04 June 2007

HASIL WAWANCARA 4

Mamat B. Sasmita,
Membuka Rumah Baca Untuk Masa Pensiun

Berbeda dengan umumnya para calon pensiunan yang mencari kegiatan lain yang berciri bisnis, menjelang pensiun dua tahun lagi, Mamat B. Sasmita, karyawan Telkom pusat kelahiran Tasikmalaya tahun 1951 ini, membuka Rumah Baca. Bermula dari kesukaannya sejak kecil terhadap buku membuatnya rajin mengoleksi berbagai buku berbahasa Sunda, Indonesia dan Inggris. Salah satu alasan ia mengumpulkan buku-buku berbahasa Sunda adalah karena ketika waktu ia kecil dulu, satu-satunya hiburan adalah dongeng atau cerita yang disampaikan oleh kedua orangtuanya dalam bahasa Sunda. Waktu berusia tiga tahun dibawa ayahnya hijrah ke Bandung. Sepulang kantor, sang ayah yang bekerja di Dinas P & K Bandung, sering mendongeng yang ia hapal atau membacakan cerita dari buku-buku berbahasa Sunda seperti Wawacan Purnama Alam -buku klasik bahasa Sunda- yang membacanya sambil dinyanyikan. Sedangkan ibunya, sering bercerita setelah magrib menjelang isya.

Umumnya cerita nabi yang beberapa dibaca dari buku berhuruf Arab tapi dalam bahasa Sunda.Tugasnya di Telkom membuat ia sering berpindah-pindah. Ketika bertugas di Mataram, kecintaannya pada buku selain terus ia pupuk, ia juga bagi kepada lingkungannya tinggal. Ia titipkan buku-buku koleksinya pada tetangganya untuk dibaca siapa saja terutama anak-anak. Setelah kembali ke Bandung, kegemarannya terhadap buku juga ia bagi ke masyarakat di pedesaan Jawa Barat melalui salah satu program Yayasan Perceka, yayasan yang ia dirikan bersama rekannya di milis KUSnet (Komunitas Urang Sunda di Internet, milis urangsunda@yahoogroups.com). Program itu bernama Pabukon Simpay Katresna (Perpustakaan Tali Asih) yang baru tersebar di 15 tempat bekerja sama dengan jaringan 1001buku. Caranya seperti yang ia lakukan dulu di Mataram, menitipkan buku-buku di sebuah rumah untuk dibaca anak-anak di sekitarnya.

Rumah Baca

Karena koleksi buku-buku di rumah lumayan banyak, Ua Sasmita -demikian ia biasa dipanggil- merasa sayang kalau koleksinya itu hanya dibaca oleh keluarganya saja. Pada bulan Pebruari 2004 ia memasang papan nama "Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana" di depan rumahnya. Kata jeung sajabana artinya 'dan sebagainya'. Ia pilih nama itu mengingat koleksi bukunya tidak hanya dalam bahasa Sunda tetapi banyak juga yang dalam bahasa Indonesia -yang membahas mengenai kebudayaan Sunda maupun tidak, sedikit Inggris dan buku antik berbahasa Belanda yang ia dapatkan di Pasar Suci Bandung. Buku berbahasa Belanda terutama yang berhubungan dengan Jawa Barat masa lalu termasuk tanaman dan lingkungan. Koleksi bukunya terdiri dari kumpulan cerita pendek, novel, puisi, wawacan, biografi, cerita pantun, bacaan anak-anak, dan buku non-fiksi.

Ada tetangganya yang memberi komentar kenapa menggunakan dua bahasa: Rumah Baca Buku Sunda bahasa Indonesia, Jeung Sajabana bahasa Sunda. Ua Sas menjawab dengan nada bercanda, Jeung Sajabana itu adalah nama rumah baca itu! Baginya, konsep Rumah Baca agak berbeda dengan Taman Bacaan. Rumah Baca ia maksudkan untuk membaca bersama-sama di tempat itu, gratis tapi tidak dipinjamkan untuk dibawa pulang. Tapi bila memang perlu sekali Ua Sasmita bersedia meminjamkan tapi tentunya tidak kepada sembarang orang. Sedangkan Taman Bacaan -istilah yang sudah lebih dulu ada, menurutnya, buku-bukunya memang dipinjamkan dengan cara sewa, jadi Taman Bacaan sebenarnya adalah tempat menyewa buku, tidak benar-benar atau jarang sekali jadi tempat untuk membaca dan gratis.

