27 November 2008

RAGAM HIAS PADA BEDOG

Oleh : MAMAT SASMITA

Pada tahun enampuluhan atau pada tahun tujuhpuluhan penulis sering melihat ada upacara nujuh bulan, yaitu upacara kehamilan pada saat berusia tujuh bulan. Salah satu ritual seting (kelengkapan ritual) berupa kelapa muda berwarna gading biasa disebut cengkir gading yang telah diberi gambar wayang Arjuna dan Sumbadra. Ketika cengkir tersebut telah diberi gambar Arjuna dan Sumbadra maka cengkir tersebut disimpan ditempat yang telah disediakan, tidak boleh dilangkahi karena dianggap cengkir itu telah mempunyai tuah. Padahal cengkir itu sebelum digambari sama dengan cengkir lainnya yang tidak mempunyai tuah apapun. Disitulah hiasan atau gambar sebagai penanda yang memberikan transformasi makna akan sebuah benda, dalam hal ini cengkir sebagai petanda. Hal ini terjadi karena benda keseharian bisa diseret memasuki ranah ritual yang transendental. Makna gambar wayang Arjuna dan Sumbadra, diharapkan bayi yang dikandung mempunyai sifat ksatria seperti Arjuna apabila itu adalah laki-laki, dan apabila perempuan diharapkan akan memiliki sifat-sifat baik seperti Sumbadra (saat itu belum ada USG yang bisa mengetahui bayi laki-laki atau perempuan dalam kandungan). Dengan cara pandang yang sama apakah ada makna lain didalam ragam hias pada bedog, memang tidak setiap ragam hias mempunyai makna simbolik, ada juga melulu sebagai hiasan.
Kata bedog sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai golok, padahal kata golok sendiri itu adalah bahasa Sunda sebagai buktinya kata golok itu ada pada naskah kuno Sunda Sanghyang Siksakandang Karesian (1518). Disebutkan golok adalah senjatanya para raja. Apabila mengacu kepada Kamus Basa Sunda Danadibrata (2006) arti bedog adalah pakarang paranti kudak-kadek yaitu senjata tajam untuk memotong, memetak termasuk untuk membacok. Sedangkan arti golok masih pada kamus yang sama diartikan sebagai bedog pondok atau bedog yang pendek. Bedog yang lengkap harus memakai gagang atau disebut perah dan supaya aman dibawa harus memakai tempat biasanya disebut sarangka. Ragam hias pada bilah bedog hampir tidak ada, kecuali berbentuk rajah atau pamor, tetapi ragam hias pada perah dan sarangka cukup banyak dan variatif. Jadi istilah ragam hias pada bedog lebih kepada ragam hias pada perah dan sarangka bedog. Bahan untuk membuat perah dan sarangka bedog adalah kayu dan tanduk, biasanya tanduk kerbau atau tanduk domba.
Untuk mendapatkan sebauh bedog yang lengkap dengan perah dan sarangkanya, biasanya memaluli beberapa tahapan produksi. Yang paling utama adalah panday (orang yang mempunyai keahlian mengolah besi) dan maranggi (orang yang mempunyai keahlian mengukir pada media kayu atau media lain). Ada istilah lain yang berkaitan dengan pembuatan bedog. Seperti gosali adalah tempat untuk bekerjanya panday, lambusan adalah alat untuk meniup bara api pada gosali menyerupai kantong udara terbuat dari kulit kambing, ububan adalah alat memompakan udara terbuat dari batang pohon pinang yang telah dilubangi. Piruruhan adalah dapur tempat bara api untuk membakar besi. Paron adalah landasan besi yang cukup besar dan berat, gunanya untuk tempat memukul membentuk besi yang telah dibakar pada piruruhan. Antara panday dan maranggi merupakan profesi yang berbeda, apabila bilah bedog telah selesai dikerjakan oleh panday maka akan dibawa ke maranggi untuk diberi perah dan sarangka, nah bentuk perah dan sarangka berikut hiasannya itu semua dikerjakan oleh maranggi.
Sentra produksi bedog di Jawa Barat cukup banyak, hampir di setiap tempat ada, beberapa diantaranya yaitu di Galonggong Manonjaya Tasikmalaya, Pasir Jambu di Ciwidey Bandung, Cibatu Cisaat Tasikmalaya dan Tanjungsiang di Subang yang terkenal dengan bedog barlen. Sedangkan di Banten yang terkenal produk bedognya adalah daerah Ciomas.
Keindahan sebuah bedog ditentukan oleh pengerjaan mulai dari bilah bedognya, perah sampai sarangka. Secara garis besar ada tiga kelas bedog, yaitu obregan, alus dan istimewa. Obregan biasa juga disebut kodian, kelas ini sangat kurang dalam hal pekerjaan detil, tidak halus dan ada kesan asal jadi, lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas. Kelas yang disebut alus biasanya lebih halus dalam detil dan mementingkan kualitas dibanding kuantitas sedangkan kelas istimewa adalah yang dikerjakan berdasarkan pesanan, tentunya dikerjakan sangat hati-hati dan halus baik bilah maupun perah, sarangka dan ornamennya.

Motif atau Pola Ragam Hias.

