belum dipanen, bila itu terjadi petaka akan tiba.
Antar penggembala itik saling menjaga agar tidak terjadi persaingan tidak sehat dalam hal memilih tempat menggembala. Bila terjadi kehilangan itik karena pindah kelompok ke kelompok penggembala lain, disitu ada dialog, sekali lagi kejujuranlah landasannya. Yang merasa itiknya tiba-tiba bertambah, sang penggembala akan nyalabarkeun, bertanya siapa yang merasa kehilangan. Tidak ada saling klaim adu argumentasi berkepanjangan memperebutkan kebenaran, tidak ada ego pribadi, ego sektoral apalagi nama Tuhan tak perlu dibawa-bawa kalau hanya untuk meyakinkan orang lain.
Penggembala sangat paham akan itik, mungkin dia sedang sakit atau barangkali sedang birahi. Itik tak bisa bersuara hanya wek wek wek baik saat kenyang ataupun lapar. Untuk memahaminya membaca dari kedip mata dan bahasa tubuhnya. Itulah kearifan.
Dia hapal betul perkembangan itik dari sejak menetas sampai dewasa. Anak itik (meri) yang baru menetas disebut titit, umur satu bulan disebut bijil bulu gigir selanjutnya disebut bijil bulu dada. Bila telah berumur dua bulan disebut bulu sapotong selanjutnya disebut nyapit atau herang. Pada usia 5 atau 6 bulan disebut beger cai, bila telah mulai belajar bertelur disebut babaya. Apabila itik tak lagi produktif atau tak mau bertelur disebut gumurut, sedangkan meri yang sejak kecil sampai dewasa tak pernah bertelur disebut bajir.
Penggembala adalah pemimpin, pemimpin bagi dirinya, itik bagian dari dirinya, memahami dengan sepenuh hati. Karena memahami dengan sepenuh hati, kebenaran atau lebih tegasnya lagi kejujuran tak perlu direkayasa, tak perlu citra, kepongahan simulakra tak ada gunanya. Itik itu senang di air yang berlumpur, maka citra yang ditampilkan adalah siap berlumpur. Pakaian dan topi (dudukuy) sebatas menghindari dari tiupan angin dan menghindari sengatan matahari, dasi dan kerah putih tak ada artinya.
Penghasilan penggembala meri jangan dikira kecil, mungkin gaji jaksa, polisi atau pegawai negri juga bisa kalah. Bila jumlah meri yang diangon sekitar 200 ekor, maka hasil optimal sekitar 190 butir telor setiap hari, artinya sekitar 190 ribu rupiah masuk kantong per hari, itu kalau dijual ke bandar tapi kalau dijual langsung ke pasar bisa dapat lebih dari 200 ribu rupiah. Padahal untuk medapatkan uang sebesar itu yang diucapkan oleh penggembala itik hanya rriii...rrriii (mungkin singkatan dari meri), tidak lebih tidak kurang. Tak perlu bersilat lidah, tidak perlu mengobral kata, bagi penggembala itik kata-kata bukan komoditas. Memang penggembala itik citranya kalah jauh, kalah gagah dengan pegawai negri, kalah gagah dengan hakim dan jaksa apalagi dengan polisi yang bertabur pangkat berwarna keemasan.
Kebahagiaan penggembala itik pada sore hari, saat itik telah masuk kandang sementara selama mangkalan. Kandang sementara terbuat dari bilah bambu sebesar telunjuk tidak terlalu tinggi sekitar setengah meter. Disusun dan dianyam dengan tali, seperti wide (dinding bambu yang bisa digulung) tetapi lebih pendek. Penggembala telah mandi, telah segar. Semua itik ditatap, semua telah makan kenyang, kadang tertawa melihat tingkah laku itik, dan yang paling penting ada harapan besok pagi dapat telur banyak. Itulah kebahagiaan sejati yang didapat dari kejujuran. Bukan kebahagiaan semu yang dibungkus oleh retorika dan citra. Sungguh, belajarlah pada itik dan penggembalanya untuk menyelesaikan masalah.
MAMAT SASMITA
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda.
(Dimuat di koran Tribun Jabar rubrik Podium Sabtu 21 Nopember 2009)
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda.
(Dimuat di koran Tribun Jabar rubrik Podium Sabtu 21 Nopember 2009)