19 October 2007

MIMPI KAMPUNG BUKU DI BANDUNG

Oleh : MAMAT SASMITA


Ada istilah “biblioholism” atau disebut juga “literary addiction” atau bisa juga diterjemahkan sebagai kecanduan buku, hal ini agak berbeda dengan pembaca buku biasa, mereka lebih rakus lebih ekstrim karena mereka lebih tamak membeli buku, mengumpulkan buku dan lebih rakus membaca dan kesemuanya itu menempatkan mereka dalam dunia yang eksotis yang disebut biblioholic (orangnya).
Pada Abad ke 18 ada seorang pakar perundang-undangan Perancis, Boulard, begitu bernafsu mengoleksi buku sampai sampai harus membeli rumah ke enam untuk menampung semua koleksi bukunya, tetapi dia bibliomania, membeli buku tetapi belum tentu dibaca, yang lebih masuk akal adalah bibliofil (bibliophile), dia juga rakus membeli dan rakus membaca.
Ada istilah lain yang sejalan dengan itu tetapi ada perbedaan yang melatarbelakanginya, seperti bibliotaf (bibliothap) yaitu orang yang ingin buku-bukunya aman, sehingga buku buku tersebut dikubur setelah merasa akan awet. Bibliocast yaitu orang yang tak tahan ingin merobeknya bila melihat halaman buku yang baik, ini bisa disebut penghancur buku. Lain lagi dengan biblionarsis, membeli buku yang mahal, dipajang dengan baik, ini hanya untuk pamer, hanya untuk makan (mendapat) pujian, itulah menurut Tom Raabe didalam bukunya Biblioholism, The Literary Addiction (Fulcrum Publishing, 1991)

Kita sepakat bahwa buku merupakan pintu menuju ke dunia ilmu pengetahuan dan membaca adalah kuncinya, tetapi ketersediaan buku yang kadang menjadi kendala. Apalagi harga buku saat sekarang terasa masih mahal. Menjadi keahlian tersendiri untuk menyiasatinya supaya bisa membaca buku yang diminati. Ada banyak cara, diantaranya mendatangi perpustakaan baik pribadi maupun institusi, mendatangi rumah baca atau nongkrong dipinggir jalan di penjual buku loakan. Yang terpenting adakah kita mempunyai minat baca. Tidaklah perlu kita menjadi biblioholic, cukup senang membaca saja sudah menguntungkan, paling tidak tudingan bahwa bangsa kita malas membaca bisa semakin terkikis

Di sisi lain ternyata Indonesia menempatkan diri dalam urutan ke 21 sebagai negara yang telah mempunyai Kampung Buku (book village), kedua di Asia Tenggara setelah Malaysia. Kampung Buku di dunia ini awalnya digagas oleh Richard Booth dengan membuat Book Town di Wales Inggris dengan disebut Hay-On-Wye, selanjutnya diikuti oleh beberapa negara diantaranya Redu Village du Livre (Belgia), Bredevoot (Belanda), Miyagawa (Jepang), Kampung Buku Langkawi (Malaysia).
Di Indonesia, Kampung Buku disebut Desa Buku terletak di Desa Kyai Langgeng di kota Magelang Jawa Tengah, berada di kawasan obyek wisata Taman Kyai Langgeng.
Konsep Kampung Buku adalah merupakan pengembangan dari taman bacaan yang banyak bermunculan disetiap kota, buku yang disediakan bisa buku baru, buku bekas sampai ke buku yang tergolong antikuariat, bagi peminat buku bisa membeli atau hanya sekedar membaca.