Ditemukan pola ragam hias yang disebut beubeut nyere. Pola ini ditemukan hampir pada setiap perah bedog dari setiap daerah sentra produksi bedog. Pola beubeut nyere di daerah Ciwidey disebut dengan sogokan. Pada dasarnya pola beubeut nyere ini didapatkan dari motif lengkung dan lurus yang dibuat berulang-ulang, sehingga membentuk pola yang tetap. Alasan pemberian nama pola ini menjadi beubeut nyere tidak ditemukan secara pasti. Hanya ada keterangan yang menyebutkan awalnya melihat bekas lidi yang terjatuh pada tanah lembek sehingga meninggalkan bekas seperti bekas tusukan-tusukan ujung pisau, hal inipun dicontohkan ketika membuat lantai tembok supaya permukaan tidak licin sering dipukul-pukul oleh sapu lidi. Tetapi ada keterangan lain yang mengatakan sebetulnya bukan beubeut nyere tetapi bebed nyere artinya ikatan lidi. Pola ragam hias ini di Ciwidey tidak disebut beubeut nyere tetapi disebut sogokan, karena pada saat membuatnya ditusuk-tusuk (bahasa Sunda disogok) oleh ujung pisau raut. Yang menarik istilah sogokan juga terbapat pada bilah keris, sebagai lambang kesuburan dimana tanda bertemunya baga purusa (kelamin perempuan dan laki-laki). Ada juga yang mengartikan sogokan sebagai purusa jalma, sebagi simbol lubang masuk ke tubuh manusia yang berjumlah sembilan yaitu dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, mulut, kelamin dan anus.
Sisi lain yang menarik adalah makna nyere atau lidi itu sendiri. Nyere sebagai tulang daun kelapa yang banyak gunanya didalam kehidupan, apabila sekian banyak lidi diikat akan menjadi sapu lidi, apabila sebuah lidi dipotong-potong serong kecil menjadi seumat atau kalau lebih panjang akan menjadi tusuk sate. Yang menariknya kenapa sebuah senjata tajam seperti bedog ada keterkaitan dengan lidi, seperti nampak pada penamaan bilah bedog ada yang disebut paut nyere, begitu juga dengan nama ragam hiasnya, beubeut nyere atau bebed nyere. Ada lagi nama bilah bedog yaitu paut sintung, sintung yaitu semacam kelopak atau pembungkus suligar, bunga kelapa. Nampaknya ini ada hubungan dengan anggapan bahwa pohon kelapa sebagai pohon hayat atau pohon hidup, karena hampir semua bagian dari pohon kelapa ada gunanya didalam kehidupan. Apabila dilihat agak jeli pola beubeut nyere atau bebed nyere yang melingkar sepanjang lingkaran perah atau sarangka akan nampak seperti menggambarkan ikatan sekian banyak lidi, tiada bedanya ikatan sapu lidi. Sehingga ada kesan apabila mencabut bilah bedog dari sarangkanya, seolah tiada bedanya dengan mencabut sebatang lidi dari ikatan sapu lidi. Yang memberi tandanya adalah penamaan bilah bedog yaitu paut nyere. Kata paut dalam bahasa Sunda adalah kata kerja yang artinya mencabut lidi dari ikatannya. Sepertinya disitu ada pesan yang ingin disampaikan kepada pemakai bedog bahwa mencabut bedog adalah kurang baik apabila tidak ada maksud yang pasti, karena itu akan mengurangi nilai ikatan kekerabatan. Apabila demikian maksudnya tentunya istilah pola ragam hias bernama beubeut nyere kurang tepat, lebih tepat bebed nyere, karena kata beubeut artinya jatuh dengan keras. Mungkin ini adalah perubahan bunyi akibat kesalahan pendengaran yang seharusnya bebed nyere menjadi beubeut nyere.

Selanjutnya pola ragam hias cacag buah, sebetulnya ini adalah bentuk motif belah ketupat yang disambung-sambung. Pola ini untuk sementara hanya dijumpai di daerah Ciwidey. Penempatan pola ini pada perah dan sarangka, ada juga secara mandiri pada simeut meuting. Kata buah untuk orang Sunda berarti (buah) mangga, yang terasa unik mengapa bentuk belah ketupat yang disambung-sambung tersebut disebut cacag buah. Biasanya kata cacag lebih dilekatkan dengan kata nangka seperti babasan atau peribahasa pendek yang berbunyi cacag nangkaeun yang berarti memotong motong sesuatu tanpa beraturan dan sekenanya. Mungkin pemberian nama cacag buah ini lebih condong kepada peniruan bentuk menyajikan buah mangga yang telah dikupas dan dipotong-potong untuk dimakan. Beberapa sumber yang ditanya tidak bisa memberikan makna simbolik dari bentuk hiasan ini, ini murni hanya hiasan tidak ada makna simbolik lainnya.

Bentuk lain adalah motif melingkar (meander) atau secara tradisional suka disebut cacing meulit atau apabila digambar lebih tebal akan nampak seperti daun pakis yang masih muda, yang ujungnya masih melingkar. Apabila dirangkai akan nampak seperti suluran atau suka disebut kangkungan (seperti tumbuhan kangkung). Didalam kepercayaan lama, suluran atau kangkungan ini melambangkan tumbuhan diatas air yang berarti kesucian tiada bedanya dengan teratai atau lotus. Disamping motif melingkar ada lagi motif lengkung yang dirangkai menjadi seperti gelombang atau secara tradisional disebut ombak, hanya sayang tidak ditemukan sumber yang bisa memberikan makna simboliknya. Penempatan motif ini pada perah dan sarangka, kadang terasa dominan karena ragam hias ini hampir ada di setiap perah maupun sarangka.
Sedangkan khusus pada bedog barlen, hiasan pada perah dan sarangka lebih dominan berupa tambahan material lain terutama logam dari aluminium yang dibuat sedemikian rupa. Seperti pada sarangka hiasan tersebut merupakan belitan logam yang berfungsi selain hiasan juga sebagai simpay atau pengikat dan hiasan lain berbetuk titik serupa paku yang disusun teratur. Walaupun demikian pada perah bedog barlen hiasan beubeut nyere atau sogokan masih nampak.

Bentuk Perah

Bermacam-macam bentuk perah bedog, bentuk ini tentunya mempunyai nilai estetik disamping diperkaya dengan hiasan ukiran lainnya, dan merupakan ornamen tersendiri bagi bedog. Penamaan bentuk inipun ada yang terasa eksotis, seperti ranggeum endog, soang ngejat, lutung moyan, jengkol sagendul. Ada juga yang mengundang tanya seperti nama potongan kai dan cinghol, ternyata potongan kai meniru bentuk potongan dahan pohon kayu sedangkan cinghol merupakan singkatan dari ucing nonghol.
Bentuk lain ada yang meniru burung, harimau, singa, monyet, naga, buaya dan lain-lain. Yang agak lain dan hanya ditemukan di Ciwidey adalah bentuk mear, makara dan priaman. Mear menurut Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda (2001) adalah semacam binatang melata apabila ditempat gelap seperti bersinar karena mengandung fosfor. Makara menurut kamus Bausastra Jawa-Indonesia (1981) artinya udang, ada juga yang menyebutkan makara adalah binatang mitologi yang hidup di dalam air dengan bentuk berbelalai seperti gajah. Priaman inilah nama yang tidak ketahui secara pasti apa artinya, walaupun ada juga sumber yang mengatakan bahwa itu singkatan dari Priangan yang aman. Bentuk mear, makara dan priaman terutama makara dan priaman yang kaya akan ukiran, ini mengingatkan akan bentuk peninggalan buhun, peninggalan masa lalu.
Menurut Haji Aas As’ari, pengrajin bedog dari Cibatu Cisaat Sukabumi, pada dasarnya perah bedog berbentuk jengkol sagendul atau bentuk golong tambang, ini mempunyai arti bahwa hidup itu harus menunduk tiada bedanya dengan ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. Sedangkan bentuk yang lain hanya variasi yang kadang-kadang lebih menonjolkan nilai estetisnya. Tentunya nilai estetis itu tidak sampai mengurangi fungsi praktis sebagai pengait pada jari kelingking supaya tidak terlepas saat dipegang karena licin ketika tangan berkeringat.

Sarangka dan Simeut Meuting.

