04 June 2007

HASIL WAWANCARA 3

Tempat Berbagi Kesenangan Membaca
Rumah Baca

Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana atau Rumah Baca Buku Sunda dan sebagainya. Tulisan itulah yang akan menyambut kita jika bertandang ke sebuah rumah di Jalan Margawangi VII Nomor 5, Kelurahan Margasenang, Kecamatan Margacinta, Kota Bandung.

Sebagaimana namanya, rumah yang terletak di tengah Perumahan Margawangi tersebut adalah sebuah perpustakaan yang berfungsi juga sebagai rumah baca. Rumah baca yang didirikan Februari 2004 tersebut memiliki koleksi buku berbahasa Sunda, Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jerman sebanyak 4.000 buah. Separuh dari buku itu berbahasa Sunda.

Memang sepintas rumah tersebut tidak terlihat seperti perpustakaan karena bangunan itu merupakan rumah seorang pensiunan pegawai PT Telkom, Mamat B Sasmita. Namun jika kita memasukinya, akan tampak sedikitnya tiga lemari berisi deretan buku disusun berdiri.

Menurut Uwa Sas, begitu orang-orang memanggil Mamat B Sasmita, buku- buku tersebut merupakan hasil perburuannya ke toko-toko buku sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah.

Siapa pun bisa datang ke rumah baca yang dikelolanya. Ia juga tidak mengikat tamu di rumah bacanya dalam keanggotaan tertentu. "Siapa saja boleh datang dan baca buku kapan saja. Kadang ada juga yang sedang lari pagi lewat di depan rumah saya lalu baca papan nama rumah baca, tiba-tiba mampir, tanya-tanya terus baca beberapa buku. Setelah itu, ya pergi lagi," kata Uwa Sas.

Tamu yang datang ke rumah baca milik Uwa Sas beragam, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Dia mengatakan,"kalau anak-anak banyak mencari buku peribahasa Sunda untuk pelajaran di sekolah, sementara yang kuliah untuk bahan skripsi. Beda lagi dengan orang tua, misalnya ibu-ibu, biasanya mereka suka meminjam buku tentang upacara adat Sunda. Mungkin saja mereka ingin tahu tata cara pernikahan memakai adat Sunda."

Selain itu, orang tua kebanyakan cenderung mencari buku-buku cerita yang dulu pernah dibacakan oleh ayah ibunya saat masih kecil. Uwa Sas bercerita,"dulu sempat ada ibu-ibu yang mencari satu buku ke sini karena disuruh neneknya yang sedang sakit. Neneknya itu ingin dibacakan buku tersebut karena ternyata dulu ia sering membaca buku itu."

Berbagi

Uwa Sas bercerita, ia sudah sangat cinta dengan buku, terutama buku kuno dan langka yang berbahasa Sunda. Koleksi bukunya kian hari terus bertambah. Sampai pada satu saat ia merasa sayang jika koleksi bukunya itu hanya dinikmati dirinya dan keluarganya saja. Akhirnya, ia mulai memfungsikan sebagian ruangan di rumahnya sebagai rumah baca.

Sesuai dengan konsep rumah baca, awalnya pengunjung hanya boleh membaca di tempat. Rupanya, metode itu kurang disukai peminjam. Akhirnya, ia pun mengizinkan buku-bukunya dipinjam.

Namun, Uwa Sas mengaku sangat selektif memberi izin meminjam buku kepada tamunya. Saat ditanya bagaimana ia menilai orang yang bisa diberi kepercayaan meminjam bukunya, Uwa Sas hanya menjawab, "setidaknya meninggalkan alamat dan nomor telepon. Kalau menilai orangnya, seringnya sih saya cuma pakai perasaan saja."

Tiga bulan setelah memasuki masa pensiun pada bulan Juni 2005, ia akhirnya membuka kios buku di Pasar Cihaurgeulis. "Langkah membuka kios ini tidak murni bisnis. Selain untuk menambah pemasukan belanja buku, sebenarnya saya membuka kios agar punya akses yang mudah kepada komunitas tukang buku," ungkap pria kelahiran Tasikmalaya 15 Mei 1951.

Untuk mempromosikan rumah bacanya, selama ini Uwa Sas hanya mengandalkan internet, cerita dari mulut ke mulut, dan kartu nama. Melalui milis Komunitas Urang Sunda di Internet (KUSnet), ia mulai memperkenalkan rumah bacanya kepada khalayak yang hilir mudik di dunia maya. Bertukar kartu nama setiap kali bertemu dengan kenalan baru pun menjadi salah satu cara.

Uwa Sas mengajak para tokoh Sunda menjadikan rumahnya masing-masing menjadi rumah baca. "Risikonya, rumah kita jadi ramai." (d11)

Kompas Senin, 27 Maret 2006

No comments:

Post a Comment