Pada tahun enampuluhan atau pada tahun tujuhpuluhan penulis sering melihat ada upacara nujuh bulan, yaitu upacara kehamilan pada saat berusia tujuh bulan. Salah satu ritual seting (kelengkapan ritual) berupa kelapa muda berwarna gading biasa disebut cengkir gading yang telah diberi gambar wayang Arjuna dan Sumbadra. Ketika cengkir tersebut telah diberi gambar Arjuna dan Sumbadra maka cengkir tersebut disimpan ditempat yang telah disediakan, tidak boleh dilangkahi karena dianggap cengkir itu telah mempunyai tuah. Padahal cengkir itu sebelum digambari sama dengan cengkir lainnya yang tidak mempunyai tuah apapun. Disitulah hiasan atau gambar sebagai penanda yang memberikan transformasi makna akan sebuah benda, dalam hal ini cengkir sebagai petanda. Hal ini terjadi karena benda keseharian bisa diseret memasuki ranah ritual yang transendental. Makna gambar wayang Arjuna dan Sumbadra, diharapkan bayi yang dikandung mempunyai sifat ksatria seperti Arjuna apabila itu adalah laki-laki, dan apabila perempuan diharapkan akan memiliki sifat-sifat baik seperti Sumbadra (saat itu belum ada USG yang bisa mengetahui bayi laki-laki atau perempuan dalam kandungan). Dengan cara pandang yang sama apakah ada makna lain didalam ragam hias pada bedog, memang tidak setiap ragam hias mempunyai makna simbolik, ada juga melulu sebagai hiasan.
Kata bedog sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai golok, padahal kata golok sendiri itu adalah bahasa Sunda sebagai buktinya kata golok itu ada pada naskah kuno Sunda Sanghyang Siksakandang Karesian (1518). Disebutkan golok adalah senjatanya para raja. Apabila mengacu kepada Kamus Basa Sunda Danadibrata (2006) arti bedog adalah pakarang paranti kudak-kadek yaitu senjata tajam untuk memotong, memetak termasuk untuk membacok. Sedangkan arti golok masih pada kamus yang sama diartikan sebagai bedog pondok atau bedog yang pendek. Bedog yang lengkap harus memakai gagang atau disebut perah dan supaya aman dibawa harus memakai tempat biasanya disebut sarangka. Ragam hias pada bilah bedog hampir tidak ada, kecuali berbentuk rajah atau pamor, tetapi ragam hias pada perah dan sarangka cukup banyak dan variatif. Jadi istilah ragam hias pada bedog lebih kepada ragam hias pada perah dan sarangka bedog. Bahan untuk membuat perah dan sarangka bedog adalah kayu dan tanduk, biasanya tanduk kerbau atau tanduk domba.
Untuk mendapatkan sebauh bedog yang lengkap dengan perah dan sarangkanya, biasanya memaluli beberapa tahapan produksi. Yang paling utama adalah panday (orang yang mempunyai keahlian mengolah besi) dan maranggi (orang yang mempunyai keahlian mengukir pada media kayu atau media lain). Ada istilah lain yang berkaitan dengan pembuatan bedog. Seperti gosali adalah tempat untuk bekerjanya panday, lambusan adalah alat untuk meniup bara api pada gosali menyerupai kantong udara terbuat dari kulit kambing, ububan adalah alat memompakan udara terbuat dari batang pohon pinang yang telah dilubangi. Piruruhan adalah dapur tempat bara api untuk membakar besi. Paron adalah landasan besi yang cukup besar dan berat, gunanya untuk tempat memukul membentuk besi yang telah dibakar pada piruruhan. Antara panday dan maranggi merupakan profesi yang berbeda, apabila bilah bedog telah selesai dikerjakan oleh panday maka akan dibawa ke maranggi untuk diberi perah dan sarangka, nah bentuk perah dan sarangka berikut hiasannya itu semua dikerjakan oleh maranggi.
Sentra produksi bedog di Jawa Barat cukup banyak, hampir di setiap tempat ada, beberapa diantaranya yaitu di Galonggong Manonjaya Tasikmalaya, Pasir Jambu di Ciwidey Bandung, Cibatu Cisaat Tasikmalaya dan Tanjungsiang di Subang yang terkenal dengan bedog barlen. Sedangkan di Banten yang terkenal produk bedognya adalah daerah Ciomas.