Bentuk sarangka pada dasarnya mengikuti bentuk bilah bedog, karena fungsinya adalah sebagai wadah supaya bedog terasa aman ketika dibawa, dan supaya tidak mengesankan ngabar-ngabar bedog, membawa bedog dengan sembarangan. Pola ragam hias sarangka bedog hampir sama dengan pola ragam hias pada perah bedog. Karena sarangka lebih lebar dibanding perah dan lebih datar, sepertinya maranggi lebih bebas berekspresi, sehingga hasilnya nampak lebih tegas. Tetapi dalam bentuk lebih variatif bentuk perah dibanding sarangka, karena bentuk sarangka harus mengikuti bentuk bilah bedog. Sarangka dibentuk oleh tiga bagian yang paling atas disebut gado atau sambung, bagian tengah disebut awak dan bagian bawah disebut tutup atau sopal. Pada bagian awak sebelah atas mendekati gado di salah satu sisinya, ada yang disebut simeut meuting. Simeut meuting ini sepertinya bagian yang terpisah dari sarangka, karena mempunyai bentuk tersendiri, walaupun harus selalu ditempatkan pada sarangka. Fungsinya adalah untuk penguat tempat tali pengikat ke pinggang pemakai bedog. Bentuk simeut meuting ini sangat banyak ragamnya terutama yang dibuat di daerah Ciwidey seperti cacag buah, godobos, hulu bogo, huntu kala, simeut bentelu dan lain-lain. Yang menarik dari daerah Galonggong Tasikmalaya yaitu bentuk simeut meuting berbentuk cecak dan kujang. Ketika ditanyakan kepada Pak Yoyo, pengrajin bedog di Galonggong, katanya bentuk itu sudah ada sejak dulu. Dalam kepercayaan lama cecak dilambangkan sebagai kewaspadaan, biasanya dikombinasikan dengan bentuk tumbuhan atau lukisan cecak digambarkan menempel pada pohon. Mungkin cecak sebagai simeut meuting yang menempel pada sarangka sebagai pohon.. Sedangkan kujang adalah senjata tradisonal orang Sunda.

Benda Budaya.

Bedog merupakan benda budaya warisan karuhun yang patut dihargai, hasil dari perenungan ide yang mengalir menjadi sebuah bentuk bernilai seni, filosofi dan teknologi, disitu ada unsur simbolis yang bisa dikuak, disamping sebagai benda pajangan. Dan itupun bisa menjadi bahan penelitian, menjadi objek keilmuan dan kebudayaan. Mungkin disana bisa dilacak tapak karuhun dalam mengarungi kearifan lokal, bukankah seperti dikatakan oleh Jakob Sumardjo (Khazanah Pantun Sunda, 2006) bahwa alam pikiran yang mengendap menjadi pengetahuan nilai-nilai sekarang bukan hanya terdiri dari perolehan pengetahuan nilai sekarang, melainkan juga dari masa lampau masyarakatnya. Nilai-nilai arkeologis ini ia peroleh melalui tradisi masyarakatnya. Bobot pangayon timbang taraju, mangga nyanggakeun.


Mamat Sasmita
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
(Dimuat didalam Majalah Bapeda Jawa Barat Volume 13 No.3 Juli-September 2008)

Carpon : KANG SABRI LEUNGITEUN KALANGKANG



Ku : MAMAT SASMITA

Poe Saptu isuk isuk Kang Sabri geus saged, ti mimiti meresihan motor, meresihan jeket, jeung bebekelan, enya mawa timbel.
Poe ieu poe Saptu, biasana sok marema, da pagawe pabrik sok loba nu baralik ka lemburna.
“Akang kahade anteurkeun heula si Sujang ka sakola…”
“Heug….geus mandi encan si Sujangna..?”
“Enggeus,….keur dibaju heula…!”
Satengah tujuh, Kang Sabri geus ngadius, bari ngabonceng anakna, rek dianteur heula ka sakola.
“Balikna mah leumpang we Sujang, tong hayang dijemput sagala, pan ieu teh pos Saptu sok marema ojeg teh.”
Si Sujang unggeuk.

Enyaan we marema ojeg teh, nepi ka jam 10 teh Kang Sabri geus narik opat balikan, malah aya nu rada onjoy sagala da menta di tarik ka Sawah Gede, teu wudu mayarna rada gede.
Kira kira keur poe manceran, aya budak awewe nu menta dianteurkeun, teu loba tatanya deui Kang Sabri langsung nyanggupan, motor dihirupan, budak awewe diuk di tukang, geuleuyeung motor indit.
Palebah jalan anu lenglang, budak awewe ngagerewek, hayang eureun.
“Eureun Kang,…kuring mah rek turun didieu we,….”
Puguh we Kang Sabri kaget, motor dierem disakalikeun, motor meh mehan ngagaleong.
“Kunaon Nyai….kapan jauh keneh….”
“Embung ….kuring mah kajeun leumpang we….”
“Naha Nyai…?”
Si Nyai bibirigidigan, bari nunjuk kana motor.
“Eta…motor…jeung awak akang euweuh kalangkangan…”
Astagfirullah……Kang Sabri sababaraha kali istigfar, bari jeung rurat reret kana motor jeung awakna, enya geuning dirina teh euweuh kalangkangan, padahal harita panas poe ereng erengan.
Sajongjongan Kang Sabri ukur ngahuleng, bareuheudeun, teu ucap salemek lemek acan.
Si Nyai anu tadi di bonceng geus leumpang miheulaan, malah siga nu lumpat duka teuing sieuneun duka teuing kumaha pikiranana.
Awak Kang Sabri asa leuleus lir di pupul bayu, teu kuat nangtung, manehna ngalungsar sisi jalan, atuh motor tetep ngabagug, pikiran baluweng naha bet kieu.
Geus rada leler tina kareuwasna, jung nangtung, bari tetep alak ilik kana dirina, teu poho nyabakan motor, enya euweuh kalangkangan.
Lahlahan motor dihirupkeun deui, hirup saperti biasa, euweuh kakuranganana, terus ditumpakan, ngadius balik deui, bari nyemprung tumpak motor pikiran uleng naha, kunaon ieu teh….., leong motor dipengkolkeun ka sakola si Sujang, sugan geus bubar sakolana, sakalian rek dijemput.
Enya barang nepi ka buruan sakola si Sujang keur leumpang, bari cacamuilan ngadahar cilok,…” Sujang…buru buru naek, urang balik…”
Si Sujang atoheun nu aya, atuh buru buru ngajleng kana pangboncengan, motor ngadius balik ka imah, sajajalan Kang Sabri teu weleh rurat reret ka jalan ningalian kalangkang, heueuh nu kaciri teh ngan kalangkang awak si Sujang siga nu ngadaplok teu puguh , dina hatena Kang Sabri sababaraha kali istigfar, paingan si Nyai nu tadi dianteurkeun ngajleng embung dibonceng, da enya ningali kitu mah bet asa ningnang.

