23 February 2007

"Membaca Naskah Sunda Kuno Sanghyang Siksakandang Karesian" NYANGCARUTKEUN ADALAH.............

oleh : Mamat Sasmita

Membaca naskah kuno (pengertian naskah adalah sebuah karya tulis tangan diatas media daluang, lontar atau media lain) adalah membaca masa lalu atau bisa juga disebut memahami budaya masa itu, masa dimana naskah tersebut dibuat. Memahami budaya pada dasarnya memahami inti dari budaya itu sendiri yang berupa nilai-nilai dan konsep konsep dasar yang memberikan arah bagi bermacam tindakan baik yang dilakukan secara perorangan maupun kolektif.
Tersebutlah sebuah naskah Sunda kuno yang disebut Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), naskah ini tidak diketahui siapa penulisnya, ditulis dalam aksara Sunda kuno, dan menyebutkan tahun penulisannya melalui candra sengkala yang berbunyi nora (0) catur (4) sagara (4) wulan (1), yang berarti tahun 1440 Saka atau 1518 M. Naskah ini ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran.
Pada dasarnya isi naskah ini memberikan gambaran tentang ajaran moral umum untuk kehidupan masyarakat pada masa itu.
Sejaman dengan SKK, Tome Pires orang Portugis yang mengunjungi Pajajaran antara tahun 1513-1515 menyebutkan keadaan di Pajajaran sudah ramai, rumah rumah yang kokoh bertiang kayu beratap rumbia. Masih menurut Tome Pires Pajajaran mempunyai enam pelabuhan (bandar) yaitu Bantan (Banten), Pomdam (Pontang), Cheguide (Cikande), Tangaram (Tangerang), Calapa (Kalapa) dan Chemano (Cimanuk) pelabuhan yang paling timur. Perdagangan telah maju, kain, hasil pertanian, rempah-rempah dan lain-lain, begitupun persentuhan antar budaya telah terjadi akibat perdagangan di pelabuhan pelabuhan tersebut yang didatangi oleh berbagai bangsa.

Keadaan Pajajaran yang digambarkan demikian itu, tentu saja memerlukan tuntunan barupa aturan aturan yang harus diketahui dan dipatuhi oleh warganya, aturan aturan tersebut diantaranya dimuat didalam SSK mulai dari yang sederhana sampai aturan aturan hubungan antar warga, walaupun aturan aturan itu lebih bersifat keagamaan.
Aturan sederhana misalnya :”..bila kita pulang ke kota, jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah di ujung bagian yang tidak berumput, agar tidak tercium oleh menak dan gusti” dibagian lain dituliskan cara buang air besar harus tujuh langkah dari pinggir jalan, dan apabila buang air kecil harus tiga langkah dari pinggir jalan. Nampaknya saat itu belum dikenal adanya pacilingan (toilet), atau masyarakat saat itu tidak mempedulikan kebersihan, membuang hajat besar maupun hajat kecil dilakukan dengan sembarangan sehingga aturannya dianggap perlu dimuat didalam SSK, supaya menjadi pedoman bagi masyarakat banyak.
Yang agak mengherankan adanya kalimat “ jaga rang nemu jalan, gede beet, bangat dicangcut dipangadwa sugan urang pajeueung deung gusti deung mantri” yang artinya “kalau kita menemukan jalan besar atau kecil, segeralah bercangcut dan berpakaian sebab mungkin kita berpapasan (berpandangan) dengan gusti atau mantri”. Cangcut atau cawat berarti kain untuk menutupi aurat yang dipakai dengan cara dibelitkan ke selangkangan dan dililitkan ke pinggang, sedangkan pangadwa adalah pakaian yang terdiri dari dua bagian, layaknya celana dan baju. Mungkinkah saat itu ada kebiasaan rakyat biasa selama berada di hutan atau di sekitar rumah dan diperkirakan tidak akan bertemu orang lain, tidak memakai pakaian, tidak memakai cangcut dan tidak memakai pangadwa.
Padahal disisi lain SSK juga memuat tentang nama nama jenis kain yang telah ada masa itu seperti kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris dan lain-lain. Artinya saat itu telah berkembang pembuatan kain dan bentuk gambar hiasannya. Bisa jadi kain merupakan barang mahal (mewah) sehingga tidak setiap rakyat mempunyainya.