Umur rumah baca ini telah satu tahun. Bertempat di ruang tamu rumah tinggalnya yang dirubah jadi perpustakaan dengan beberapa rak buku di tepi dinding di komplek perumahan Margawangi, hanya terpaut seratus meteran dari rumah Kang Ibing 'Si Kabayan' Kusmayatna. Umumnya yang datang sengaja ingin mencari buku-buku Sunda termasuk murid-murid sekolah yang mencari sajak dalam bahasa Sunda (sepertinya ditugaskan gurunya di sekolah). Kadang-kadang pengunjung jenis ini sampai luber ke teras rumah. Pengunjung yang berusia di atas 50 tahunan yang datang umumnya untuk mencari buku berbahasa Sunda klasik atau yang pernah mereka baca ketika duduk di SD dulu. Ya, untuk keperluan nostalgia pada masa awal pendidikan mereka di sekolah dasar dulu. Menurut Ua Sasmita yang memiliki satu putri kelas 2 SD ini, pengunjung senior itu bila dilihat dari buku bacaan bahasa Sunda yang dulu mereka baca di SD, dapat digolongkan dengan angkatan Rusdi jeung Misnem (Rusdi dan Misnem), angkatan Gandasari dan angkatan Taman Pamekar. Ketiga buku pelajaran bahasa Sunda itu dalam tiga kurun waktu yang berbeda, beredar luas di sekolah dasar di Jawa Barat (termasuk Banten). Rusdi jeung Misnem adalah buku bacaan yang boleh dibilang paling awal di SD dahulu. Pernah ada seseorang yang telah lanjut usia berkeliling dengan sepeda di komplek perumahan Margawangi sambil melirik-lirik papan nama Rumah Baca. Mamat B. Sasmita menyapanya. Ternyata sang Bapak Tua itu ingin melihat buku dan tentu saja langsung dipersilahkan masuk. Yang pertama ia tanyakan ternyata buku Rusdi jeung Misnem yang langsung Ua Sas cari di rak dan diserahkan fotokopinya -yang asli sudah tidak ada. Si Bapa Tua langsung membacanya dengan antusias, beberapa bagian masih ia ingat dan hapal!

Koleksi terbanyak Rumah Baca ini adalah buku-buku berbahasa Sunda yang Ua Sasmita koleksi sejak lama untuk mengobati kerinduannya ke kampung halaman ketika bertugas di berbagai tempat di Nusantara. Salah satu alasannya adalah bahwa buku-buku Sunda klasik sudah mulai sulit mencarinya. Ia menilai toko buku yang menjual buku bahasa Sunda seperti kurang serius. Di toko buku besar seperti Gramedia, buku-buku bahasa Sunda juga dijual, hanya mencarinya harus teliti karena bila tidak hapal tempatnya kadang-kadang tidak dtemukan.

Buku berbahasa Sunda yang sering dipinjam diantaranya adalah tiga buku klasik di atas, sedang buku cerita/novel adalah Carmad, Sri Panggung, Rusiah nu Goreng Patut (Rahasia yang Bertampak Jelek, cerita Garnadi Bandar Kodok yang pernah sangat terkenal di masyarakat Sunda, malah sempat dibuat lagunya). Ada juga yang meminjam buku kumpulan sajak, bacaan anak-anak seperti Nyaba Ka Leuweung Sancang (Mengembara ke Hutan Sancang), Guha Karang Legok Pari (Goa Karang Legok Pari) dan beberapa yang lain. Buku berbahasa Indonesia yang laku dibaca pengunjung adalah novel, biografi, sejarah serta filsafat. Sementara novel Salman Rushdie jarang yang menjamah, mungkin karena tebal dan sempat menghebohkan dunia.

Buku Antik

Selain buku-buku terbitan ulang yang relatif baru, Rumah Baca ini juga mengoleksi buku antik. Koleksi buku tertua yang dimiliki Rumah Baca ini adalah Dictionary of Sundanese Language of Java karya Jonathan Rigg yang terbit tahun 1862 atau…143 tahun lalu! Di sampulnya tertera penerbitan kamus ini didukung oleh Batavia Society of Science, mungkin semacam himpunan ilmuwan Jakarta waktu itu. Selain itu tiga jilid buku -seluruhnya empat jilid dalam bahasa Belanda tentang catatan perjalanan orang Belanda karya De Hans. Koleksi lain yang tergolong antik adalah Kamus Belanda-Sunda karya Colsma dan satu buku karya Pleyte, orang Belanda yang meneliti sejarah Sunda.

Cita-cita Ua Sasmita membuka Rumah Baca menjelang pensiun ini tidaklah muluk-muluk, selain untuk mengisi waktu luang nanti di kala pensiun, ia juga ingin sekedar mengajak tetangga atau lingkungannya membaca buku-buku yang ada dan berharap sedikit banyak ada manfaatnya.

Alamat Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana
Komp. Perumahan Margawangi, Jl. Margawangi VII no 5 Bandung
Telp. 022 7511914, e-mail: matsasmita@yahoo.com
(MJ)

MAJALAH MATABACA Volume 3 No.9 Mei 2005.

No comments:

Post a Comment