Sanepina ka imah, kang Sabri neundeun motor dinu iuh, dipipir imah, atuh manehna langsung asup ka enggon, ngabebengkang awak nangkarak bari panon ngaherang. Ti pipir imah kadenge pamajikanana ngagorowok…” Naha Sujang wayah kieu geus balik..?”,
“Har …kapan tereh da di jemput ku bapa…!”
“Kutan, maneh di jemput ku bapa, na bapa na kamana ayeuna..?”
“Aya di jero…”

Ningali Kang Sabri nu ngabebengkang kitu, puguh we pamajikanana reuwaseun.
“Kunaon kang…gering..?”
“Hemh..” ukur kitu kang Sabri ngawarona.
Teu lila ti harita Kang Sabri nguniang hudang “ Nyi..Akang deuk ka Pa Mantri heula…”
“Deuk ka Pa Mantri wayah kieu….wayah kieu mah di Puskesmas keneh atuh…., ku naon kang gering..?”, bari ngomong kitu teh leungeuna ngaragamang kana tarang kang Sabri, nyampa bisi panas.
“Ah henteu,…ngan ieu awak asa lalungse..!” bari dug ngedeng deui.
“ Ngopi atuh…!”
“ Heueuh pang nyieunkeun atuh….”
Pamajikanana ngaleos kadapur…” make gula kawung atawa gula bodas kang…?”
“Gula bodas we….ambih nyerep amisna..!”

Bari ngararasakeun ngeunahna cikopi, Kang Sabri uleng mikiran naha bet aing teu boga kalangkang, da rarasaanana mah euweuh nu karasa, boh rieut, boh pegel linu atawa naon we nu kasebutna gering, awak jagjag waringkas atuh pipikiran teu teu owah, ieu ge yeuh cai kopi rasana sarua jeung cai kopi nu karasa kamari, atuh sora budak, sora si Sujang sarua siga kamari teu beda dedengean, hiliwirna angin tina jandela karasana sarua matak seger kana awak, atuh tetenjoan kitu keneh.
Beak cikopi sagelas karasa awak leuwih seger, Kang Sabri cengkat, alak ilik kana beker, leuh lohor meh ahir, gura giru ka cai, teu ka pancuran siga biasana, wudu ukur dupipir caina tina kele, karasa tiis nyecep.
Sholat kalawan husu, ati gembleng pasrah ka Mantena, teu daya teu upaya anging Allah nu kawasa, nyanggakeun kana kersaNa.

“Kang geura dahar atuh….bisi geringna katutuluyan….” ceuk pamajikanana ti dapur.
Di dapur dahareun geus nyampak, indungna si Sujang kaprak keprek keur ngakeul sangu, dina piring kaciri aya pais lele kaambeu melenghir seungit surawungna, dahar teu pati mirasa, biasana mah ari aya pais lele teh meh mehan parebut jeung si Sujang, da pangabeuki nurun ka bapa, sarua segutna kana pais lele teh.
“Geuning ancin kang…?”
Kang Sabri teu ngajawab, sanggeus kokocok leungeun anggur melenyun udud.
“Tuh timbel nu tadi ge aya keneh dina motor, can kacabak…”
Ceuk gerentes hatena …naha aing mending ngomong ka indungna si Sujang kitu, naha rek percayaeun manehna, ma enya ku aing kudu dituyun ka hareupeun imah ngadon papanasan, naha moal matak ear….beu…….
Beak roko sabatang manehna ngagoledag deui.
“Ari si Sujang kamana…?”
“Cikeneh mah aya…!”
“Cik geroan sina kadieu pang meulikeun roko kituh…”
“Sujang…kadieu, ieu bapa pang meulikeun roko…”
Sabenerna mah lain hayang hayang teuing dipangmeulikeun roko, nu puguh mah hayang nyaho naha si Sujang nyahoeun atawa henteu yen awak jeung motor manehna euweuh kalangkangan.
“Roko naon bapa jeung kaman meulina..?”
“Roko keretek, ka warung Ua maneh..”
“Sujang…ari maneh geus bisa kana motor…?”
Ditanya kitu teh si Sujang ukur ngaheheh.
“Eta tuda tadi waktu di bonceng mani sakitu tipepereketna, ke geus gede maneh kudu bisa, sahenteuna bisa nalangan bapa, bisi bapa gering, ari tadi basa dibonceng teh genah…?”
“ Nya genah atuh Pa….ngararasakeun angin kana ceuli..ngahiuk,….”
“Eta sugan teu rarat reret kana taneuh, titincakeun ban…”
“Henteu..peureum we da…”
“Heueuh atuh…ngan lamun geus gede heug mawa motor, kahade kudu ningali jalan titincakan, jeung ulah peureum…bisi ngagaleong.”
Alhamdulillah, si Sujang teu nyahoeun, gerentes hatena.

Sholat asar jeung sholat magrib teh husu pisan, make jeung ngaberebey cimata sagala, atuh ngadoa ge mani lila, anu biasana mah cong cong leos tea, harita mah kabeh sagala doa nu apal digerenteskeun.

Bada magrib leos indit ka imahna Pa Mantri, niat teh hayang dipariksa we bisi aya nu aneh dina awak, sugan ari ku mantri kasehatan mah kapanggih sabab sababna, rek balaka we, tibatan jadi bangbaluh, da geus puguh ari ukur dipikiran ku sorangan mah euweuh hasilna.
Jrut turun ti imah teh make ngucap bismilah heula nu kacida tartibna, atuh sapanajang jalan anu geus mimiti poek babacaan sabisa bisa.

Kabeneran Pa Mantri keur aya, malah kacirina mah kakara jol, da siga can ucul ucul, masih keneh make pakean saragem.
“Aya naon Jang Sabri,…asa sisinarieun ieu teh…” kitu teh bari sur sor silih asongkeun leungeun sasalaman, dina korsi sareretan Kang Sobri ningali kalangkang leungeun sorangan, ngan can pati bleg kalangkang aya riak riak siga kalangkang kaca, ter hatena ngageter, degdegan.
“Nu mawi ieu teh hoyong diparios, ieu awak asa lalungse, sareng…ieu dada asa gegeberan…”
Pa Mantri mariksa kalawan taliti.
“Ah teu nanaon geuning,…..ari mawa ojeg teh kudu make jeket anu kandel, komo mun jalan peuting mah, bisi asup angin, jeung bisi dada karancang…naon geuning disebutna teh paru paru basah….”
Kang Sabri unggut unggutan, dijero hatena mulek, naha kudu balaka, atawa entong,…ah teu, teu kudu balaka, kapan bieu ge geus kaciri kalangkang aing teh geus aya sok sanajan kakara kelemengna, siga kalangkang kaca.
“Tah bawa we obat ieu..” ceuk Pa Mantri bari mere sababaraha siki pel.
“Obat naon Bapa ieu teh,..?”
“Vitamin eta mah, ambih awak jagjag…!”
Sanggeus babayar Kang Sabri amitan, teu poho uluk salam bari sasalaman, panona ngareret kana kalangkang, enya aya ngan tetep siga kalangkang kaca.
Sigana Pa Mantri teu nelek nelek kalangkang, da teu openan, anggur kalahka kaprak keprek mereskeun tas wadah obat.

