Oleh MAMAT SASMITA
“Ih Den, ari lalaki lembur mah kamamana teh tara lesot bedog. Da bedog teh sami sareng calana” tembalna deui “ Mun lalaki lesot bedog, lain lalaki deui ngaranna” ( Kalau lelaki di kampung kemana-mana tidak pernah ketinggalan membawa golok. Golok itu sama dengan celana, katanya lagi, kalau lelaki tidak membawa golok itu bukan lelaki namanya). Itulah sepenggal dialog didalam buku Si Bedog Panjang karya Ki Umbara, terbit cetakan kedua tahun 1983 oleh penerbit Rachmat Cijulang, cetakan pertama terbit tahun 1967. Dari dialog tersebut bisa dimaknai pada waktu dulu bahwa bedog bukan saja sebagai alat praktis, tetapi juga punya makna simbolis, setidaknya sebagai simbol kejantanan.
Bedog (bahasa Sunda) sering diterjemahkan sebagai golok dalam bahasa Indonesia. Padahal didalam naskah Sunda kuno yaitu Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) yang disebut adalah kata golok, sebagai sebuah nama senjata raja. Kata Bedog ditemukan didalam kamus bahasa Sunda-Inggris karya Joathan Rigg (1862) yang dijelaskan sebagai sebuah alat untuk memotong dan menetak, tetapi didalam naskah naskah Sunda kuno kata bedog tidak ditemukan hal ini ditandai dengan tidak adanya kata bedog didalam Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda karya Elis Suryani dkk (2001). Nampaknya kata bedog lebih dikenal dikalangan rakyat, sedangkan kata golok dikalangan raja, walaupun artinya itu-itu juga. Disini mungkin terjadi desakralisasi fungsi golok yang tadinya sebagai alat perang raja, menjadi bedog sebagai alat praktis dikalangan rakyat biasa. Bedog adalah sebuah alat untuk memotong, menetak atau membacok berupa bilah logam besi atau baja yang salah satu sisinya diasah tajam, lebih besar dan kokoh dibanding pisau (terjemahan bebas dari beberapa kamus bahasa Sunda).
Bermacam-macam bentuk bedog, apabila diambil garis besarnya terdapat empat macam bentuk utama yaitu tonggong lempeng (punggung lurus), tonggong bentik (punggung agak melengkung), beuteung lempeng (bagian tajam, ada yang menyebut huntu, lurus) dan beuteung ngagayot ( bagian tajam melengkung) sedangkan yang lain merupakan varian dari bentuk utama. Bentuk punggung dibagi menjadi tiga yaitu nonggong munding (berbentuk seperti punggung kerbau), nonggong kuya ( seperti punggung kura-kura) dan punggung rata, sebagian punggung ada yang diberi jegongan (bagian ujung diberi cowak, seperti dibuat tajam). Jegongan ini disamping sebagai variasi dari bentuk punggung tetapi ada juga fungsi praktisnya yaitu untuk membelah kelapa tua yang telah dikupas bagian sabutnya.
Pada badan bilah bedog ada juga yang memakai ruruncang (lekukan memanjang ke arah ujung), ini bukan saja sebagai bentuk variasi tetapi ada juga yang menganggap sebagai jalan darah ketika bedog dipakai menyembelih binatang besar (kambing, kerbau atau sapi). Penampang bilah bedog biasanya disebut beuteung siraru, mengambil bentuk badan atau perut satwa bernama laron.
Supaya bedog enak dipakai dan aman tatkala dibawa, maka perlu diberi perah (gagang, pegangan) dan sarangka (sarung). Perahpun mempunyai nama dan bentuk yang cukup banyak termasuk ukiran hiasan yang beragam, sedangkan sarangka lebih mengikuti ke bentuk bedog. Antara bilah bedog, perah dan sarangka merupakan kesatuan yang utuh akan makna sebuah bedog.