Hal lain yaitu tentang perselingkuhan atau perbuatan tak senonoh telah juga dimuat “…Baga-purusa ulah dipake kancoleh kenana dora bancana na lunas papa naraka, hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti baga lawan purusa” yang artinya “ baga (kemaluan perempuan) purusa (kemaluan laki-laki) jangan dipakai berjinah, karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka, namun bila baga purusa terpelihara, kita memperoleh keutamaan dari baga dan purusa”.
Peringatan ini tentunya masih relevan dengan keadaan saat sekarang dimana perselingkuhan atau sek bebas (tanpa ikatan pernikahan) sedang menggejala tidak saja dikalangan anak muda juga pada tataran orang yang pantas disebut orang tua.

Bagitupun dengan kritik di dalam SSK disebutkan “ kalau ada yang mencela (mengeritik) kepada kita, terimalah kritik orang lain itu, yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita sedang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian, ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit bagaikan datang orang meminyaki, ibarat kita sedang lapar bagaikan datang yang memberi nasi, ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantarkan minuman”
Keterbukaan dan bagaimana menyikapi atas sebuah kritik telah ditulis sejak masa lalu, oleh leluhur orang Sunda, sikap jembar manah (berbesar hati) sangat diperlukan saat menerima kritik, jadi sangat tidak beralasan apabila ada orang Sunda yang dikritik bersikap seperti orang kebakaran jenggot, tentu saja kritik yang diperlukan adalah kritik yang beralasan dan tidak bersifat mencaci maki.

Korupsi di Jawa Barat (Tatar Sunda) menurut dugaan beberapa orang masih marak malah ada yang menyebutkan Jawa Barat adalah provinsi nomor satu paling korup.
Kata korupsi diadopsi dari bahasa Belanda yaitu corruptie yang artinya perbuatan tidak jujur. Didalam kamus bahasa Sunda LBSS (Lembaga Basa Jeung Sastra Sunda) terdapat kata entri kata korupsi yang dieja koreupsi yang artinya kecurangan dalam menjalankan tugas mengatur keuangan milik negara, perusahaan, untuk menguntungkan diri pribadi atau golongan.
Didalam SSK ada istilah nyangcarutkeun (menghianati), yang dimaksud nyangcarutkeun adalah mipit mo amit (memetik tanpa izin), ngala mo menta (mengambil tanpa meminta), ngajuput mo sadu (memungut tanpa memberi tahu), maka nguni tu tumumpu, maling, ngetal, ngabegal sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngaranna ( demikian pula merampas, mencuri, merampok, menodong, segala macam perbuatan hianat, ya menghianati orang lain namanya).
Sikap hianat seperti yang tercermin didalam kata nyangcarutkeun tiada bedanya dengan korupsi saat sekarang, sama mempunyai arti tidak jujur dalam kehidupan sehari hari dan akan sangat merugikan kepentingan umum.
Peringatan akan perbuatan tidak baik, curang, tidak jujur, hianat telah diberikan oleh kebudayaan masa lalu, oleh kearifan lokal, sangat relevan dengan kehidupan saat sekarang untuk dikaji ulang untuk menyelaraskan dengan tuntunan tersebut. Jangan sampai kita berpendidikan tapi tanpa kehormatan, berilmu tapi tanpa kemanusiaan, beribadah tapi tanpa keihklasan. Demikianlah sebagian kecil yang dibaca dari naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian.