Palebah pengkolan jalan muru balik ka imah, kadenge adzan isya, Kang Sabri teu terus mulang tapi mengkol ka masjid, dina hatena bari sakalian rek manggihan Mama Jarkasih, geus lila tara munjungan.
Datang ka masjid pas keur komat, ngahaja asup teh dina sap kadua, salila sholat, ati manteng ka Mantena, surat Alfatihah nu dibaca ku Mama Jarkasih, karasa nyerep, dina sujud ka dua dina rakaat ahir, rada lila manteng ngadu’a.

Sanggeus nu sejen nungtutan baralik ka imahna sewang sewangan, Kang Sabri ngadeukeutan Mama Jarkasih, bari nyolongkrong ngasongkeun leungeun ngajak sasalaman, kang Sabri ngareret kalangkang leungeunna geus sabihari deui, bakating ku atoh langsung nubruk ka Mama Jarkasih, ngeukeuweuk pananganana, bari jeung reumbay cimata, ceurik ngagukguk. Puguh we Mama Jarkasih siga nu reuwaseun ningali kalakuan Kang Sabri kitu teh
“ Ke ke…kunaon Jang Sabri teh…Mama mah asa rareuwas ieu teh..!?”
Kang Sabri teu balaka, naon nu sabenerna nu jadi bangbaluh hate, harita nu kedal rumasa lur jeun ka kasepuhan, geus puguh ari ka kolot sorangan mah da geus teu aya dikieuna duanana.

Sare teh peuting ieu mah teu tibra, Kang Sabri guling gasahan, lamun seug kabeh salembur nyarahoeun, yen kalangkangna euweuh, beu pimanaeun earna, pimanaeun matak helokna, sok sanajan sabenerna ngarasa teu kaganggu, da awak mah cageur, beleger, atuh pipikiran asana teh sarua teu kaganggu.
Isuk isuk, satutas solat subuh, Kang Sabri ngahaja neger negerkeun awak ngadon kikiplik siga nu olah raga ngabatek awak, nu puguh mah ngadagoan panon poe, hayang geura jentre ningali kalangkang. Panon poe meletek ti beulah wetan ngempur cahayana, ting buricak tina sela sela daun nu keur reumisan keneh, Kang Sabri muru kanu lega bari tetep ulak ilik ningalian kalangkang….”Alhamdulillah…aya geuning kalangkang teh jeung jentre ayeuna mah…”
Ti lebak kadenge motor ngadudud, sihoreng baturna sasama tukang ojeg.
“Bri…kamari teh basa kuring nganteur panumpang ka lembur peuntas, di ditu aya budak awewe keur hariweusweus majarkeun aya tukang ojeg euweuh kalangkangan, waktu ditanya saha sahana, eta budak teh ngan teu nyahoeun ngaranna ngan lamun disaruakeun jeung dedeg pangadegna mah sigana didinya…”
Kang Sabri nempas…” Lah…lahuta teuing moal enya aya jalma euweuh kalangkangan sagala,…tuh tingali apan sakitu jentrena, panjang deuih, engke lamun tengah poe keur ereng erengan kalangkang kuring jadi mondokan…” kitu teh bari nunjuk kana kalangkangna sorangan.


KUSNet Surabaya 6 Juni 2002
(Dimuat dina Majalah Basa Sunda Mangle No. 2196 Nopember 2008)

21 November 2008

POLITIK URANG SUNDA

Laporan : MAMAT SASMITA

Kecap politik sabenerna geus kacida deukeutna jeung masarakat Sunda. Kalan-kalan nu diparake teh pulitik, nu sok dipakaitkeun kana taktik atawa strategi. Orokaya, kecap pulitik mah mindeng dipake pikeun nuduhkeun paripolah nu sipatna ngangles. Paribasa ari pulitik teh "nipu nu leutik".
Nu ancrub kana widang politik sok disebut politikus atawa politisi. Ka beh dieunakeun kecap politikus teh siga ngahaja dileungitkeun. Eta meureun pedah kadengena deukeut ka tikus alias beurit. Nu mindeng kapireng teh ayeuna mah politisi, bangun nu ngindung ka kecap basa Inggris politician. Politisi leuwih pas disebutkeun ka nu ancrub dina widang politik praktis, nyaeta nu arasup ka partey politik. Ari nu ngarti bubuk leutikna politik mah can tangtu disebut politisi: bisa bae dosen elmu politik atawa paniten politik.
Kuma patalina kana kahirupan urang Sunda?. Cek sawareh, urang Sunda teh baheulana tukang ngahuma. Ari budaya huma mere watek nu cenah individual, dependen-independen (resiprokal), produktif tapi konsumtif, tur dina hubungan horisontal leuwih deukeut ka kulawedetna, jeung teu pati openan kana perkara lokalitasna.
Di sagigireun eta urang Sunda teh mindeng disebut handap asor, someah hade ka semah, tur teu resep debat. Padahal ari dina widang politik, hususna nu jaradi politisi, mah pan kudu vokal, kudu daek aduregeng siga nu parearea omong pikeun ngabela program partey tur ngabela ideologi partey. Babakuna mah kudu daek ngabela rahayat nu jadi konstituenna, ngabela kapentingan daerah nu jadi sarakanana.
Tah, pikeun ngaguar eta kabeh, sawala bulanan Pusat Sludi Sunda (PSS) anyar-anyar ieu ngangkat jejer "Politik Urang Sunda". Panyaturna Setia Permana nu kungsi jadi Ketua KPU Jabar jeung Cecep Burdansyah nu sapopoena jadi Wakil Pamingpin Redaksi Tribun Jabar. Sawala teh lumangsung poe Juma'ah, 17 Oktober 2008, di sekretariat PSS, Jl. Taman Kliningan II/5, Bandung.

