05 June 2008

CONTENT PROVIDER DAN BUDAYA LOKAL

Oleh : MAMAT SASMITA

Ketika pesawat telepon semakin canggih dengan ditandai oleh munculnya handphone (baca : hape), fungsi pesawat telepon tersebut bukan hanya untuk berbicara, tetapi juga untuk mengirim teks seperti short message services (SMS) dan data.

Saat sekarang diawal tahun 2008 ini menurut beberap sumber jumlah pelangga selular (pelanggan yang menggunakan hape) diperkirakan sekitar delapan puluh juta, malah diakhir tahun 2008 ada prediksi akan mencapai sembilan puluh juta pelanggan. Suatu hal yang sangat menarik dalam ceruk bisnis komunikasi, dari jumlah pelanggan tersebut diperkirakan sepuluh persennya adalah pelanggan 3G (baca triji).

Layanan 3G merupakan pengembangan dari GPRS (General Packet Radio Services, biasa juga disebut 2,5G) yang sudah lama ada di Indonesia yang terkenal dengan pengiriman data berupa multimedia message services (MMS).

Tentunya layanan 3G harus ada lebihnya dibanding GPRS, salah satu layanan yang menjadi andalan adalah layanan video call, yaitu penelepon bisa saling tatap muka dengan lawan bicaranya melalui layar hape yang digenggamnya. Layanan video call ini bukan hanya untuk jual tampang di layar hape, tetapi juga bisa dipergunakan untuk tujuan lain. Seperti e-learning atau malah bisa dipergunakan untuk berkonsultasi dengan dokter, atau bisa juga melihat-lihat rumah yang bakal dijual umpamanya.

Selain video call masih ada layanan lain seperti audio dan video streaming, layanan ini dianggap efektip karena tidak perlu mengunduh (download) file tersebut tetapi langsung bisa melihat dilayar hape, entah itu live ataupun rekaman (video on demand).

Untuk mendapatkan layanan tersebut biasanya ada kerjasama antara technology provider dengan content provider. Technology provider (TP) adalah perusahaan yang bergerak dibidang jasa telekomunikasi seperti PT.Telkom, Telkomsel dan lainnya. Sedangkan Content Provider (CP) adalah perusahaan yang menyediakan isi layanan atau konten, berupa video call atau audio streaming dan video streaming seperti yang disebutkan diatas tadi.

Sebenarnya CP tidak hanya memberikan layanan untuk 3G, tetapi bisa juga untuk layanan SMS. Saat sekarang marak dalam iklan baik di televisi maupun di media cetak, misalnya untuk games, berita dan i-ring (ring backtones). Contohnya kita sering diminta mengirim SMS ke nomor 123xxx denga mengetik REG(spasi)NAMA atau yang lainnya, sampai-sampai meramalpun menjadi salah satu produk CP.

Nampaknya belum satupun CP yang melirik ke konten budaya lokal. Peristiwa budaya yang hampir setiap tahun terjadi dan berkesinambungan di daerah Jawa Barat seperti acara Nyangku di Panjalu, acara Seren Taun di Cigugur Kuningan, acara Seba di Kabuyutan Ciburuy Garut bisa direkam untuk dijadikan video streaming sebagai bahan pengetahuan sekaligus tontonan budaya. Termasuk jenis-jenis kesenian seperti kuda renggong, sisingaan, bebegig Sukamantri, calung, reog Sunda dan lain lain.

Begitupun untuk hal-hal yang lebih sederhana, seperti pengiriman SMS untuk bertanya misalnya tentang paribasa Sunda, kirim SMS ke nomor 123xxx dengan mengetik PARIBASA(spasi)A, artinya meminta peribahasa Sunda yang dimulai dengan huruf A, lantas CP mengirim 5 buah peribahasa tersebut.

