24 August 2013

ANTARA JALAN WASTU KANCANA DAN JALAN MERDEKA

Oleh : MAMAT SASMITA



Apabila merujuk kepada naskah Sunda kuna Warugan Lemah (Aditia Gunawan, Jurnal Sundalana 9, PSS 2010), naskah kuna yang menjelaskan tentang tempat pemukiman berdasarkan kontur tanah. Kota Bandung bisa jadi berada pada tanah yang disebut Ambek Pataka, yaitu kontur tanah yang turun ke arah selatan, atau tanah yang disebut Talaga Kahudanan, yaitu  tanah yang memotong sungai, sungai Cikapundung. Baik Ambek Pataka maupun Talaga Kahudanan, keduanya kurang baik untuk pemukiman karena akan terjadi yang menyakitkan hati atau mati oleh senjata lawan. Masih menurut Warugan Lemah untuk menangkal sifat jeleknya jenis kontur tanah pemukiman Ambek Pataka harus menanam usar(?), sedangkan Talaga Kahudanan untuk menangkalnya harus minum di tengah sungai pada hari Sabtu wage. Bisa jadi penangkal tersebut sudah dilakukan oleh para karuhun jaman dulu waktu menetapkan kota Bandung sebagai tempat pemukiman. Jadi mari optimis saja bahwa kota Bandung memang baik. Sumber lain yang mengemukakan  bahwa tanah kota Bandung disebut Galudra Ngupuk, dimana air mengalir dari tiga arah (utara, timur, selatan) menuju ke tengah dan terbuang ke arah satunya (Citarum mengalir ke arah barat). Galudra Ngupuk adalah tanah yang paling baik untuk pemukiman (J.Habbema, Bijgeloof In De Preanger Regentschappen, Bijdragen Vol 51, 1900). Ini semakin menguatkan harus tetap  optimis bahwa kota Bandung memang baik.  Buktinya dari Bandung sudah banyak melahirkan tokoh nasional ternama yang membawa nama bangsa.

Di kota Bandung ada nama jalan yaitu Jalan Wastukancana dan Jalan Merdeka, memang tidak tepat di tengah kota Bandung, tetapi agak ke utara apabila dilihat dari alun-alun, itupun apabila alun-alun dianggap berada di tengah kota Bandung. Memberi nama sebuah jalan tentu mempunyai alasan, bisa karena alasan sejarah, nama tokoh atau  yang lainnya, supaya bisa tetap dikenang atau diteladani nilai-nilai yang dikandungnya. Kebetulan (bisa jadi bukan kebetulan tetapi disengaja dipakai nama jalan) nama Wastu Kancana adalah nama raja dalam sejarah kuna orang Sunda.  Dari beberapa sumber disebutkan bahwa Wastu Kancana menjadi raja atau memerintah selama seratus empat tahun, rakyat sangat mencintainya karena kebaikan, kebijaksanaan dan kejujurannya. Hal itu bisa dibaca pada naskah kuna Carita Parahyangan (akhir abad ke 16), dengan hiperbolis menyebutkan jangankan manusia (bahkan) air, cahaya, angin, langit serta eter juga merasa betah berada di bawah pemerintahannya. Barangkali dengan alasan itulah maka Wastu Kancana dijadikan nama jalan.

Merdeka adalah kata yang sangat bertuah pada masa revolusi tahun 1945, saat merebut kemerdekaan dari penjajah, bukan hanya untuk orang Sunda saja tetapi juga untuk seluruh bangsa Indonesia. Merebut kemerdekaan dari penjajah melalui pengorbanan yang besar, pengorbanan jiwa dan raga demi masa depan yang lebih baik. Kebetulan teriakan atau pekik merdeka dilontarkan oleh Oto Iskandar Di Nata sebagai salam kebangsaan untuk menggelorakan semangat kemerdekaan (Iip D Yahya, Oto Iskandar Di Nata The Untold Stories, FDWB 2008). Arti merdeka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bebas, bebas dari perhambaan, bebas dari penjajajahan dan lain-lain. Merdeka itu hak untuk setiap orang, hak untuk setiap bangsa. Dengan alasan itu maka pantas sebuah jalan disebut jalan Merdeka.   

Kebetulan (nah yang ini mungkin kebetulan) antara Jalan Wastu Kancana dan Jalan Merdeka di kota Bandung, ada ruang yang diapit kedua jalan tersebut, disanalah terdapat gedung tempat pusat pemerintahan kota berada, baik eksetkutif maupun legislatif. Harus dipercaya bahwa orang-orang yang bekerja di gedung tersebut, dari yang status paling rendah sampai status yang paling tinggi, telah mengetahui dan memahami arti dan nilai-nilai Wastu Kancana dan Merdeka, karena tiap hari melalui jalan tersebut, sudah bisa dipastikan tiap hari membaca papan nama jalan tersebut. Setidaknya apabila membaca papan nama jalan itu tiap hari akan tergugah untuk mengetahuinya.

Untuk bisa bekerja di gedung yang diapit oleh Jalan Wastu Kancana dan Jalan Merdeka, harus melalui rintangan yang sangat berat, dari mulai tes kesehatan jasmani dan rohani, fisik dan mental sampai tes lainnya dan yang paling berat harus mendapat suara terbanyak saat dipilih oleh rakyat. Setelah terpilihpun harus disumpah pula, sumpah jabatan yang mengatasnamakan Tuhan. Sungguh, itulah orang yang terpilih, orang yang sengaja dipilih, orang yang terpilih adalah orang yang mulia. Setidaknya orang tersebut mewarisi nilai-nilai dari Wastu Kancana dan memahami makna Merdeka.
Apabila terjadi sesuatu kepada orang yang bekerja di gedung yang lokasinya diapit jalan Wastu Kancana dan jalan Merdeka, misalnya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), itulah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, apapun alasannya, dan itu adalah aib, togmolnya (blak-blakannya) ngerakeun urang Bandung dan mengecewakan orang-orang yang telah memilihnya. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, pucuk pimpinan eksekutif dari gedung pemerintahan tersebut ditangkap KPK dan menjadi tersangka. Nampaknya nilai-nilai dari Wastu Kancana dan makna Merdeka sudah diabaikan atau dilupakan atau terlupakan.
Satu lagi yang membuat ngerakeun urang Bandung dengan ditangkapnya seorang Kepala Satuan Kerja Khusus  minyak dan gas bumi oleh KPK di Jakarta, sialnya beliau adalah dosen teladan dari salah satu perguruan tinggi yang terkenal di kota Bandung, sehingga menimbulkan guyon itu kelakuan yang teladan apalagi yang bukan teladan. Entah apa maksudnya dari guyonan tersebut.
Untuk menghilangkan kekecewaan atas keadaan itu, cukup mendendangkan lagu yang berjudul Teungteuingeun, ….teungteuingeun kunaon pamingpin abdi….sambil mengelus dada. Mohon maaf bila syair lagu tersebut salah.***

(Dimuat koran Tribun Jabar Rubrik Podium, Sabtu 24 Agustus 2013)