Sora jeung Etika

Cecep teu ngeceskeun, naha enya budaya ngahuma mangaruhan politik urang Sunda. Nu sidik mah, cenah, unggal politisi nyindekel kana kapentingan, boh kapentingan parteyna boh kapentingan pribadina. Loba politisi urang Sunda nu guyub lain bae jeung dulur saseler tapi deuih jeung seler sejen satungtung kapentinganana sarua.
Ngan memang aya kesan umum tina talajak politisi Sunda salila ieu. Ieu kesan awam teh babakuna timbul upama dunya politik disawang tina rupekna layar televisi, atawa dipakaitkeun kana saha wae nu jareneng menteri. Nu remen katingali teh bet lain urang Sunda. Nu jol deui jol deui teh ti lembur sejen wae, cara nu katara tina ngaran jeung lentongna.
Cecep manghanjakalkeun kana langkana politisi urang Sunda nu makalangan dina televisi. Sasat tara kapeto manggung, najan aya anggapan yen politisi Sunda man leuwih hade teu makalangan batan kajiret dina debat kusir nu kurang-kurangna mah matak nimbulkeun antipati ti nu lalajo.
Kilang kitu, cek Cecep, dunya politik teh lain ukur nu kapidangkeun dina televisi. Atuh perkara aya henteuna urang Sunda nu diangkat jadi menteri, sacara politis eta mah hal sejen lian ti geus jadi hak prerogratif presiden.
Teu pamohalan deuih aya kasang tukang sejen, utamana nu tumali kana kaahlianana atawa kapinteranana.
Enya, kahayang mah loba politisi Sunda nu jadi menteri. Da kapan pangeusi Indonesia nu darumuk di Tatar Sunda teh panglobana kadua sanggeus urang Jawa. Nu sidik, cek Cecep, politisi Sunda teh kudu jadi jelema pinter, nyakola, tur boga kawani. Ari geus pinter mah piraku sugan teu diarambeuan ku nu sejen.
Ti antara hadirin, aya nu nyebutkeun yen urang Sunda mah dina sagala widang deukut-deukeut kana sikep individual, sasat teu pati inget ka sarakan atawa kulawedetna. Mun urang Sunda jadi pejabat atawa menteri, biasana tara ieuh "bedol desa" ngaganti staf ku nu kalandep. Estu nyekel pageuh profesionalisme. Paling copelna lir nu sieun dituding milampah nepotisme.
Naha sikep kawas kitu teh alus atawa goreng? Cek sakaol, kacida alusna sabab nu dipentingkeun kabisana, lain selerna.
Aya nu ngengklokan bari jeung ngaheueuhkeun yen politisi Sun-da mah biasana tara vokal. Komo cenah mun negosiasi jeung eksekutif (di tingkat propinsi Jawa Barat, upamana) make basa Sunda, geus we sok tara loba omong. Jajauheun kana paaduregeng. Paribasa "heurin ku letah". Ari cek Cecep, mere idealna mah teu kudu kitu. Teu kudu letah kahalangan ku basa. Kapan demokrasi tea ayeuna mah. Politisi kudu tetep kritis bari teu leupas tina etika.

Modal Politik

Setia mah beda deui sawanganana. Cenah, teu pati kacirina politisi Sunda teh balukar tina budaya dominan nu feodalistis. Sasat sadaya-daya, teu langkung nu janten pagagung.
Padahal Tatar Sunda teh beunghar kacida. Kaayaan alamna, geus puguh deui. Industrina strategis pisan. Tacan milang pusat militer, bisnis, atikan tepi ka gudangna ahli mikir. Tegesna, kaperluan nasional bisa ditedunan ku kabeungharan Tatar Sunda.
Tah, numutkeun Setia, kuduna mah ieu kanyataan teh jadi kakuatan keur ngawedelan "posisi tawar" politisi Sunda.
Hanjakal, cenah, eta sakabeh potensi teh mindeng dielehkeun ku kaperluan "poros Jakarta-Yogyakarta". Eta "poros Jakarta-Yogya" teh kalawan nyata jadi ciri budaya dominan tadi. Mun tina budaya dominan teh aya gejala feodalistis nya di dinya nyokona halangan harungan kana lumangsungna demokratisasi politik nasional.
Geus puguh dina jaman Orde Baru budaya dominan teh dipupujuhkeun pisan dina wangun politik sentralistis. Urang Sunda nu sering disebut egaliter, malah deukeut-deukeut kana sikep individualistis, mun teu bisa ngengklokanana tangtu ukur aya dina orbit nu pangsisina.
Dina kaayaan politik kawas kitu, urang Sunda antukna ukur jadi kalangkang. Tapi kiwari, dina jaman reformasi, tata politik nasional geus robah. Jargon politik Orde Baru geus diganti ku jargon politik reformasi jeung demokrasi. Tangtu, ieu kaayaan teh mawa pangaruh kana peta politik urang Sunda. Geus mangsana politisi Sunda ngarobah sikep, paling copelna ulah daek. jadi kalangkang, tapi kudu bisa jadi sumber kalangkang. Kuma carana? Cek Setia, nu kudu dipilampah teh antarana reueus kana jatidiri kasundaan. Kudu aya kasadaran sajarah yen urang Sunda teh kungsi jadi tipologi manusa unggul. Uga nu sok kabaca dina tradisi lisan Sunda kudu mere sumanget pikeun ngarobah diri, lain ngan dibaca. Aya uga atawa euweuh uga, nu penting mah komara Sunda kudu tetep hurung.
Lian ti eta, proses politik lokal, boh kuantitasna boh kualitasna, babakuna dina badan legislatif, kudu ngawakilan sikep kultural kanstituen. Munasabah mun masarakat Sunda salaku nu boga hak pilih kawakilan sagemblengna.
Politisi Sunda teh deuih kudu ngaleungitkeun, paling copelna ngurangan, intervensi atawa dominasi nu euweuh hubunganana jeung potensi tur harepan kultural urang Sunda. Memang rada hese, tapi kudu. Sabab, etnis sejen mah geus ngalengkah jauh pisan, malah geus leuwih nyosok jero.
Urang Sunda ulah daek terus-terusan dieksploitasi pikeun kapentingan nu teu napak jeung euweuh pakaitna kana ajen inajen atawa martabat kasundaan. Lain hartina kudu ngaleungitkeun kaindonesiaan. Tong sieun, da urang Sunda mah ti baheula ge teu kungsi hianat ka Indonesia. Sakur gerakan nu ngeleketek wibawa Indonesia teu ditarima ku urang Sunda.
Nu teu kurang pentingna, kudu aya lembaga nu representatif pikeun ngajaga konsistensi bari negeskeun target politik urang Sunda. Ieu lembaga teh teu kudu formal struktural. Nu penting mah diaku sacara sosio kultural ku saha bae nu kaasup unsur kasundaan.
Eta lembaga teh ulah kagadabah ku kapentingan politik atawa ideologi nu parsial tur saharita. Ieu lembaga kudu mere kontribusi kana hubungan "lintas generasi", kapentingan kultural. Babakuna mah kudu bisa jadi tempat mikirna nu orientasina ka hareup.
Ari cek ti antara hadirin, eta lembaga teh alusna winangun Kaukus Jawa Barat atawa Kaukus Tatar Sunda. Setia pohara satujuna. Kaukus nu dimaksud teh lain pikeun ngayakeun penetrasi ka pamarentah pusat sangkan ngagulkeun sakabeh kahayang masarakat Jawa Barat, tapi paling copelna bakal mere asupan, tur ngawangun kasapukan ti antara para anggota badan legislatif nu asalna ti daerah pemilihan Jawa Barat.
Aya deuih nu ngelingan sangkan para politisi Sunda teu silih salahkeun, tapi kudu silih geuing. Perlu aya kaderisasi deuih. Engkena rek aktif di mana di manana mah teu jadi masalah. Pek teh teuing rek asup ka partey naon bae ge. Nu penting mah dina dirina aya kasadar yen bajoang keur sarakan atawa ajen inajen kultural Sunda teh lain ukur lalambe.