Mamat Sasmita
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda di Bandung

"SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN" KRITIK KORUPTOR

MEMBACA naskah kuno (pengertian naskah adalah sebuah karya tulis tangan di atas media daluang, lontar, atau media lain) adalah membaca masa lalu atau bisa juga disebut memahami budaya masa itu, yakni masa ketika naskah tersebut dibuat. Memahami budaya pada dasarnya memahami inti dari budaya itu sendiri yang berupa nilai-nilai dan konsep konsep dasar yang memberikan arah bagi bermacam tindakan, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kolektif.
Tersebutlah sebuah naskah Sunda kuno yang disebut Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK). Naskah ini tidak diketahui siapa penulisnya, ditulis dalam aksara Sunda kuno, dan menyebutkan tahun penulisannya melalui candra sengkala yang berbunyi nora (0) catur (4) sagara (4) wulan (1), yang berarti tahun 1440 Saka (1518 M). Naskah ini ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Pada dasarnya, isi naskah ini memberikan gambaran tentang ajaran moral umum untuk kehidupan masyarakat pada masa itu.
Sezaman dengan SSK, Tome Pires, orang Portugis yang mengunjungi Pajajaran antara tahun 1513-1515 menyebutkan, keadaan di Pajajaran sudah ramai, rumah-rumah yang kokoh bertiang kayu beratap rumbia. Menurutnya juga, Pajajaran mempunyai enam pelabuhan (bandar) yaitu Bantan (Banten), Pomdam (Pontang), Cheguide (Cikande), Tangaram (Tangerang), Calapa (Kalapa) dan Chemano (Cimanuk), pelabuhan yang paling timur. Perdagangan telah maju, berupa komiditas kain, hasil pertanian, rempah-rempah, dan lain-lain. Begitu pun persentuhan antarbudaya telah terjadi akibat perdagangan di pelabuhan pelabuhan tersebut didatangi oleh berbagai bangsa.
Keadaan Pajajaran demikian, tentu saja memerlukan tuntunan barupa aturan-aturan yang harus diketahui dan dipatuhi oleh warganya, yang di antaranya dimuat di dalam SSK. Mulai dari yang sederhana sampai aturan hubungan antarwarga, walaupun aturan itu lebih bersifat keagamaan.
Aturan sederhana misalnya: "...bila kita pulang ke kota, jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah di ujung bagian yang tidak berumput, agar tidak tercium oleh menak dan gusti". Di bagian lain dituliskan cara buang air besar harus tujuh langkah dari pinggir jalan, dan apabila buang air kecil harus tiga langkah dari pinggir jalan. Nampaknya, saat itu belum dikenal adanya pacilingan (toilet), atau masyarakat saat itu tidak memedulikan kebersihan, membuang hajat besar maupun hajat kecil dilakukan dengan sembarangan sehingga aturannya dianggap perlu dimuat di dalam SSK, supaya menjadi pedoman bagi masyarakat banyak.
Hal lain yaitu tentang kritik. Di dalam SSK disebutkan, "kalau ada yang mencela (mengkritik) kepada kita, terimalah kritik orang lain itu, yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita sedang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian, ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit bagaikan datang orang meminyaki, ibarat kita sedang lapar bagaikan datang orang yang memberi nasi, ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantarkan minuman."
Keterbukaan dan penyikapan atas sebuah kritik telah ditulis sejak masa lalu oleh leluhur orang Sunda. Sikap jembar manah (berbesar hati) sangat diperlukan saat menerima kritik. Jadi, sangat tidak beralasan apabila ada orang Sunda yang dikritik bersikap seperti orang kebakaran jenggot, tentu saja kritik yang diperlukan adalah kritik yang beralasan dan tidak bersifat mencaci maki.
Korupsi di Jawa Barat (Tatar Sunda), menurut dugaan beberapa orang, masih marak. Malah ada yang menyebutkan Jawa Barat adalah provinsi nomor satu paling korup.
Di dalam SSK ada istilah nyangcarutkeun (mengkhianati). Yang dimaksud nyangcarutkeun adalah mipit mo amit (memetik tanpa izin), ngala mo menta (mengambil tanpa meminta), ngajuput mo sadu (memungut tanpa memberi tahu), maka nguni tu tumumpu, maling, ngetal, ngabegal sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngaranna .
Peringatan akan perbuatan tidak baik, curang, khianat telah diberikan kebudayaan masa lalu, oleh kearifan lokal, dan relevan dengan kehidupan sekarang. Demikianlah sebagian kecil petikan yang dibaca dari naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian.***
Mamat Sasmita, pengelola toko buku Kaseundeuhan, matsasmita@telkom.net.

