Oleh Mamat Sasmita
Untuk ukuran zaman dahulu, tidak ada hasil kemahiran yang lebih baik dalam menggambarkan gaya hidup suatu bangsa selain kemampuan mengolah logam menjadi peralatan untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Sunda dikenal nama panday, yakni seseorang yang pandai mengolah besi menjadi peralatan seperti golok, cangkul, dan pisau.
Istilah itu juga disebut dengan tukang tempa besi. Panday, yang berarti pandai, berasal dari bahasa Sanskerta. Dari kata pandai tecermin bahwa panday adalah orang yang dihormati karena kepandaiannya.
Kata panday ditemukan pada naskah Sunda kuno, Sanghyang Siksakandang Karesian (1518). Adapun kemahiran mengolah besi ditemukan dalam cerita rakyat Ciung Wanara. Setidaknya dari cerita itu ada nama daerah Kandang Wesi di Garut. Pada cerita pantun Sri Sadana atau Sulanjana (juru pantun Ki Atjeng Tamadipura, transkripsi Ajip Rosidi, 1970) disebutkan bahwa orang Pajajaran mendapatkan benih baja dan besi dari kuburan Jaka Pamor dan Jaka Sela.
Dengan benih besi dan baja itu orang Pajajaran dapat membuat perabot untuk aktivitas pertanian. Dalam buku History of Java (Raffles, terjemahan, 2008) dikatakan bahwa keterampilan mengolah besi sudah ada sejak zaman kejayaan Kerajaan Pajajaran. Menjelang Pajajaran runtuh, 800 panday menyebar ke Majapahit. Saat Majapahit runtuh, mereka menyebar ke setiap kabupaten.
Masih menurut Raffles, kedudukan panday sangat dihormati dan mereka diberi tanah yang luas. Kedudukannya sama dengan empu di masyarakat Jawa. Hal ini dapat dimengerti mengingat panday merupakan aset kerajaan. Mereka tidak saja dianggap mampu membuat peralatan untuk keperluan pertanian sehari-hari, tetapi juga membuat peralatan untuk bala tentara kerajaan. Bala tentara dianggap kuat karena peralatan perangnya juga kuat.
Mungkin itu merupakan salah satu alasan Majapahit zaman dahulu tidak menganeksasi Kerajaan Sunda. Dalam beberapa versi cerita Ciung Wanara ada yang menyebut tentang Panday Domas sebagai cikal bakal kepandaian mengolah besi. Domas, menurut Kamus Bahasa Sunda-Inggris (Jonathan Rigg, 1862), berarti 800 dengan asal kata dwa (dua) dan mas. Mas berarti 400, di samping mempunyai arti sebagai mas logam mulia.
Mungkin domas adalah jumlah 800 panday yang dianggap mumpuni seperti ditulis Raffles. Meski demikian, ada yang menafsirkan kata domas berarti banyak, mulia, dan besar, seperti tecermin dalam Arca Domas, Sasaka Domas, dan Kawah Domas.
Ketulusan hati
Tempat bekerja panday disebut gosali. Peralatan gosali biasanya terdiri dari ububan (alat untuk meniup perapian), piruruhan (perapian), dan cangkorah (tempat air untuk menyepuh besi). Di samping itu tentu (sekarang) ada palu, paron, dan penjepit untuk menjepit besi yang sedang dibakar. Letak gosali secara tradisional biasanya dekat dengan sumber api alam atau sumber bahan bakar, sumber air, dan yang paling utama dengan sumber bijih besi.
Benda yang dihasilkan panday zaman dulu ada kalanya dianggap bertuah, terutama benda yang berfungsi sebagai senjata tajam untuk bela diri atau peralatan bala tentara. Hal ini karena kedudukan panday tidak saja berkaitan dengan kemampuan mengolah besi secara teknis, tetapi juga dibarengi ketulusan hati (kekuatan olah batin) yang mendalam. Ada keseimbangan antara kemampuan teknis dan kemampuan olah batin.
Pada dekade 1950-an, panday masih ada di hampir setiap desa di Jawa Barat. Panday masih disegani, tetapi telah bergeser, yaitu dilihat dari kemampuan ekonomi. Masyarakat saat itu masih sangat memerlukannya, terutama untuk memperbaiki alat pertanian dari besi yang rusak, seperti memperbaiki cangkul, golok, pisau, arit dan kored, di samping membuat yang baru. Kemampuan teknis lebih diutamakan, sedangkan kemampuan olah batin hampir ditinggalkan.
Pada dekade 2000-an, panday sudah mulai menghilang. Kalaupun ada, wajah tradisionalnya sudah tidak tampak. Peralatan gosali sudah berubah. Ububan diganti dengan kipas angin bertenaga listrik, sementara gerinda menjadi alat andalan untuk membentuk dan menghaluskan. Masyarakat melihat panday tiada bedanya dengan tukang-tukang lain (sering disebut perajin), yaitu terpuruk dan terpinggirkan.
Walaupun demikian, masih ada yang tetap bertahan dengan segala kemampuannya mengolah besi. Ada beberapa tempat yang sekarang menjadi sentra pengolah besi, seperti di Pasir Jambu, Ciwidey, Bandung; Cibatu, Cisaat, Sukabumi; Galonggong, Manonjaya, Tasikmalaya; Tanjung Siang, Rancakalong, Subang; Ciomas, Serang, Banten; dan Batubeulah, Kanekes, dengan produk andalan golok.
Walaupun sentra produksi tersebut berjauhan satu sama lain, apabila dilihat dari bentuk dan nama hasil produksi, terutama golok, seolah-olah ada kesamaan. Mungkin hal ini menunjukkan pada awalnya mereka saguru saelmu (satu guru dan satu ilmu). Bisa jadi itu adalah Panday Domas.
"Maranggi"
Hasil produksi disebut bagus tidak saja dilihat dari tempaan bilah besinya, tetapi juga kelengkapan lain, yaitu perah (pegangan) dan sarangka (sarung). Pekerjaan membuat perah dan sarangka tidak dilakukan oleh panday, tetapi maranggi. Maranggi adalah ahli ukir. Hal ini juga disebut dalam naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian. Perpaduan dua keahlian ini menghasilkan benda budaya yang tidak hanya mempunyai nilai seni, tetapi juga fungsi praktis alias bisa dipakai.
Pada zaman keterbukaan seperti sekarang ini, produk olahan logam seperti pisau, golok, dan sabit tidak saja bersaing dengan sesama produk lokal, tetapi juga dengan hasil impor. Sebuah pisau dapur hasil tempaan lokal dengan kualitas baik hanya dihargai sekitar Rp 20.000. Bandingkan dengan satu set pisau impor terdiri dari enam buah yang dihargai lebih dari Rp 1 juta.
Ini mungkin disebabkan perbedaan kualitas dan detail pekerjaan. Apabila pekerjaan pengolahan besi merupakan salah satu industri kreatif, ada baiknya lebih meningkatkan sisi budaya lokal, yaitu nama bilah, bentuk bilah, nilai simbolik atau filosofis, dan sejarah panday, di samping kualitas.
MAMAT SASMITA Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
Haturan kang,..
ReplyDeleteNgiring ngutip sakediknya perkawis gosali.
Hatur nuhun