01 February 2008

KORUPSI DAN ORANG SUNDA

Oleh : MAMAT SASMITA.


Saat sekarang sering sekali melihat atau mendengar di media masa elektronik baik televisi maupun radio, atau sering sekali membaca di media masa cetak baik itu majalah maupun surat kabar tentang korupsi. Malah pernah disebutkan bahwa Indonesia termasuk negara paling korup, pada tahun 2004 menurut Transparency International, Indonesia berada pada urutan ke 5 terkorup dari 146 negara yang diteliti (buku Surga Para Koruptor, penerbit Kompas 2004). Ternyata Jawa Barat juga hampir menjadi propinsi terkorup, berada pada posisi ranking ke dua, berdasarkan data yang dihimpun oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) yang dipublikasikan pada awal tahun 2007 (PR 26 Januari 2007). Menurut berita itu kecenderungan korupsi lebih besar di sektor pemerintahanan, atau pada birokrat.

Birokrat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) adalah pegawai yang bertindak secara birokrasi, sedangkan arti birokrasi masih menurut kamus itu ialah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, arti kedua adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya. Untuk propinsi Jawa Barat jumlah dari para birokrat ini hanya kurang lebih sekitar 13.200 orang, termasuk pegawai pemda kota dan kabupaten. Tetapi akibatnya bisa mempengaruhi seluruh warga Jawa Barat yang jumlahnya sekitar 39 juta orang, baik dalam sektor sarana umum, ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya. Kalau saja berita dari ICW itu benar bahwa korupsi di Jawa Barat lebih besar dilakukan di sektor pemerintahan, ironis sekali 13.200 orang berdampak tidak baik terhadap 39 juta orang. Tentu saja dari jumlah para birokrat itu kebanyakan orang Sunda karena ada di Jawa Barat, jadi kalau disebut birokrat orang Sunda suka korupsi, bisa-bisa tidak terlalu salah. Bagi orang Sunda melihat kenyataan ini barangkali akan merasa malu, setidaknya bagi yang peduli akan itu, seharusnya lebih-lebih lagi bagi birokrat orang Sunda. Anggapan ini barangkali terlalu di-generalisir, karena dengan kata lain yang korupsi itu mungkin hanya dilakukan oleh sebagian elit birokratnya saja. Perlu juga diyakini masih ada birokrat yang tidak korupsi, apalagi yang berada pada tataran golongan biasa-biasa saja. Persoalannya seberapa banyak beliau-baliau yang jujur itu dan seberapa besar pengaruhnya dalam hal menentukan kebijakan, mungkin hanya kecil saja buktinya mendapat predikat propinsi terkorup kedua.

Sejarah panjang tentang korupsi, apabila membaca dari beberapa sumber, tercatat sejak tahun 463 sebelum masehi, saat Pericles menyeret Kimon sebagai rivalnya ke pengadilan didalam sejarah kekaisarn Romawi yang penuh skandal dan intrik. Di Indonesia barangkali bisa jadi tanda kehancuran VOC, organisasi dagang bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) sekitar tahun 1799. Kehancuran VOC ini ditengarai karena korupsi yang merajalela oleh pegawai-pegawainya. Akibatnya Indonesia sebagai peninggalan kolonial Belanda sampai sekarang masih berkutat dengan penyakit korupsi ini termasuk di Jawa Barat. Apabila pada jaman kolonial, karena tuntutan gaya hidup para bupati yang nampak mewah dan kaya, penghasilan didapat dari bermacam-macam pajak (cuke) dari rakyat. Dalam pelaksanaan memungut pajak ada kepentingan pribadi dengan kepentingan menyetor kepada pejabat kolonial, mengakibatkan sering terjadi korupsi. Apalagi saat terjadi Preangerstelsel suatu sistem pengelolaan pengolahan tanah tidak langsung oleh pemerintah Hindia Belanda atas tanah rakyat di Priangan. Sedangkan bupati saat itu merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Kemuadian bupati menyerahkan hasilnya kepada pemerintah atas dasar harga yang ditetapkan oleh VOC. Nampaknya bupati sebagai birokrat tradisional, saat itu sudah terkena penyakit korupsi dan masih berlanjut sampai kepada birokrat saat sekarang. Sungguh malang nasib birokrat yang selalu terkena penyakit kronis ini.