Memang untuk memasukan budaya lokal sebagai program CP bukan perkara mudah setidaknya harus melalui survey terlebih dahulu untuk mengetahui animo masyarakat, itu apabila benar-benar akan diperhitungkan sebagai bisnis murni. Mati hidupnya sebuah perusahaan CP tergantung dari program yang ditawarkan. Apabila mendapat sambutan dari masyarakat dengan baik, artinya sering diakses, semakin hidup CP tersebut dan yang penting lagi pembagian pendapat antara CP dan TP, jangan hanya menguntungkan TP tanpa melihat program yang ditawarkan. Saat sekarang pembagian pendapat masih lebih besar untuk TP yaitu sekitar sebesar enam puluh persen. Apabila program yang ditawarkan mengandung misi pendidikan dan pelestarian budaya sebaiknya ada peninjauan ulang pembagian hasil tersebut, jangan disamakan dengan program ramal-meramal atau kuiz yang justru membebalkan masyarakat. Benar yang merajai saat sekarang adalah program i-ring atau ring backtones bukan saja hasil karya pemusik asing tetapi juga hasil karya pemusik nasional termasuk pemusik lokal tradisional.

Hal lain yang mesti diingat adalah layanan 3G tanpa konten tiada bedanya dengan kolam tanpa ikan. Begitu juga apabila konten lebih berorientasi ke asing tanpa melirik ke konten lokal sama juga dengan kacang yang lupa pada kulitnya. Pengusaha CP ada juga dari pemodal asing yang tentu saja tidak pernah kenal akan budaya lokal, disini peran regulator (pemerintah) dan IMOCA (Indonesia Mobile & Online Content Association) bisa memberikan pengarahan akan makna budaya lokal.

Untuk membuat konten berbasis budaya lokal akan memerlukan keterlibatan beberapa profesi yang handal seperti fotografer, desainer grafis, cameraman termasuk seniman, budayawan, sejarawan. Itulah kerja kreatif dan sekaligus memberikan sumber penghidupan kepada banyak pihak yang pada dasarnya merupakan bagian dari industri kreatif dan jangan dilupakan dari unsur hak kekayaan intelektual supaya tidak terjadi pembajakan hasil produksi.

Kini banyak pihak yang mengatakan bahwa generasi muda sepertinya sedang meninggalkan budaya daerahnya, walaupun asumsi itu patut dipertanyakan kebenarannya. Tetapi anggap saja asumsi itu benar, barangkali cara pendekatannya untuk kembali meraih simpati para generasi muda adalah dengan mendekatkan penggiat budaya atau kegiatan budaya melalui teknologi yang lekat dengan generasi muda tersebut. Teknologi yang lekat pada generasi muda dan malah dianggap trendy bila memakainya tiada lain handphone dan komputer.

Keterlibatan pemerintah daerah dalam hal ini Disbudpar bisa tingkat propinsi, kotamadya atau kabupaten sangat diperlukan terutama untuk pendekatan kepada TP dan tentunya yang mempunyai alokasi dana dari uang rakyat melalui pajak. Pendekatan kepada TP supaya hal ini tidak melulu dipandang sebagai bisnis yang selalu berdasarkan perhitungan untung rugi secara finansial. Tetapi ini adalah pendidikan, ini adalah pelestarian budaya yang tidak dapat dihitung untung rugi secara finansial. Dalam hal keterlibatan Dispbudpar bisa saja sekaligus membuat CP yang bisa diakses oleh semua pelanggan TP, atau mengadakan kerjasama dengan CP yang telah ada.

Sekarang saatnya untuk memasuki ranah itu, jangan sampai terlambat. Kalau terlambat para kreator asing akan segera masuk dan mengeksplorasi semua kekayaan budaya lokal, dan kita hanya akan menjadi penonton budaya sendiri di negri sendiri. Tren ke depan content is the king, rebutan kue bisnis selular akan ditentukan oleh keberagaman konten, TP tanpa melibatkan CP yang handal akan menjadi garing dan ditinggalkan oleh pelanggannya.

Satu hal lagi yang harus menjadi perhatian yaitu layanan 3G menawarkan akses data kecepatan tinggi, maka mobile internet merupakan salah satu konten yang mempunyai daya tarik lainnya.

Untuk itu membuat portal budaya (Sunda) di internet nampaknya sudah menjadi keharusan, yang memuat Sunda Sapuratina (all about Sunda), sekali lagi karena ini merupakan kekayaan budaya Sunda, siapa lagi kalau bukan oleh Urang Sunda sendiri melalui Disbudpar Jawa Barat. Semoga.

MAMAT SASMITA

Pensiunan Telkom, penggiat Rumah Baca Buku Sunda.

Setelah melalui editing oleh Redaksi dimuat di Kompas Jabar Kamis 24 April 2008

No comments:

Post a Comment