(Tulisan ini dimuat pada koran PR tgl 22 Pebruari 2007 pada Suplemen Kampus di rubrik Literasi
atau bisa diakses di :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/22/kampus/literasi.htm)
Tulisan ini mengalami editing dari Redaksi, tulisan aslinya bisa dibaca yang berjudul Nyangcarutkeun adalah....

08 February 2007

CARPON

 CARPON SEJEN : 1  2  3  4  5  6  7  8  9 10 11 12 13 14                

SILANG SIGEU              English Version
Ku : Mamat Sasmita



2003
Poe Minggu ngajak ulin budak ka toko buku, dumeh budak teh ti kamari ngaeh bae hayang buku catetan nu leutik nu kelirna kayas, teuing keur naon, da ditanya teh ukur nyebut keur catetan, atuh ku kuring diayunkeun kahayangna sakalian kuring ge rek neangan buku sejena.
Budak teh jigrah pisan, atuh basa di toko buku budak teh taralang tereleng kaditu kadieu kuring we nu rada kawalahan kudu nutur-nutur jeung mukaan buku bukuna anu ditunjuk, geuning behna mah lain ngan sakadar neangan buku catetan , tapi kalah neangan buku buku bacaan sejena, padahal mah macana ge can pati lancar.
Keur anteng ningalian buku buku, digigireun aya nu ngajanteng, awewe tengah tuwuh, ceuk rarasaan eta awewe teh ret deui ret deui ka palebah kuring, teuing ngahaja ningali ka kuring teuing ngan ukur rarasaan wungkul.
Teu kungsi lila aya nu nepak kana taktak…” Silang…?!”
Sajongjongan kuring ukur ngabigeu, bari panon mah mureleng ka eta awewe nu nepak kana taktak.
Dina hate nginget nginget deui kecap Silang, teu karasa kuring nembalan ..” Sigeu…?”.
Manehna seuri terus ngasongkeun leungeun,…kuring kumejot dina hate mah hayang ngagabrug manehna, tapi asa teu werat lamun kudu kitu teh, atuh kapan manehna teh awewe jeung apan aya ditempat anu rame, jeung ongkoh deuih aya budak nu keur colohok ningali ka kuring.
Enya disebut tengah tuwuh teh asa merenah pisan, buukna geus culcel huis, tapi dangdananana mah matak hookeun keur awewe saumurna mah, geura we buuk sok sanajan geus culcel huis tapi ari modena mah kaayeunakeun, enya ari make cindung mah tapi da ieu mah lain jilbab, ngan saukur disampaykeun, malah mimindengna mah eta cindungna teh nyampay we dina taktak, bajuna gombrang, make pantalon, kewes asa ningali dangdanan Indira Gandhi.
Sasalaman teh rada lila jeung terus silih keukeuweuk, …”Keur naon didieu…?” ceuk manehna, kuring seuri bari ngajawab..” Nya neangan buku atuh ma enya neangan emih kocok didieu…”, manehna nyeuleukeuteuk, enya can poho kuring ge kabeukina kana emih kocok.
“Jeung saha..?!”..ceuk manehna deui.
“Jeung budak….!”
“Incu ieu teh….?”
Kuring teu pati ngawaro kana pananyana, kalah hayoh nitah budak supaya nyolongkrong munjungan “…Tuh salim heula ka Ua..”
“Nu bungsu ieu teh,…boga sabaraha budak teh,..mana indungna..!”
“Indungna mah di imah we, da tadi diajak teh mugen, majarkeun loba seuseuheun..!”
Kuring jeung manehna uplek ngobrol bari nutur nutur bujur budak milihan buku.
Beres babayar, kuring, budak jeung manehna, kaluar ti toko buku, enyaan manehna ngajak nyimpang ka tempat dahar anu ngajual emih kocok.
