Apabila
merujuk kepada naskah Sunda kuna Warugan Lemah (Aditia Gunawan, Jurnal Sundalana
9, PSS 2010), naskah kuna yang menjelaskan tentang tempat pemukiman berdasarkan
kontur tanah. Kota Bandung bisa jadi berada pada tanah yang disebut Ambek
Pataka, yaitu kontur tanah yang turun ke arah selatan, atau tanah yang disebut Talaga
Kahudanan, yaitu tanah yang memotong
sungai, sungai Cikapundung. Baik Ambek Pataka maupun Talaga Kahudanan, keduanya
kurang baik untuk pemukiman karena akan terjadi yang menyakitkan hati atau mati
oleh senjata lawan. Masih menurut Warugan Lemah untuk menangkal sifat jeleknya
jenis kontur tanah pemukiman Ambek Pataka harus menanam usar(?), sedangkan Talaga Kahudanan untuk menangkalnya harus minum
di tengah sungai pada hari Sabtu wage. Bisa jadi penangkal tersebut sudah
dilakukan oleh para karuhun jaman
dulu waktu menetapkan kota Bandung sebagai tempat pemukiman. Jadi mari optimis
saja bahwa kota Bandung memang baik. Sumber lain yang mengemukakan bahwa tanah kota Bandung disebut Galudra
Ngupuk, dimana air mengalir dari tiga arah (utara, timur, selatan) menuju ke
tengah dan terbuang ke arah satunya (Citarum mengalir ke arah barat). Galudra
Ngupuk adalah tanah yang paling baik untuk pemukiman (J.Habbema, Bijgeloof In
De Preanger Regentschappen, Bijdragen Vol 51, 1900). Ini semakin menguatkan
harus tetap optimis bahwa kota Bandung
memang baik. Buktinya dari Bandung sudah
banyak melahirkan tokoh nasional ternama yang membawa nama bangsa.
Di
kota Bandung ada nama jalan yaitu Jalan Wastukancana dan Jalan Merdeka, memang tidak
tepat di tengah kota Bandung, tetapi agak ke utara apabila dilihat dari
alun-alun, itupun apabila alun-alun dianggap berada di tengah kota Bandung.
Memberi nama sebuah jalan tentu mempunyai alasan, bisa karena alasan sejarah,
nama tokoh atau yang lainnya, supaya
bisa tetap dikenang atau diteladani nilai-nilai yang dikandungnya. Kebetulan
(bisa jadi bukan kebetulan tetapi disengaja dipakai nama jalan) nama Wastu
Kancana adalah nama raja dalam sejarah kuna orang Sunda. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa Wastu
Kancana menjadi raja atau memerintah selama seratus empat tahun, rakyat sangat
mencintainya karena kebaikan, kebijaksanaan dan kejujurannya. Hal itu bisa
dibaca pada naskah kuna Carita Parahyangan (akhir abad ke 16), dengan
hiperbolis menyebutkan jangankan
manusia (bahkan) air, cahaya, angin, langit serta eter juga merasa betah berada di bawah pemerintahannya. Barangkali dengan alasan itulah maka
Wastu Kancana dijadikan nama jalan.
Merdeka
adalah kata yang sangat bertuah pada masa revolusi tahun 1945, saat merebut
kemerdekaan dari penjajah, bukan hanya untuk orang Sunda saja tetapi juga untuk
seluruh bangsa Indonesia. Merebut kemerdekaan dari penjajah melalui pengorbanan
yang besar, pengorbanan jiwa dan raga demi masa depan yang lebih baik. Kebetulan
teriakan atau pekik merdeka dilontarkan oleh Oto Iskandar Di Nata sebagai salam
kebangsaan untuk menggelorakan semangat kemerdekaan (Iip D Yahya, Oto Iskandar
Di Nata The Untold Stories, FDWB 2008). Arti merdeka menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah bebas, bebas dari perhambaan, bebas dari penjajajahan dan
lain-lain. Merdeka itu hak untuk setiap orang, hak untuk setiap bangsa. Dengan
alasan itu maka pantas sebuah jalan disebut jalan Merdeka.
Kebetulan
(nah yang ini mungkin kebetulan) antara Jalan Wastu Kancana dan Jalan Merdeka
di kota Bandung, ada ruang yang diapit kedua jalan tersebut, disanalah terdapat
gedung tempat pusat pemerintahan kota berada, baik eksetkutif maupun
legislatif. Harus dipercaya bahwa orang-orang yang bekerja di gedung tersebut,
dari yang status paling rendah sampai status yang paling tinggi, telah mengetahui
dan memahami arti dan nilai-nilai Wastu Kancana dan Merdeka, karena tiap hari
melalui jalan tersebut, sudah bisa dipastikan tiap hari membaca papan nama
jalan tersebut. Setidaknya apabila membaca papan nama jalan itu tiap hari akan
tergugah untuk mengetahuinya.
Untuk
bisa bekerja di gedung yang diapit oleh Jalan Wastu Kancana dan Jalan Merdeka,
harus melalui rintangan yang sangat berat, dari mulai tes kesehatan jasmani dan
rohani, fisik dan mental sampai tes lainnya dan yang paling berat harus
mendapat suara terbanyak saat dipilih oleh rakyat. Setelah terpilihpun harus
disumpah pula, sumpah jabatan yang mengatasnamakan Tuhan. Sungguh, itulah orang
yang terpilih, orang yang sengaja dipilih, orang yang terpilih adalah orang
yang mulia. Setidaknya orang tersebut mewarisi nilai-nilai dari Wastu Kancana
dan memahami makna Merdeka.
Apabila
terjadi sesuatu kepada orang yang bekerja di gedung yang lokasinya diapit jalan
Wastu Kancana dan jalan Merdeka, misalnya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), itulah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, apapun alasannya, dan
itu adalah aib, togmolnya (blak-blakannya) ngerakeun
urang Bandung dan mengecewakan
orang-orang yang telah memilihnya. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, pucuk
pimpinan eksekutif dari gedung pemerintahan tersebut ditangkap KPK dan menjadi
tersangka. Nampaknya nilai-nilai dari Wastu Kancana dan makna Merdeka sudah
diabaikan atau dilupakan atau terlupakan.
Satu
lagi yang membuat ngerakeun urang Bandung
dengan ditangkapnya seorang Kepala Satuan Kerja Khusus minyak dan gas bumi oleh KPK di Jakarta,
sialnya beliau adalah dosen teladan dari salah satu perguruan tinggi yang
terkenal di kota Bandung, sehingga menimbulkan guyon itu kelakuan yang teladan
apalagi yang bukan teladan. Entah apa maksudnya dari guyonan tersebut.
Untuk menghilangkan kekecewaan atas keadaan itu,
cukup mendendangkan lagu yang berjudul Teungteuingeun, ….teungteuingeun kunaon pamingpin abdi….sambil mengelus dada. Mohon
maaf bila syair lagu tersebut salah.***(Dimuat koran Tribun Jabar Rubrik Podium, Sabtu 24 Agustus 2013)