Kacindekanana

Politisi Sunda geus waktuna nguniang, mere warna kana kahi-rupan politik nasional. Kekecapan "mangga ti payun" atawa "sawios abdi mah di dieu", geus kudu disieuhkeun. Politisi Sunda kudu tandang makalangan.
Perlu aya Kaukus Jawa Barat atawa Kaukus Tatar Sunda, pikeun matotoskeun kasapukan antara politisi Sunda jeung masarakat Sunda minangka konstituenna.
Kaderisasi ge perlu deuih, najan can puguh kudu kumaha prakna. Kudu aya sawala nu leuwih daria keur ngabahas hal eta.
Eta sakabeh lain wae penting keur lokalitas wungkul tapi deuih keur ngajaga kaindonesiaan nu tetep renggenekna dina nagara kesatuan Republik Indonesia.

Nu nulis, panumbu catur matuh sawala PSS
(Dimuat dina Majalah Basa Sunda Cupumanik No. 64 bulan Nopember 2008)
------------------------------------------------------------------------------------------------
Majalah Basa Sunda Cupumanik medal sasasih sakali, kaetang teu awis da sasihan pangaosna mung Rp 12.000,- kitu ge upami ngalanggan satauneun cekap mayar sapuluh sasiheun. Bilih bade ngalanggan tiasa ngintun serat ka Redaksi Cupumanik Jl. Taman Kliningan II No.5 Bandung Tlp 022-7310625 atanapi ngintun email ka yuliantoagung17@yahoo.com atanapi ka kuringmsas@gmail.com

13 November 2008

DUNYA BEUKI PANAS

Ku : MAMAT SASMITA

Rada hese narjamahkeun istilah Global Warming (Indonesia : Pemanasan Global) kana basa Sunda teh, itu ieu asa teu merenah, geura urang tataan : Dunya manasan, Global Manasan, Pamanasan Global, tapi sigana mah anu rada pas teh Dunya Manasan atawa Global Manasan anu hartina kurang leuwih dunya beuki panas
Manasan ceuk Kamus LBSS mah hartina teh “sina beuki panas”, nilik kadinya mah aya unsur ngahaja supaya beuki panas. Tapi eta ge lamun merenah ngalarapkeunana, siga dina kecap manasan atawa manaskeun panci, hartina ngahaja panci keur dipanaskeun, lamun jadi panci manasan bisa bae hartina panci beuki panas. Tah nyoko kadinya nya meureun istilah global warming teh rada luyu lamun ditarjamahkeun jadi global manasan.
Bandung ceuk sawareh aya anu nyebutkeun karasana beuki hareudang bayeungyang komo lamun dina usum halodo. Karasa beuki panas teh lamun dibandingkeun jeung Bandung baheula, jeung Bandung jaman taun limapuluhan, komo lamun dibandingkeun jeung taun-taun samemehna. Ieu aya data sabaraha darjah celcius suhu anu karasa di Bandung taun 1926.
Isuk-isuk meh 6˚C, tengah poe nepi ka tabuh 2 beurang 23˚C, pasosore 24˚C ( Gids van Bandoeng, Reitsma, Vorkink 1927). Puguh we karasa tiris jeung karasa pikabetaheun keur urang Walanda jaman harita, meureun asa aya di nagrina. Kukituna mah teu ngabibisani, Bandung teh iklimna pikabetaheun, eta we bangsa Eropah nu ngamukim di Bandung taun harita nepi ka genep belas rebu jalma, sedengkeun pangeusi Bandung sakabehna ngan ukur saratus opat puluh rebu, hartina nepi ka sabelas persen urang Eropah. Ceuk sababaraha sumber, Bandung teh manasanana ti taun genep puluhan nepi ka taun dalapan puluhan naek rata-rata 0,04 darjaht celcius sedengkeun ti taun dalapan puluhan kadieu kalah ka beuki ningkat antara 0,06 nepi ka 0,08 darjah celcius sataunna. Matak teu aneh lamun kaayeunakeun Bandung beuki bayeungyang. Dibandingkeun jeung mangsa kiwari suhu di Bandung beuki naek, dina bulan Agustus 2007 suhu minimum 19˚C jeung maksimum 29˚C, malah kungsi nepi ka 34,9˚C dina bulan Oktober 2002.
Fenomena beuki panasna kota-kota gede lain ngan sakadar di kota Bandung, tapi karasa di kota sejen, komo deui anu geus biasa karasa panas, kayaning Surabaya, Jakarta atawa Denpasar. Tina sababaraha sumber bacaan memang mangsa kiwari aya nu disebut global warming tea, dunya beuki manasan.
IPCC (Intergovernmental Panel On Climate Change) hiji lembaga antar pamarentahan anu nalungtik iklim global, geus ngembarkeun hasil panalungtikanana taun 2007, anu nyebutkeun naekna suhu di sakuliah dunya geus pikahariwangeun. Dina taun 2100 kahareup bakal naek antara ti 1,4˚C nepi ka 5,8˚C atawa 2,5˚F nepi ka 10,4˚F. Ciri-ciri naekna suhu dunya mangsa kiwari diantarana leyurna es di kutub kidul jeung di kutub kaler. Lamun ningali citra satelit kaayaan es di kutub kaler saperti nu digambarkeun dina Nasional Geographic Indonesia Edisi Khusus Agustus 2008, jelas pisan aya parubahan legana es kusabab leyur jadi cai. Malah Dr H.J.Zwally ahli ilim ti NASA nyieun prediksi taun 2012 es di kutub kaler bakal leyur kabeh. Prediksi anu kacida pikahariwangeunana, lamun enya leyur teh tangtu bakal naek beungeut cai laut, akibatna cai laut di basisir bakal naek. Fenomena alam sejen anu jadi ciri teh kajadian dina bulan Maret 2008, bagian tina gunung es nu aya di kutub kaler nyempal, misahkeun maneh tina gunung es abadi nu utama. Anu nyempal tadi disebutna Wilkins Ice Shelf, legana nepi ka 414 meter pasagi, lamun kira-kira disaruakeun mah legana meh dua kalieun kota Bandung. “Ieu fenomena teh akibat tina global warming” kitu ceuk Ted Scambos ketua panalungtik ti NSIDC (National Snow and Ice Data Centre) Universitas Colorado. Naekna beungeut cai laut bakal karasa pisan di basisir, boh keur pamayang boh keur nu ngamukim di sisi laut. Karasana lain sakadar ningali umpalan cai laut nu beuki deukeut tapi deuih bisa ngabahlakeun kahirupan, geus puguh ari banda pakaya mah kudu disingkirkeun ka tempat nu leuwih luhur. Atuh kitu deui pikeun kota siga Jakarta nu nampeu kana beungeut laut bakal aya arus balik nu bisa jadi bakal banjir saendeng-endeng.
Aya hal sejen nu matak pikahariwangeun ku leyurna es di kutub kaler jeung di kutub kidul nyaeta aya potensi pikeun leupasna gas metan (CH4) anu salila ieu aya dina es abadi. Gas metan disebut salaku kontributor nu ngabahlakeun, leuwih ngabahlakeun batan gas karbondioksida (CO2) salaku gas imah kaca. Anu pamustunganana bakal ngabalukarkeun efek imah kaca, panasna dunya bakal leuwih gancang tina prediksi nu aya.
Fakta sejen akibat tina dunya beuki manasan teh diantarana ayana parobahan iklim atawa cuaca anu karasa ekstrim. Hawa panas nu karasa beuki ngaheab, usum halodo jeung usum ngijih anu beuki teu puguh waktuna. Kitu deui sok kadenge ayana angin puyuh nu ngaruksak nepi ka mindeng kapireng ngaruntuhkeun tatangkalan atawa imah. Geura engke dina usum ngijih nu bakal datang, rada pikapaureun sok gede angin siga dina usum ngijih nu geus kaliwat. Akibat sejen tangtuna bakal karasa kana sakabeh sektor kahirupan, upamana krisis pangan (kadaharan poko) lantaran gagal panen, krisis cai bersih, beuki mahabuna panyakit tropis kayaning malaria, demam berdarah, diare. Sarta bakal ngilesna jutaan spesies tutuwuhan atawa sasatoan nu teu bisa ngadaptasi robahna suhu kalawan ngadadak.

