04 February 2007

Buku Cetak (dan) Bahasa Sunda

Oleh : Mamat Sasmita *)


Michael Hart menempatkan Tsai Lun dari China (awal abad 2 ) pada posisi nomor tujuh dari seratus orang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, jasa Tsai Lun adalah orang yang dianggap pertama kali membuat kertas. Sedangkan Johann Gutenberg dari Jerman (abad 15) yang membuat atau penemu mesin cetak berada pada posisi ke delapan.
Pada saat Tsai Lun hidup, di Tatar Sunda ada Aki Tirem juga disebut Sang Aki Luhur Mulya seorang tokoh yang disebut sebut dalam Naskah Wangsakerta sebagai leluhur raja-raja Sunda, sedangkan sejaman dengan Gutenberg adalah Niskala Wastu Kancana yang tercatat salah seorang raja Sunda adiknya Dyah Pitaloka yang gugur di Bubat.

Didalam rentang waktu dari abad ke 2 sampai abad ke 19 kebudayaan tulis baca di belahan benua lain sudah demikian jauh melesat maju, di Tatar Sunda pun tulis baca sudah ada seperti Prasasti Ciaruteun ( diperkirakan abad ke 5). Sejak jaman Tarumanagara sampai jaman kerajaan Sunda dan Galuh terdapat 23 prasasti, 7 buah prasasti jaman Tarumanagara dan 16 prasasti jaman kerajaan Sunda dan Galuh (Edi S Ekajati, 2005).
Disamping prasasti, tulisan pada batu atau pada logam atau pada kayu, ada juga naskah, karya tulis tangan pada media daun, bambu dan daluang, yang ditulisi dengan cara gores biasanya memakai pisau pangot atau apabila diatas daluang ditulis dengan kalam dan tinta. Tinta yang terkenal di Tatar Sunda yaitu tinta gentur, nama gentur diambil dari nama kampung Gentur Desa Jambudipa Warungkondang Cianjur, pembuatan tinta ini memakai bahan baku jelaga dan beras ketan yang disangan sampai gosong. Sedangkan kertas daluang dibuat dari kulit pohon saeh (broussonetia papyrifera vent), keahlian membuat daluang ini masih berlangsung sampai sekarang dengan hasil yang sangat baik.
Naskah hasil karya masyarakat Sunda cukup banyak, bisa disebut ribuan tersebar mulai di Musium Nasional, perorangan hingga di negri Belanda, diantaranya naskah Siksa Kandang Karesian (1518) yang memuat tentang norma, aturan dan nilai social budaya untuk masyarakat Sunda pada waktu itu.

Kalau Gutenberg memperkenalkan mesin cetak pada abad ke 15, nampaknya kesadaran akan buku hasil cetak pada masyarakat Sunda, baru pada abad ke 19, ditandai dengan dicetaknya buku berbahasa Sunda yang berjudul Kitab Pangajaran Basa Sunda dengan huruf latin pada tahun 1850 (Mikihiro Moriyama, 2003), hampir empat ratus tahun tertinggal sejak diperkenalkannya mesin cetak oleh Gutenberg.
Sejak itulah sampai sekarang telah banyak buku buku Sunda dicetak, diterbitkan, dalam ragam bentuk, mulai dari buku, majalah, koran, begitupun isinya bukan hanya pengajaran bahasa Sunda tetapi atlas (geografi), ilmu pertanian, kesehatan dan sastra, termasuk bacaan anak-anak.

Yang menarik antara tahun 1960 kira kira sampai tahun 1975 sempat terbit buku buku roman pop bahasa Sunda seperti Neng Elah, Si Buntung Jago Tutugan dan puluhan judul lainnya. Keberadaan buku ini sempat sangat populer diantara para pendengar radio, karena ceritanya hampir setiap sore dibanyak studia radio di Bandung dibacakan didepan corong radio,dengan format hampir sama yaitu dongeng enteng pasosore (dongeng ringan sore-sore).
Rasanya belum pernah ada pengamat buku bahasa Sunda yang mengkhususkan mengadakaan penelitian tentang roman pop Sunda sampai sejauh mana pengaruhnya terhadap penggunaan bahasa Sunda di masyarakat. Masyarakat Sunda umumnya masih sangat mengenal buku buku seperti Neng Elah, Si Buntung Jago Tutugan itu dibanding dengan buku bahasa Sunda yang mendapat predikat karya sastra.

Apabila dihitung-hitung usia buku cetak bahasa Sunda baru seratus lima puluh enam tahun sejak buku bahasa Sunda terbit pertama (1850) sampai sekarang, usia yang masih relatif muda untuk sebuah kesadaran budaya.
Akhir-akhir ini ada anggapan bahwa bahasa Sunda sedang ditinggalkan oleh orang Sunda, sehingga bisa saja menjadi salah satu bahasa daerah, bahasa ibu, yang sedang antri menuju ke kematiannya. Walaupun ada anggapan bahwa gejala itu hanya di kota, karena kehidupan di pilemburan sehari-harinya tetap memakai bahasa Sunda, tidak pernah terpikirkan untuk merobahnya dengan bahasa yang lain, sekalipun dengan bahasa Indonesia.
Kalau saja benar bahwa bahasa Sunda sedang antri menuju ke kematiannya, alangkah pendek waktu mekarnya atau bisa saja disebut layu mati muda, usaha untuk mempertahankannya sudah ada baik secara peorangan, organisasi swadaya maupun pemerintah daerah.
Peraturan Pemerintah Daerah (Perda) Jawa Barat No.6 tahun 1996 yang diperbaharui dengan Perda Jawa Barat No 5 Tahun 2003 yang intinya bahwa bahasa Sunda, Cirebon dan Melayu Betawi perlu dipelihara, perda yang lain yaitu No.6 dan No. 7 tentang pemeliharaan kesenian dan arkeologi.
Tetapi perda ya tetap tulisan tanpa makna yang tersimpan rapi kalau tidak jelas implementasinya.
Kalau ingin tahu tentang orang Sunda, baik bahasanya, humornya, teriakannya, gembiranya maupun kesalnya tontonlah Persib dan bercampur-baurlah dengan para bobotoh. Persib satu-satunya ikon Sunda yang masih ada. Hidup Persib…!!.


*) Pensiunan TELKOM, penggiat rumah baca buku Sunda, tinggal di Bandung

(Sudah dimuat di Kompas Jabar Senin Tgl 20 Maret 2006)

No comments:

Post a Comment