Di daerah Kecamatan Cibingbing Kabupaten Kuningan, ada tradisi yang disebut bedog wali yaitu pada saat memberikan hantaran dari pengantin pria kepada pengantin wanita salah satu pengantar pria harus ada yang membawa bedog. Tentunya bedog yang dibawa bukan bedog yang telanjang (belum memakai perah dan tidak memakai sarangka), tetapi bedog yang lengkap, bergagang dan bersarung, pastinya juga dilipih bedog yang bagus.
Tujuannya selain untuk keperluan praktis tetapi juga mempunyai makna simbolis terutama bagi kedua mempelai, kata bedog katanya dari dibebed (diikat) supaya ngajedog (diam). Ini mengandung arti bagi kedua mempelai setelah menikah harus mengikatkan diri, jiwa maupun raga untuk satu tujuan yaitu kebahagiaan dunia maupun akhirat. Pernikahan itu tiada bedanya dengan peribahasa bedog manjing sarangka. Suatu perbuatan yang tidak elok apabila sudah menikah masih juga mencari sarangka lain, bilah bedog itulah laki-lakinya dan sarangka adalah perempuannya.
Masyarakat Sunda sangat erat hubungannya dengan alam sekitarnya, hal inipun tercermin dari memberikan nama pada bilah bedog dan perah. Nama berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan : Bilah : Sintung Bening, Paut Nyere, Salam Nunggal, Jambe Sapasi, Sogok Iwung, Kembang Kacang, Malapah Gedang, Janur, Gula Sabeulah, Beubeut Nyere, Sulangkar (Leea sambucina Willd).
Perah : Balingbing, Eluk Paku (pakis), Pendul, Kembang, Potongan Kai, Sopak Lodong, Jejengkolan.
Nama berdasarkan satwa : Bilah : Simeut Pelem, Buntut Lubang, Tambak(ang). Perah : Buhaya, Ekek, Soang Ngejat, Jawer Hayam, Cinghol (Ucing Nonghol), Pingping Hayam, Kucuit, Simeut Bako, Meong, Monyet/Lutung, Lauk Cai, Kuda Laut, Garuda, Mear, Lutung Moyan, Ceker Kidang.
Nama bilah yang berkaitan dengan pekerjaan : Pamilikan (pabilikan), Pamoroan, Pameuncitan atau Pamotongan, Sadap, Nyacag Daging, Soto.
Nama bilah karena bentuk : Betekok, Petok, Gayot, Bentelu. Masih didapat nama lain seperti untuk bilah Hambalan, Jonggol, Narimbang. Untuk perah : Wayang Arjuna, Kresna, Cepot, Semar.
Dari beberapa sumber ternyata nama bilah bedog bukan hanya nama tetapi ada makna simbolik disebalik nama tersebut, memang tidak setiap nama bilah bedog mengandung makna simbolik. Salam nunggal, umpamanya, nama ini dikaitkan dengan awal penyebaran agama Islam di Tatar Sunda. Hal ini bisa dibaca pada Wawacan Gagak Lumayung baris ke 340 karya MO Suratman, yang selesai ditulis pada akhir tahun 1956 “Sampurna Iman Islam, jaga ieu kubur janten lembur rame pisan, mugi-mugi sing tepi paneda kami, nelahna Salam Nunggal”. Kata salam didalam bahasa Sunda bisa diartikan sebagai nama pohon yang daunnya untuk penambah aroma sayuran, arti lain adalah doa untuk keselamatan, sedangkan nunggal dari kata dasar tunggal. Makna salam nunggal pada bedog adalah walaupun kita mempunyai atau membawa bedog, tetapi keselamatan tetap harus berserah diri kepada Yang Maha Tunggal, Allah Swt. Untuk itu menggunakan bedog harus mempunyai tujuan yang pasti, yang diridloi oleh Allah Swt. Salam Nunggal juga adalah nama sebuah desa di Leles Garut. Bentuk bedog salam nunggal berpunggung lurus begitu juga bagian yang tajam, diujung (congo) melengkung dari bagian yang tajam menyerupai seperempat bulatan ke arah punggung. Ukuran panjang dan lebar tidak ada ukuran baku hampir untuk semua jenis bedog, tergantung ketersediaan bahan tetapi tetap berbentuk harmonis antara panjang dan lebar.