Pangna dunya beuki panas teh ceuk para ahli disababkeun ku aktivitas manusa anu populasina geus kacida reana disagigireun eta ge kuayana kamajuan teknologi nu ngabalukarkeun ayana gas imah kaca (baca: GRK: Gas Rumah Kaca). Kulantaran aktivitas manusa beda beda di unggal nagara, nya GRK nu dihasilkeun ge beda sumberna. Contona di Indonesia, GRK nu dihasilkeun teh kulantaran : kahiji karuksakan leuweung jeung robahna tataguna lahan. Kaduana nyaeta ku ngamangpaatkeun energi fosil (bahan bakar minyak). Katilu kulantaran tatanen, ngurus ingon-ingon jeung kaopatna nyaeta numpukna runtah, boh runtah rumah tangga boh runtah pabrik.

Pikeun ngurangan emisi GRK aya sababaraha usaha nu bisa dilakukeun ku individu atawa ku kulawarga diantarana ulah mindeng teuing ngadahar daging, sabab meakeun daging sakilo sakulawarga eta teh meh sarua jeung sumber daya 15 kg gandum, komo lamun daging nu dibeuli teh daging impor, nu datangna ka urang ngaliwatan transportasi nu tangtuna make bahan bakar minyak. Ulah loba teuing barangdahar hasil olahan pabrik, jeung kadaharan fast food sarua eta ge tangtu make transportasi. Mending meuli hasil olahan lokal atawa masak sorangan. Lamun masak sorangan alusna nu rek diasakan teh disiksikna laleutik, sabab masakna nu laleutik mah bakal make energi nu saeutik, leuwih ngirit. Di imah alusna make lampu nu irit energi, paehan lampu listrik lamun ngarasa teu dipake. TV atawa radio ulah dina posisi standby tapi paehan tina saklarna, sabab posisi standby teh masih keneh nyedot energi listrik. Di kamar pribadi ari ngarasa teu perlu-perlu teuing mah tong make AC, leuwih hade blung blong ku ventilasi, ambih sirkulasi hawa karasa lancar. Atuh lamun keukeuh kudu make AC usahakeun ulah aya panto nu ngablak muka sabab eta teh bakal leuwih loba energi nu dipake. Imah sing loba jandela supaya cahaya ti luar asup leuwih loba, hartina di jero imah teu kudu make lampu listrik lamun ti beurang. Muka kulkas (lomari es) ulah mindeng, sabab sakali muka kulkas nu lilana samenit bakal nyedot energi pikeun malikan deui kana suhu anu asal salila tilu menit. Lamun balanja ka toko tong hayang dibere kantong plastik atawa kantong keresek, alusna mawa kantong sorangan.
Kitu deui lamun iinditan sosoranganan, ulah make mobil pribadi, alusna make mobil umum, komo lamun anu dijugjug teh kaliwatan ku mobil umum, make beus atawa angkot. Lain hartina teu ngahargaan kana privasi tapi sahenteuna sikep wijaksana siga kitu bakal ngurangan kana jumlah emisi GRK. Da behna mah beuki disebut beunghar ku banda pakaya beuki loba mere kontribusi kana emisi GRK, sedengkeun efek imah kaca karasana lain ku dirina wungkul tapi karasa ku sakabeh mahluk nu aya di dunya, ku manusa, tutuwuhan, sasatoan.
Perkara ngababad leuweung nu sangeunahna (ilegal loging), tata guna lahan, pabrik nu teu paduli kana lingkungan keun eta mah da geus aya nu ngatur nyaeta para birokrat. Urang percaya we ka pagawe pamarentah nu boga wewenang pikeun ngijinkeun. Da tangtu pamarentah mah geus masagi dina kaweruhna hal global warming, atuh cenah ngarasa teu pati apal nya tinggal ngageroan we para ahli ti perguruan tinggi, da pamohalan bakal nolak. Nu penting mah aya kasadaran sacara individu, geuning dunya teh keur gering, lamun diantep bakal leuwih parna nu antukna ngabalukarkeun sangsarana anak incu kahareup.


(dikumpulkeun tina sababaraha sumber, dimuat dina Majalah Mangle No. 2193 Nopember 2008)