Orang Sunda adalah yang mengaku dirinya orang Sunda dan diakui orang Sunda oleh yang lainnya (Suwarsih Warnaen, Pandangan hidup Orang Sunda, 1987) tentunya juga mengerti bahasa Sunda. Memaknai kata korupsi, ada baiknya membolak balik beberapa kamus bahasa Sunda. Didalam kamus bahasa Sunda-Inggris karya Jonathan Rigg yang terbit tahun 1862 kata korupsi tidak ada. Begitu juga didalam kamus bahasa Sunda-Melayu karya R.Satjadibrata yang terbit tahun 1944 dan kamus Sunda-Sunda R,Satjadibrata terbit tahun 1948, kata korupsi juga tida ada. Didalam kamus bahasa Belanda-Sunda karya S.Coolsma yang terbit tahun 1910 kata korupsi dari bahasa Belanda untuk diterjemahkan menjadi bahasa Sunda-pun tidak ada. Bisa saja Coolsma memilih itu dengan sengaja tidak dimasukan karena tidak ada padananannya dalam bahasa Sunda.

Saat sekarang kata korupsi telah diserap menjadi bahasa Sunda, hal ini ditandai dengan seringnya muncul kata korupsi didalam media cetak atau media elektronik berbahasa Sunda. Hal lain yang menjadi penandanya adalah munculnya kata korupsi dengan ditulis koreupsi

didalam kamus Sunda-Sunda LBSS (Lembaga Basa & Sastra Sunda) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1975.

Buku kamus Sunda-Sunda LBSS sampai sekarang sudah mencapai cetakan ke tujuh yang terbit tahun 1992, dan kata korupsi tetap dieja koreupsi, inilah artinya menurut kamus tersebut :

koreupsi (Wal) : kacurangan dina ngajalankeun papancen nguruskeun duit atawa milik nagara, milik perusahaan jste, pikeun nguntungkeun diri pribadi atawa golonganana” artinya : korupsi (dari bahasa Belanda) kecurangan dalam menjalankan tugas mengelola uang atau milik negara, milik perusahaan dsb untuk menguntungkan diri pribadi atau golongannya

Buku kamus lain yang memuat kata korupsi dengan dieja korupsi adalah kamus bahasa Sunda-Inggris yaitu buku Sundanese-English Dictionary karya R.R.Hardjadibrata yang terbit tahun 2003, secara lengkap dipetik sebagai berikut : korupsi noun,(Dutch), corruption; ngorupsi commit corruption with something, misappropriate something, (eg. public property etc). Begitu juga didalam kamus bahasa Sunda-Belanda karya FS Eringha (KITLV 1984) memuat kata korupsi.

Diserapnya suatu kata asing menjadi kata dalam bahasa tertentu, dalam hal ini bahasa Sunda, disebabkan oleh tidak ada padanannya dalam bahasa tersebut, sering dipakai oleh penuturnya dan diketahui maknanya. Kalau memang demikian adanya, bisa jadi korupsi sering terjadi di daerah penutur bahasa Sunda, mustahil muncul kata korupsi kalau tidak sering terjadi korupsi itu sendiri.

Apabila mencoba membolak-balik lagi kamus bahasa Sunda, akan ditemukan kata basilat, menurut beberapa kamus artinya basilat adalah sebagai berikut :

Kamus Sunda-Sunda Satjadibrata : neangan kauntungan nu ngarugikeun ka batur (mencari keuntungan yang merugikan orang lain).

Kamus Sunda-Sunda LBSS : licik, curang, teu jujur; lampah basilat, lampah curang ngarugikeun batur upama nipu, koreupsi. (licik, curang, tidak jujur, kelakuan curang merugikan orang lain umpamanya menipu, korupsi).

Kamus Sunda-Inggris R.R.Hardjadibrata : (adj) sly, corrupt, dishonest, deceiful; act deceitfully, distort the facts, corrupt practices.

Dua kamus jelas-jelas mengatakan arti basilat adalah korupsi, walaupun ada yang mengartikan basilat itu kata sifat sedangkan korupsi kata kerja. Kata basilat nampaknya saat sekarang agak jarang dipergunakan oleh media massa berbahasa Sunda, baik itu media cetak maupun media elektronik, hal ini bisa jadi karena maknanya yang kurang dipahami dan kalah populer dibanding kata korupsi.