Nah mari kita mimpi bersama, mumpung mimpi belum dilarang oleh siapapun, bagaimana kalau di kota Bandung ada sebuah Kampung Buku dengan konsep yang agak berbeda dengan kampung buku yang sudah ada. Konsepnya mirip mirip dengan Cibaduyut yang terkenal dengan sepatu, Cihampelas yang terkenal dengan jean, Gang Tamim dan Cigondewah yang terkenal dengan kain kiloan, Cibuntu yang terkenal dengan tahu-nya. Memang benar telah ada Palasari yang terkenal dengan pasar buku, entah buku baru maupun buku bekas, tetapi yang dimaksud dengan kampung buku bukan seperti itu. Kampung Buku juga bukan ditempatkan disebuah kawasan wisata seperti Desa Buku Kiayi Langgeng atau Langkawi di Malaysia, tetapi di perumahan hunian biasa.
Hanya sebelum menuju kesana harus ada kegiatan rutin yang mengawalinya, misal mengadakan pameran atau bazar buku di sebuah perumahan, memanfaatkan ruang terbuka atau taman di komplek perumahan selama musim kemarau supaya tidak terganggu hujan.
Penyelenggara bisa dari IKAPI atau organisasi perbukuan lainnya yang bekerjasama dengan RT/RW setempat. Bukankah pelaksanaan pameran buku tidak selalu harus di gedung, bisa dicoba penggiat perbukuan mendatangi warga, bukan harus selalu warga atau peminat buku yang mendatangi gedung yang ada bazar bukunya.
Pelaksanaan kegiatan ini harus rutin dilaksanakan, dengan tempat yang tetap sehingga bisa merangsang penghuni sekitarnya untuk turut berpartisifasi. Walaupun dilaksanakan kegiatan demikian tetapi kenyamanan sebagai komplek hunian tetap tidak ditinggalkan. Di Bandung banyak komplek perumahan yang memungkinkan untuk menyelenggarakan kegiatan seperti itu. Ada ruang terbuka yang dipergunakan untuk ruang publik, semacam taman perumahan, jalan di perumahan tersebut relatif lebar sehingga dapat dilalui kendaraan dua arah dengan leluasa, penghuni relatif lebih teratur. Dengan adanya kegiatan rutin seperti itu diharapkan adanya keikutsertaan masyarakat sekitar, entah langsung berkecimpung dengan dunia perbukuan atau hanya ikutan-nya saja, tetapi setidaknya ada rangsangan kearah itu.
Bisa dibayangkan sebuah komplek hunian menjadi sentra penjualan buku tetapi tetap kenyamanan lingkungan hunian tidak terganggu, apabila mulai mengarah kepada kesemrawutan disitulah ketegasan dari RT/RW setempat diperlukan. Pembeli berlalu lalang meyambangi dari rumah ke rumah, disuguhi katalog buku, menatap dan membuka buku. Setiap rumah keluarga berjualan buku, setiap penghuninya ada kegiatan bisnis tanpa meninggalkan rumah. Katakanlah ada sekitar seratus rumah yang melakukan kegiatan itu, dengan sejumlah itupun sudah cukup mejadi kampung buku, pembeli akan datang dengan sendirinya.

Yang menjadi latar belakang mimpi ini adalah Bandung sebagai kota besar tetapi belum ada tempat wisata buku yang memadai, padahal Bandung menjadi tujuan belajar bagi segenap pemuda dari seluruh Indonesia, begitu banyak perguruan tinggi, begitu banyak ilmuwan, budayawan maupun seniman, begitu banyak orang cerdas disekitar kita, yang hidupnya tidak lepas dari buku.
Memang benar di Bandung banyak toko buku yang besar dengan tempat yang nyaman, tetapi kita, sebagai pembeli, disana tidak ada bedanya dengan robot, karena antara penyedia/penjual dengan peminat/pembeli tidak terjadi interaksi, benar ada penjaga toko buku yang cantik tetapi ketika ditanya tentang buku tidak terjadi interaksi yang cerdas, paling menjawabnya “ada” atau “tidak ada” dan biasanya hanya menunjukan tempatnya, di rak yang mana, ada kekosongan dialog antara peminat buku dengan penyedia buku. Dengan konsep kampung buku, kekosongan dialog tersebut diharapkan menjadi terisi, antara penyedia dan peminat dapat berdialog sekaligus diskusi tentang isi buku, dan bisa juga dialog antar peminat buku, ada kehangatan tersendiri.
Kenapa selama ini kegiatan, umpamanya, bedah buku atau peluncuran buku seolah-olah harus selalu di gedung ternama atau harus di kampus. Alangkah menariknya apabila dilaksanakan disekitar perumahan hunian, pengarang dan penerbit mendatangi peminatnya. Pengarang dan penerbit jangan merasa jadi rendah apabila harus berhubungan dengan pejabat setingkat RT atau RW, bukankah pembaca sebenarnya ada disana, memang pemilihan tempat komplek hunian harus menjadi pertimbangan.

Lomba Minat Baca, Bazar dan Pameran Buku 2007 yang digagas oleh Perputakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung untuk tahun berikutnya sebaiknya dicoba dilingkungan pemukiman, tidak harus selalu disekitar perkantoran pemerintah daerah seperti yang sudah diselenggarakan pada pertengahan bulan Agustus 2007 lalu. Kegiatan minat baca seperti itu ada baiknya melibatkan langsung masyarakat sekaligus mendekatkan diri antara penggagas dengan target. Jangan selalu masyarakat sebagai target yang selalu dipaksa untuk mendekat. Bandung Cerdas 2008 barangkali bisa dicapai dengan cara itu, Bandung jangan hanya terkenal dengan wisata kuliner, wisata pakaian jadi, harusnya bisa menjadi tujuan wisata buku, wisata yang mencerdaskan, bukan melulu wisata bebal.
Di Bandung diyakini banyak tokoh atau inohong budayawan, seniman terkenal, atau pejabat atau mantan pejabat yang dirumahnya sudah pasti banyak bukunya. Ada baiknya membuka diri, koleksi bukunya bisa dibaca oleh umum, entah menjadi rumah baca atau apapun namanya. Resikonya hanya satu yaitu rumah jadi kagiridig ku batur, tapi bukankah disitu ada hikmahnya yaitu menjalin silaturahim dengan siapa saja.

Adakah yang akan ikut mimpi ini…? .


Mamat Sasmita
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda, tinggal di Bandung.
(Dimuat di Kompas Jabar Jumat 19 Oktober 2007)

1 comment:

Anonymous said...

excellent points and the details are more precise than somewhere else, thanks.

- Murk