“ Can robah kabeuki teh..!?” ceuk kuring..
Manehna ukur mesem.
Kuring rarat reret ningalian kana balanjaan manehna…”Meuli buku naon tadi..?”
“Teu meuli buku uing mah, meuli ieu we cet minyak…!”
“Euh…geuning jadi pelukis..?”
Manehna seuri ngaheuheu, “Lain,…ieu mah pesenan incu..!”
Resep ningali manehna ngadahar emih kocok anu cikruh nyuruputna atuh teu kaliwat seuhahna.
“Na geus boga sabaraha incu teh..?”
“Geus gede,…geus di SMP, lain ari ieu budak teh nu bungsu..?”
“Keur ayeuna mah nya cikal nya bungsu, da kakara hiji..!”
“Geuning ku irit..!?”
“Lain irit,….da nyieun mah geus ti bareto mula, ngan jadina nya kakara ieu.,…Geu,…kuring kawin teh meh geus dua puluh tilu taun, kosongna meh tujuh belasan taun, ayeuna ieu budak umurna tujuh taun jalan..!”
“Mintul meureun..!”
“Ah duka teuing, sakieu ge Alhamdulillah geus dipercaya boga budak..!”
Ari budak nu diomongkeun mah anteng we ngahenggoy emih kocok.
“Geu…ari didinya boga budak sabaraha…?”
“Wah budak mah loba ngan anu bener mah ngan tilu, malah geus boga incu ti anu bungsu…!”
“Geuning….na aya budak nu teu bener…!”
“Lain budak teu bener maksud teh budak asuhan, nya sasieureun sabeunyeureun ngilu mantuan barudak jalanan sina sarakola….!”
“Euhh…mulya kacida atuh…!”
Rada lila paheneng heneng. Kuring ngahenggoy emih kocok, sakali sakali mangnyusutkeun leungeun budak ku kertas tisu, da leungeuna baseuh, atuh manehna ge tonggoy kana mangkok emih kocok.
“Lang ari eta buuk teh disemir, asa angger bae siga kitu…?!”
“Alhamdulillah henteu, ieu mah asli atuh, teu wanoh kana ngaran semir buuk…!”
“Eta we asa angger keneh siga baheula, da kuring ge apal teh eta pedah ningali model buuk didinya, moal poho da kungsi nenget nenget ti palebah tukang…!”
“Ari uing mah enyaan kalinglap Geu ka didinya teh, mun seug didinya teu nanya tiheula, kuring mah moal apal..da eta geuning awak teh asa beuki meber…!”
Manehna ngaheuheu seuri.
“Sakieu mah awak teh geus rada ngorotan da opat taun kaliwat mah leuwih beurat, awak leuwih meber, awewe mah kakolotnakeun teh beuki beunghar, beunghar ku beurat awak…!”

Ngobrol di warung emih kocok teh teu lila, da budak noelan bae ngajak balik, sonona mah kacida jeung manehna teh, sanggeus silih bere nomer telepon jeung serelek (serat elektronik, email tea), terus papisah, manehna ngangkleung kana taksi, ari kuring jeung budak mah kana angkot we.

Peutingna mukaan email, muka email ti peuting teh aya sababaraha maksud, kahiji, ngoprek komputer teu kaganggu ku budak, kadua sugan we atuh bakal leuwih cepet da ari peuting mah kapan ngaranna ge peuting euweuh deui batur nu make, katiluna sugan we mayar telepona rada murah.
Serelek teh ngaburudul loba pisan pangpangna mah ti milis urangsunda, eta we da bulan september 2003 nepi ka opat rebuna sabulan teh, jeung geuning aya serelek ti panyeumpxxx@yahoo.com ke ti saha ieu da anyar teu boga babaturan siga kitu, sanggeus dibuka geuning ti Sigeu.
Ku kuring ngahaja di print, dicitak sangkan tumaninah macana, komo mun bari lalangkarakan.