Kata lain adalah ceceremed (cocorokot, panjang leungeun, resep maling barang nu teu sabaraha hargana) artinya panjang tangan, senang mencuri barang yang tidak seberapa harganya. Masih ada yang lainnya seperti maling (paling), maok (paok), madog (badog), curaling, cocorokot, ngabangsat (bangsat), nipu (tipu), ngarah ngarinah, yang artinya mencuri-mencuri juga, kecuali nipu, ngarah ngarinah lebih bernuansa kepada ketidakjujuran dalam hal membodohi orang lain.

Sedangkan pada naskah Sunda kuno yaitu pada naskah Sanghyang Siksakandang Karesian ada yang disebut nyangcarutkeun, yang dimaksud dengan nyangcarutkeun adalah mipit mo amit (memetik tanpa izin), ngala mo menta (mengambil tanpa meminta), ngajuput mo sadu (memungut tanpa memberi tahu), maka nguni tu tumumpu, maling, ngetal, ngabegal sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngaranna (demikian pula merampas, mencuri, merampok, menodong, segala macam perbuatan hianat, ya menghianati orang lain namanya) (Sanghyang Siksakandang Karesian, Transkripsi dan Terjemahan oleh Saleh Danasasmita dkk, P dan K Bandung 1987). Sikap hianat seperti yang tercermin didalam kata nyangcarutkeun tiada bedanya dengan korupsi saat sekarang, sama mempunyai arti tidak jujur dalam kehidupan sehari hari dan akan sangat merugikan kepentingan umum.

Didalam bahasa Sunda banyak kata yang berarti maling, mencuri, tidak jujur, korupsi, dan sebagainya seperti tersebut diatas. Bisa jadi ini memperlihatkan kekayaan bahasa Sunda itu sendiri. Atau jangan-jangan justru karena seringnya terjadi pencurian, seringnya terjadi ketidakjujuran, sering terjadinya korupsi oleh penuturnya (orang Sunda) maka katanyapun menjadi banyak. Atau para karuhun (leluhur), para genius lokal dulu menciptakan dan menyerap kata tersebut untuk membentengi dan mengingatkan orang Sunda sebagai penutur bahasa Sunda supaya tidak melakukan hal tercela tersebut.

Ada ungkapan yang secara diam-diam diakui tetapi tidak akan pernah formal diakui yaitu ungkapan korupsi telah menjadi kebudayaan, baik itu nasional maupun lokal, mungkin begitu juga di daerah Jawa Barat. Hal ini bisa terjadi mungkin karena korupsi bukan bahasa Sunda atau bahasa Indonesia. Tetapi berasal dari bahasa asing (dari bahasa Belanda corruptie) dimana artinya hanya diketahui di bibir saja, artinya tidak dipahami sampai menyentuh kalbu, lain dengan kata maling yang artinya benar-benar dipahami sampai ke hati.

Tetapi apakah kata maling, basilat, madog, ceceremed dan yang lainnya itu masih dipahami oleh orang Sunda termasuk para birokrat orang Sunda?, apabila masih dipahami sebatas apa pemahamannya, sekali lagi jangan-jangan hanya dipahami sebatas di bibir saja. Seandainya itu benar hanya dipahami sebatas di bibir saja, sungguh kearifan lokal peninggalan para karuhunluhung-nya. Padahal sering disebut-sebut baik didalam seminar atau pidato oleh para inohong (tokoh masyarakat) bahwa kebudayaan Sunda itu luhung (tinggi nilainya), dan bahasa Sunda itu bahasa rasa. Kalau memang benar budaya Sunda itu luhung mari buktikan dengan tidak ada korupsi. Kalau memang benar bahasa Sunda itu adalah bahasa rasa mari kita rasakan bahwa korupsi itu hal yang memalukan. Alangkah akan terasa nyaman apabila dalam derap pembangunan ini termasuk pembangunan sumber daya manusia bebas dari korupsi. Nafas dan rongga urat nadi anak-anak sebagai generasi mendatang tidak tercemar polusi korupsi sekecil apapun, berikan nafas kejujuran pada setiap ujung saraf kehidupannya, untuk menjadi pemimpin yang handal di masa datang. telah kehilangan makna, telah kehilangan ruh sejatinya, telah kehilangan nilai Elmu tungtut dunya siar, hade turut goreng singlar.

Bobot pangayon timbang taraju mangga nyanggakeun. Cag.


MAMAT SASMITA

Penggiat Rumah Baca Buku Sunda, tinggal Bandung

(Dimuat di Majalah Warta Bapeda Provinsi Jawa Barat Vol 12 No.4 / Okt-Des 2007)

No comments:

Post a Comment