Keindahan sebuah bedog ditentukan oleh pengerjaan mulai dari bilah bedognya, perah sampai sarangka. Secara garis besar ada tiga kelas bedog, yaitu obregan, alus dan istimewa. Obregan biasa juga disebut kodian, kelas ini sangat kurang dalam hal pekerjaan detil, tidak halus dan ada kesan asal jadi, lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas. Kelas yang disebut alus biasanya lebih halus dalam detil dan mementingkan kualitas dibanding kuantitas sedangkan kelas istimewa adalah yang dikerjakan berdasarkan pesanan, tentunya dikerjakan sangat hati-hati dan halus baik bilah maupun perah, sarangka dan ornamennya.
Motif atau Pola Ragam Hias.
Ditemukan pola ragam hias yang disebut beubeut nyere. Pola ini ditemukan hampir pada setiap perah bedog dari setiap daerah sentra produksi bedog. Pola beubeut nyere di daerah Ciwidey disebut dengan sogokan. Pada dasarnya pola beubeut nyere ini didapatkan dari motif lengkung dan lurus yang dibuat berulang-ulang, sehingga membentuk pola yang tetap. Alasan pemberian nama pola ini menjadi beubeut nyere tidak ditemukan secara pasti. Hanya ada keterangan yang menyebutkan awalnya melihat bekas lidi yang terjatuh pada tanah lembek sehingga meninggalkan bekas seperti bekas tusukan-tusukan ujung pisau, hal inipun dicontohkan ketika membuat lantai tembok supaya permukaan tidak licin sering dipukul-pukul oleh sapu lidi. Tetapi ada keterangan lain yang mengatakan sebetulnya bukan beubeut nyere tetapi bebed nyere artinya ikatan lidi. Pola ragam hias ini di Ciwidey tidak disebut beubeut nyere tetapi disebut sogokan, karena pada saat membuatnya ditusuk-tusuk (bahasa Sunda disogok) oleh ujung pisau raut. Yang menarik istilah sogokan juga terbapat pada bilah keris, sebagai lambang kesuburan dimana tanda bertemunya baga purusa (kelamin perempuan dan laki-laki). Ada juga yang mengartikan sogokan sebagai purusa jalma, sebagi simbol lubang masuk ke tubuh manusia yang berjumlah sembilan yaitu dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, mulut, kelamin dan anus.
Sisi lain yang menarik adalah makna nyere atau lidi itu sendiri. Nyere sebagai tulang daun kelapa yang banyak gunanya didalam kehidupan, apabila sekian banyak lidi diikat akan menjadi sapu lidi, apabila sebuah lidi dipotong-potong serong kecil menjadi seumat atau kalau lebih panjang akan menjadi tusuk sate. Yang menariknya kenapa sebuah senjata tajam seperti bedog ada keterkaitan dengan lidi, seperti nampak pada penamaan bilah bedog ada yang disebut paut nyere, begitu juga dengan nama ragam hiasnya, beubeut nyere atau bebed nyere. Ada lagi nama bilah bedog yaitu paut sintung, sintung yaitu semacam kelopak atau pembungkus suligar, bunga kelapa. Nampaknya ini ada hubungan dengan anggapan bahwa pohon kelapa sebagai pohon hayat atau pohon hidup, karena hampir semua bagian dari pohon kelapa ada gunanya didalam kehidupan. Apabila dilihat agak jeli pola beubeut nyere atau bebed nyere yang melingkar sepanjang lingkaran perah atau sarangka akan nampak seperti menggambarkan ikatan sekian banyak lidi, tiada bedanya ikatan sapu lidi. Sehingga ada kesan apabila mencabut bilah bedog dari sarangkanya, seolah tiada bedanya dengan mencabut sebatang lidi dari ikatan sapu lidi. Yang memberi tandanya adalah penamaan bilah bedog yaitu paut nyere. Kata paut dalam bahasa Sunda adalah kata kerja yang artinya mencabut lidi dari ikatannya. Sepertinya disitu ada pesan yang ingin disampaikan kepada pemakai bedog bahwa mencabut bedog adalah kurang baik apabila tidak ada maksud yang pasti, karena itu akan mengurangi nilai ikatan kekerabatan. Apabila demikian maksudnya tentunya istilah pola ragam hias bernama beubeut nyere kurang tepat, lebih tepat bebed nyere, karena kata beubeut artinya jatuh dengan keras. Mungkin ini adalah perubahan bunyi akibat kesalahan pendengaran yang seharusnya bebed nyere menjadi beubeut nyere.
