05 February 2007

Kenapa dibawa Tuan Snouck....?

Oleh : MAMAT SASMITA

Orientalis, adalah orang yang mempelajari dan mengetahui dengan mendalam tentang budaya timur, salah seorang yang cukup terkenal ialah Prof.Dr. C Snouck Hurgronje. Dia pernah tinggal di Mekah dengan mengaku sebagai muslim dan namanya sempat diganti dengan Abdul Ghaffar, juga sempat tinggal di Tatar Sunda dan di Aceh.
Tulisan ini bukan untuk mengulas tentang ke-orientalis-annya, tetapi tentang kolektor Naskah Sunda, pengertian naskah adalah hasil karya tulis tangan pada media berupa daun, bilah bambu atau pada kertas daluang yang ditulisi dengan cara gores biasanya memakai pisau pangot dan bila diatas kertas daluang memakai kalam dan tinta.

Keberadaan naskah Sunda pada awal abad ke 20 cukup banyak bisa berjumlah ribuan, sekarang tersimpan di Musium Nasional, Musium-musium di Jawa Barat, perorangan dan di Negri Belanda.
Berbekal buku Naskah Sunda Inventarisasi dan Pencatatan (Edi S Ekajati dkk,1988), mencoba menghitung naskah asal koleksi Snouck Hurgronje yang ada di negri Belanda didapat sebanyak 371 naskah dari 785 naskah, atau 47%. Mencengangkan. Salah satu koleksinya adalah naskah Siksa Kandang Karesiyan dengan nomor kode LOr.8450 (LOr, Lieden Oriental Department), huruf Sunda kuno, bahasa Sunda kuno.
Untuk mendapatkan naskah-naskah tersebut bisa saja Snouck Hurgronje dengan cara membeli atau diberi langsung oleh yang punya, bukan hal yang tidak mungkin, karena selama berada di Tatar Sunda sangat dekat dengan para menak, pemegang kekuasaan saat itu, termasuk dengan para penghulu, para pemuka agama.
Malah sempat menikahi gadis Sunda dua kali masing-masing dengan anaknya penghulu dan dari masing-masing istrinya mempunyai keturunan, langkah ini ada yang menyebut sebagai metode participatory observer, larut dengan masyarakat yang sedang ditelitinya.
Pernikahannya dengan gadis Sunda yang pertama yaitu dengan Sangkana anaknya Haji Muhammad Ta’ib, penghulu besar Ciamis pada tahun 1889, Sangkana meninggal setelah keguguran anaknya yang kelima. Pernikahan yang kedua dengan Siti Sadiah anaknya Haji Muhammad Sueb atau yang terkenal dengan sebutan Kalipah Apo di Bandung pada tahun 1898. Snouck Hurgronje pulang ke negri Belanda pada saat anaknya dari Siti Sadiah berumur 18 bulan, tentu sambil memboyong naskah koleksinya, dan tidak pernah kembali ke Indonesia. Setelah di Belandapun masih tetap mendapat kiriman naskah dari teman-teman karibnya dari Tatar Sunda. Snouck Hurgronje meninggal pada tahun 1936, sebelum meninggal menulis surat wasiat yang tidak boleh dibuka selama 100 tahun setelah kematiannya, surat wasiat tersebut sampai kini masih tersimpan di KITLV, institute kerajaan Belanda tentang kajian geografi,bahasa dan antropolgi. Kelak tahun 2036 surat wasiat tersebut baru boleh dibuka, mungkin saja akan menyingkap banyak rahasia.

Kolektor naskah Sunda lainnya disamping Snouck Hurgronje adalah KF Holle, juragan perkebunan teh Waspada di Cikajang Garut pada tahun 1856, jumlah naskah koleksinya kurang lebih 168. Naskah-naskah tersebut tidak dibawa ke negri Belanda, tetapi tetap berada di Indonesia dan sekarang tersimpan di Musium Nasional Jakarta. Salah satu koleksinya ialah Carita Perang Cina di Purwakarta, nomor kode SD.108 (SD, Sunda) huruf Sunda dan Latin, bahasa Sunda.
KF Holle sangat pasih berbahasa Sunda, oleh orang Garut waktu itu disebutnya Tuan Hola. Dia yang menganjurkan para menak Sunda yang melek huruf agar menulis cerita dalam bahasa Sunda, R.Haji Muhamad Musa penghulu Garut saat itu yang paling produktif menerima anjuran Holle, karyanya yang paling terkenal adalah Wawacan Panji Wulung. KF Holle meninggal dunia pada tahun 1896 dalam usia 67 tahun dan dimakamkan di Tanah Abang Jakarta, tahun 1899 di alun-alun kota Garut dibangun monumen Holle untuk memperingati jasanya, pada saat Jepang masuk ke Garut monumen tersebut dihancurkan.

Sebetulnya masih banyak kolektor naskah Sunda yang lainnya yang berasal dari Belanda diantaranya CM Pleyte, JLA Brandes, Th Pigeaud dan lainnya.
Saat sekarang menemukan naskah Sunda sudah sangat susah, jangankan berupa naskah berupa buku bahasa Sunda terbitan tahun 1950an pun sudah susah. Menurut informasi dari para pedagang buku lama, para pemburu buku bahasa Sunda lama semakin banyak, bukan saja oleh orang Sunda sendiri tetapi juga oleh orang asing, oleh orang dari luar negri. Kalau berita ini memang benar, cukup menggembirakan karena buku-buku lama bahasa Sunda dibaca lagi, kearifan local diungkap lagi, barangkali ini berkah era reformasi, era otonomi daerah.

Snouck Hurgronje telah “menyelamatkan” naskah-naskah Sunda yang begitu banyak untuk disimpan di negri Belanda, karena apabila tetap berada di yang empunya bisa jadi tidak pernah dibaca untuk dipelajari, jangan-jangan malah akan dijadikan tutungkusan, dijadikan benda keramat. Tapi, alangkah jauhnya kalau ingin melihat atau meneliti naskah Sunda oleh orang Sunda dari Tatar Sunda. Mudah-mudahan saja salah satu isi dari surat wasiat Tuan yang akan dibuka tahun 2036 nanti adalah mengembalikan naskah-naskah Sunda ke Tatar Sunda.

Mamat Sasmita
Pensiunan TELKOM, Penggiat Rumah Baca Buku Sunda.
(Dimuat di Koran Kompas Jabar hari Kamis tanggal 6 April 2006)

No comments:

Post a Comment