Paut Nyere, bentuknya lebih berkesan panjang dan ramping, berpunggung lurus tetapi pada bagian yang tajam tirus meruncing ke arah congo, pada bagian belakang mendekati buntut (paksi atau pekis dalam istilah keris) sedikit lebih mengecil ke arah punggung dari bagian yang tajam. Nama bedog paut nyere kadang kadang tertukarkan dengan nama salam nunggal. Arti paut nyere pada dasarnya adalah menarik lidi dari sebuah ikatan, seperti menarik sebuah lidi dari ikatan sapu lidi. Semakin sering mencabut lidi dari ikatannya yang akan semakin melonggarkan sebuah ikatan, semakin tak bermakna ikatan tersebut. Bedog dan sarangka tiada bedanya dengan lidi dalam ikatan. Begitu semakin sering mencabut bedog, semakin memperlihatkan lemahnya penguasaan diri, apalagi mencabut bedog tanpa tujuan yang pasti. Bedog adalah senjata tajam akan bermanpaat apabila dipergunakan untuk kebaikan dan sebaliknya akan sangat berbahaya bila digunakan untuk kejahatan. Disinilah diperlukannya penguasaan diri dari setiap pemakainya.
Ujung Turun atau suka disebut Lubuk, punggung lurus bagian yang tajam juga lurus, dibagian ujung dari punggung membentuk seperempat bulat ke arah yang tajam, sebaliknya dengan salam nunggal. Didaerah Ciomas Banten lebih terkenal dengan nama Candung. Bentuk ini memberi peringatan kepada pemakainya bahwa semakin ke ujung kehidupan atau semakin tua harus semakin bijaksana, tiada bedanya dengan ilmu padi semakin berisi harus semakin menunduk. Menggunakan bedog harus dengan ilmunya, supaya tidak mencelakakan diri sendiri. Apabila dirasa tidak mampu jangan memaksakan diri, diujung kehidupan suatu saat akan terpaksa turun.
Makna simbolik ini tiada bedanya dengan makna simbolik perah, dimana bentuk perah pada dasarnya seperti eluk (lengkung tunduk mengarah bulat) dengan nama eluk paku atau jejengkolan atau jengkol sagendul, tiada bedanya dengan makna ilmu padi. Disamping makna simbolik ada fungsi praktis bentuk eluk, yaitu untuk penahan pada jari kelingking saat dipegang supaya tidak mudah terlepas disaat licin karena keringat.
Itulah sedikit makna tentang bedog dari makna yang pasti masih banyak dibelantara kearifan lokal. Bedog merupakan benda budaya warisan karuhun yang patut dihargai, hasil dari perenungan ide yang mengalir menjadi sebuah bentuk bernilai seni, filosofi dan teknologi, disitu ada unsur simbolis yang bisa dikuak, disamping sebagai benda pajangan. Dan itupun bisa menjadi bahan penelitian, menjadi objek keilmuan dan kebudayaan. Dari nama-nama bilah bedog ataupun perah yang terasa eksotis dan ada juga yang cenderung feminim. Sepertinya pemilihan nama itu disengaja untuk menghilangkan kesan menyeramkan akan ketajaman mata bedog, disini nampak bahwa urang Sunda lebih mengedepankan nilai estetis dan filosofis. Benda setajam bedog lebih bertujuan untuk keperluan defensif, ketimbang untuk ofensif. Bobot pangayon timbang taraju mangga nyanggakeun.
MAMAT SASMITA
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
Setelah diedit oleh Redaksi maka dimuat di Kompas Jabar Sabtu 14 Juni 2008
No comments:
Post a Comment