Selanjutnya pola ragam hias cacag buah, sebetulnya ini adalah bentuk motif belah ketupat yang disambung-sambung. Pola ini untuk sementara hanya dijumpai di daerah Ciwidey. Penempatan pola ini pada perah dan sarangka, ada juga secara mandiri pada simeut meuting. Kata buah untuk orang Sunda berarti (buah) mangga, yang terasa unik mengapa bentuk belah ketupat yang disambung-sambung tersebut disebut cacag buah. Biasanya kata cacag lebih dilekatkan dengan kata nangka seperti babasan atau peribahasa pendek yang berbunyi cacag nangkaeun yang berarti memotong motong sesuatu tanpa beraturan dan sekenanya. Mungkin pemberian nama cacag buah ini lebih condong kepada peniruan bentuk menyajikan buah mangga yang telah dikupas dan dipotong-potong untuk dimakan. Beberapa sumber yang ditanya tidak bisa memberikan makna simbolik dari bentuk hiasan ini, ini murni hanya hiasan tidak ada makna simbolik lainnya.
Bentuk lain adalah motif melingkar (meander) atau secara tradisional suka disebut cacing meulit atau apabila digambar lebih tebal akan nampak seperti daun pakis yang masih muda, yang ujungnya masih melingkar. Apabila dirangkai akan nampak seperti suluran atau suka disebut kangkungan (seperti tumbuhan kangkung). Didalam kepercayaan lama, suluran atau kangkungan ini melambangkan tumbuhan diatas air yang berarti kesucian tiada bedanya dengan teratai atau lotus. Disamping motif melingkar ada lagi motif lengkung yang dirangkai menjadi seperti gelombang atau secara tradisional disebut ombak, hanya sayang tidak ditemukan sumber yang bisa memberikan makna simboliknya. Penempatan motif ini pada perah dan sarangka, kadang terasa dominan karena ragam hias ini hampir ada di setiap perah maupun sarangka.
Sedangkan khusus pada bedog barlen, hiasan pada perah dan sarangka lebih dominan berupa tambahan material lain terutama logam dari aluminium yang dibuat sedemikian rupa. Seperti pada sarangka hiasan tersebut merupakan belitan logam yang berfungsi selain hiasan juga sebagai simpay atau pengikat dan hiasan lain berbetuk titik serupa paku yang disusun teratur. Walaupun demikian pada perah bedog barlen hiasan beubeut nyere atau sogokan masih nampak.
Bentuk Perah
Bermacam-macam bentuk perah bedog, bentuk ini tentunya mempunyai nilai estetik disamping diperkaya dengan hiasan ukiran lainnya, dan merupakan ornamen tersendiri bagi bedog. Penamaan bentuk inipun ada yang terasa eksotis, seperti ranggeum endog, soang ngejat, lutung moyan, jengkol sagendul. Ada juga yang mengundang tanya seperti nama potongan kai dan cinghol, ternyata potongan kai meniru bentuk potongan dahan pohon kayu sedangkan cinghol merupakan singkatan dari ucing nonghol.
Bentuk lain ada yang meniru burung, harimau, singa, monyet, naga, buaya dan lain-lain. Yang agak lain dan hanya ditemukan di Ciwidey adalah bentuk mear, makara dan priaman. Mear menurut Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda (2001) adalah semacam binatang melata apabila ditempat gelap seperti bersinar karena mengandung fosfor. Makara menurut kamus Bausastra Jawa-Indonesia (1981) artinya udang, ada juga yang menyebutkan makara adalah binatang mitologi yang hidup di dalam air dengan bentuk berbelalai seperti gajah. Priaman inilah nama yang tidak ketahui secara pasti apa artinya, walaupun ada juga sumber yang mengatakan bahwa itu singkatan dari Priangan yang aman. Bentuk mear, makara dan priaman terutama makara dan priaman yang kaya akan ukiran, ini mengingatkan akan bentuk peninggalan buhun, peninggalan masa lalu.
