31 July 2010

KABUYUTAN CIBURUY, KINI DAN MASA DEPAN


Oleh : Mamat Sasmita

Kata kabuyutan sudah lama dikenal, terutama dari buku buku yang membahas tentang kekayaan literasi bahasa Sunda kuno. Merujuk kepada beberapa kamus bahasa Sunda, arti kabuyutan (kata dasar buyut) adalah 1. pantrang atau pamali, 2. dalam silsilah keluarga berupa keturunan ke empat (ayahnya kakek atau anaknya cucu). Sedangkan kata kabuyutan, masih menurut kamus bahasa Sunda, sebagai sebutan kepada sesuatu yang mempunyai nilai sakral. Hal ini selaras dengan apa yang ditulis didalam naskah kuna Sunda Amanat Dari Galunggung yang menyatakan bahwa apabila seorang raja yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan derajatnya lebih jelek daripada kulit lasun (musang) di tempat sampah. Begitu juga dalam naskah Carita Parahyangan tersirat bahwa kata kabuyutan adalah tempat yang dianggap mempunyai tuah.

Mengapa para leleuhur Sunda demikian mengagungkan kabuyutan? Tampaknya para leluhur tersebut sadar betul bahwa kabuyutan adalah tempat untuk mentransmisikan ilmu pengetahuan. Karena pada kabuyutan inilah kegiatan membaca dan menulis berlangsung, tempatnya para cendekiawan pada jamannya mencurahkan kemampuan dan pengetahuannya untuk membuat sebuah karya tulis. Salah satu kabuyutan yang terkenal adalah Kabuyutan Ciburuy. Lokasi Kabuyutan Ciburuy berada di lembah gunung Cikuray, tepatnya di kampung Ciburuy Desa Pamalayan Kecamatan Cigedug (dekat Bayongbong) Garut.

Di Kabuyutan Ciburuy, sampai sekarang terdapat beberapa naskah kuna Sunda dan peninggalan lainnya berupa peso pangot, genta dan beberapa jenis senjata seperti keris, tumbak, kujang, golok dan lain-lain Yang menjadi titik perhatian terutama para filolog atau para peminat lainnya, adalah keberadaan naskah kuno, karya tulis masa lalu pada daun lontar atau gebang. Para ahli sepakat bahwa kabuyutan Ciburuy adalah skriptorium, tempat menyalin atau menulis naskah (manuskrip). Skriptorium juga bisa disebut tempat memproduksi karya tulis (buku, manuskrip) sebelum mengenal mesin cetak.

Di Kabuyutan Ciburuy sekarang, aura kekunoan masih sangat terasa, disamping terasa caneom dibawah kerindangan pohon, . Disitu terdapat beberapa bangunan yaitu Padaleman (tempat menyimpan peti naskah kuno), Patamon (tempat menerima tamu), saung lisung, leuit dan sebuah bangunan kecil di belakang Padaleman.

Setiap orang yang mengunjungi Kabuyutan Ciburuy, harus seizin kuncen, orang yang dipercayai untuk mengurus kabuyutan tersebut. Apabila melihat-lihat buku tamu yang disediakan oleh kuncen, disana terdapat beberapa pengunjung, ada peneliti, mahasiswa, pelajar dan umum. Tujuannya tentu ingin mengatahui kekayaan kabuyutan berupa naskah kuno, tetapi ada juga yang menulis keperluan khusus. Maksud dari keperluan khusus tersebut adalah yang ingin mendapat jodoh atau yang akan meuseuh diri (seperti bertapa ingin mendapatkan ilham) dengan memanpaatkan kekunoan (kekeramatan) tempat tersebut.
Bagi pengunjung yang ingin mengetahui kandungan isi naskah kuno, mungkin akan mendapat penjelasan yang kurang memadai karena kuncen bukan seorang filolog. Jabatan kuncen diberikan secara turun temurun dan harus mempunyai bakat (kudu kataekan elmuna).

Kabuyutan Ciburuy sebagai salah satu ikon kekunoan yang sedikit di Tatar Sunda dan mempunyai ciri khusus dibanding tempat lain. Sudah saatnya dipikirkan agar tempat tersebut lebih memancarkan aura kesadaran literasi Sunda demi masa depan. Jangan sampai semakin terkenal karena dianggap keramat untuk meminta jodoh dan tempat bertapa mencari ilham.

Langkah kesana elok ditempuh, dipelopori oleh pemerintah daerah Kabupaten Garut. Pertama, kesan caneom dan kumuh ada baiknya dirubah menjadi kesan asri. Seperti layaknya sebuah taman yang bersih dan terawat. Bisa diyakini membersihkan dan merawat bukan hal yang tabu bagi sebuah kabuyutan. Bujangga Manik juga selama perjalanan asketisnya pada awal abad 16 ke daerah Jawa sampai ke Bali, apabila sampai ke kabuyutan atau kawikuan selalu menyapu, membersihkan area tersebut.

Kedua, dibuat sebuah bangunan perpustakaan, sebaiknya diluar pagar batas kabuyutan, supaya tidak mengganggu nilai kekunoan atau supaya tidak mengganggu nilai kekeramatannya. Isi perpustakaan berupa replika naskah kuno yang ada di padaleman, berupa foto, baik softcopy maupun hasil cetakannya. Di perpustakaan tersebut juga diisi buku hasil alih aksara dari aksara Sunda kuno ke aksara latin berikut terjemahannya yang pernah diteliti oleh para ahli. Penjelasan secukupnya tentang Kabuyutan Ciburuy dalam bentuk cetakan. Disamping itu, perpustakaan juga diisi buku bacaan umum, terutama bacaan untuk anak-anak, seperti layaknya perpustakaan umum.
Pengelolanya bisa dari lingkungan setempat bekerjasama dengan kuncen dibawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut.

Keuntungan bagi pengunjung kabuyutan Ciburuy dengan adanya perpustakaan yang memuat segala sesuatu tentang kabuyutan akan memberikan nilai pencerahan budaya. Bukan hanya disuguhi cerita yang menduga-duga. Bagitu juga pamor kabuyutan akan meningkat sebagai tempat wisata pengetahuan kearifan lokal, sebagai tempat yang mentrasmisikan pengetahuan kepada khalayak. Sehingga tradisi kesadaran literasi Sunda dijembatani ke masa kini. Wisata pengetahuan sangat penting diperkenalkan kepada anak-anak, jangan hanya dibawa wisata kuliner atau wisata belanja baju apalagi wisata mistis.

Kabuyutan bila dipersamakan dengan lembaga saat sekarang tiada bedanya dengan sekolah atau perguruan tinggi. Di setiap sekolah atau perguruan tinggi, buku selalu menjadi acuan, menjadi referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekolah atau perguruan tinggi tanpa perpustakaan tiada bedanya dengan tubuh tanpa tulang. Begitu juga seorang pemimpin, siapapun itu, apabila tidak memperhatikan lembaga pendidikan dan perpustakaan, apalagi dananya sampai tega dikorupsi, dia lebih busuk dari kulit musang di tempat sampah.

Seandainya pemerintah Kabupaten Garut atau pemerintah Provinsi Jawa Barat mau, tidak salah apabila Kabuyutan Ciburuy dijadikan ikon kesadaran literasi (baca dan tulis) urang Sunda. Pemerintahan dan pemimpinnya boleh ganti, gedung-gedung boleh roboh, asal kabuyutan atau perpustakaan tetap utuh.


Mamat Sasmita Pengelola Rumah Baca Buku Sunda. (Dimuat di koran Tribun Jabar Sabtu 31 Juli 2010, rubrik Podium)