Menurut Haji Aas As’ari, pengrajin bedog dari Cibatu Cisaat Sukabumi, pada dasarnya perah bedog berbentuk jengkol sagendul atau bentuk golong tambang, ini mempunyai arti bahwa hidup itu harus menunduk tiada bedanya dengan ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. Sedangkan bentuk yang lain hanya variasi yang kadang-kadang lebih menonjolkan nilai estetisnya. Tentunya nilai estetis itu tidak sampai mengurangi fungsi praktis sebagai pengait pada jari kelingking supaya tidak terlepas saat dipegang karena licin ketika tangan berkeringat.
Sarangka dan Simeut Meuting.
Bentuk sarangka pada dasarnya mengikuti bentuk bilah bedog, karena fungsinya adalah sebagai wadah supaya bedog terasa aman ketika dibawa, dan supaya tidak mengesankan ngabar-ngabar bedog, membawa bedog dengan sembarangan. Pola ragam hias sarangka bedog hampir sama dengan pola ragam hias pada perah bedog. Karena sarangka lebih lebar dibanding perah dan lebih datar, sepertinya maranggi lebih bebas berekspresi, sehingga hasilnya nampak lebih tegas. Tetapi dalam bentuk lebih variatif bentuk perah dibanding sarangka, karena bentuk sarangka harus mengikuti bentuk bilah bedog. Sarangka dibentuk oleh tiga bagian yang paling atas disebut gado atau sambung, bagian tengah disebut awak dan bagian bawah disebut tutup atau sopal. Pada bagian awak sebelah atas mendekati gado di salah satu sisinya, ada yang disebut simeut meuting. Simeut meuting ini sepertinya bagian yang terpisah dari sarangka, karena mempunyai bentuk tersendiri, walaupun harus selalu ditempatkan pada sarangka. Fungsinya adalah untuk penguat tempat tali pengikat ke pinggang pemakai bedog. Bentuk simeut meuting ini sangat banyak ragamnya terutama yang dibuat di daerah Ciwidey seperti cacag buah, godobos, hulu bogo, huntu kala, simeut bentelu dan lain-lain. Yang menarik dari daerah Galonggong Tasikmalaya yaitu bentuk simeut meuting berbentuk cecak dan kujang. Ketika ditanyakan kepada Pak Yoyo, pengrajin bedog di Galonggong, katanya bentuk itu sudah ada sejak dulu. Dalam kepercayaan lama cecak dilambangkan sebagai kewaspadaan, biasanya dikombinasikan dengan bentuk tumbuhan atau lukisan cecak digambarkan menempel pada pohon. Mungkin cecak sebagai simeut meuting yang menempel pada sarangka sebagai pohon.. Sedangkan kujang adalah senjata tradisonal orang Sunda.
Benda Budaya.
Bedog merupakan benda budaya warisan karuhun yang patut dihargai, hasil dari perenungan ide yang mengalir menjadi sebuah bentuk bernilai seni, filosofi dan teknologi, disitu ada unsur simbolis yang bisa dikuak, disamping sebagai benda pajangan. Dan itupun bisa menjadi bahan penelitian, menjadi objek keilmuan dan kebudayaan. Mungkin disana bisa dilacak tapak karuhun dalam mengarungi kearifan lokal, bukankah seperti dikatakan oleh Jakob Sumardjo (Khazanah Pantun Sunda, 2006) bahwa alam pikiran yang mengendap menjadi pengetahuan nilai-nilai sekarang bukan hanya terdiri dari perolehan pengetahuan nilai sekarang, melainkan juga dari masa lampau masyarakatnya. Nilai-nilai arkeologis ini ia peroleh melalui tradisi masyarakatnya. Bobot pangayon timbang taraju, mangga nyanggakeun.
Mamat Sasmita
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
(Dimuat didalam Majalah Bapeda Jawa Barat Volume 13 No.3 Juli-September 2008)
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
(Dimuat didalam Majalah Bapeda Jawa Barat Volume 13 No.3 Juli-September 2008)