From : panyeumpxxx@yahoo.com
To : heuxxx@hotmail.com
Sent : 13 Okt 2003 22.43
Subject : Inget baheula.

Lang…, ilaing nyaho teu, nulis ieu email teh uing bari bulucun, tadi kira kira jam dalapan peuting uing taranjang hareupeun eunteung satangtung, buuk teu disisiran, atuh beungeut ge teu dipoles ku wedak estu sahinasna, uing neuteup awak sorangan.
Lir keur maca kajujuran, unggal gurat dina awak mawa lacak tapak baheula, ti luhur tina unggal lambar buuk nepi ka tungtung kuku indung suku ting baranyay laku lampah nu inget ti jaman keur budak nepi ka ayeuna, lir pilem nu puter balik, aya nu gagancangan aya nu kacida launa, nepi ka tembres kalakuan ti bubuk leutikna nepi ka nu pangbadagna, kalan kalan kuring seuri, nyeungseurikeun kalakuan sorangan, teuing seuri naon ngarana bisa jadi seuri maur.
Palebah beuteung naha jadi ngabendeleh kieu, ting berehil tapi lain sepir, palebah pingping nu baheula luis teh ayeuna geus ledis, geus euweuh tapakna, nu aya nampuyakna daging nu teu puguh ujud.
Naha uing boga hak ngarasa era pedah awak siga kieu.. atawa naha uing kudu ngewa ka awak sorangan pedah ramijud, dina wujud identitas naon atuh ari uing..?
Loba sora nu ngomong ti ditu ti dieu majarkeun uing begang majarkeun uing gendut, naha bet nu ditempo teh ngan ukur wujudna wungkul, naha pedah urang teh keur dikepung ku deudeuleuan dina televisi, dina koran, majalah, gambar sisi jalan, dina tas, dina dompet ngan ukur awak, beungeut, naha ngan eta anu pang sohehna keur hiji identitas, jeung deui naha pedah uing awewe kalan-kalan sok aya nu ngan ukur ngadeukeutan pedah uing awewe, ngan ukur dijadikeun objek.
Meunang pan lamun uing ngabandingkeun awak jeung mangsa baheula keur meujeuhna ngora (lain, lain kuring haying ngora saumur-umur), keur jaman loba nu ngudag ngudag boh jajaka boh duda, malah aya nu pangkatna jendral. Uing wenang milih, nu jago karate awakna lempay ngalampanyat, atletis, ngeusi, nu pendek beke tapi mobilna dua weuteuh, nu kakara lulus kuliah, nu boga hotel, nu boga villa di Puncak.
Teuing kunaon maranehna ngudag ngudag, da uing tara tatanya, da sigana lamun bareng indit jeung uing, maranehna siga nu kacida bagjana, siga nu ngagondeng widadari meureun, saha nu teu nyaho ka si Non sakota kabupaten mah, si Non nu boga Mercy dina taun harita, awewe geulis ngora keneh sukses usaha.
Ningali awak dina eunteung, nahanya make jorojoy hayang difoto, difoto keur bulucun, hayang ngabandingkeun jeung awak jaman keur ngora, ngan hanjakal teu boga foto jaman keur budak bari bulucun aya ge foto keur umur tilu taun teu make baju, asana mah karek anggeus mandi difoto ku Bapa Almarhum, eta ge bari gegerewekan da embung mandi, dipaksa ku Mamah, ari ku Bapa kalah hayeuh dioconan, kitu dongeng Mamah, da ari kuring mah tong boro inget, ningali fotona ge teu beda we jeung ningali foto sejena jaman keur leutik.
Kulit beuteung ieu, nu kungsi luis, nu kungsi jadi paneuteup lalaki, waktu kuring ngojay di Hotel tilu puluh taun kaliwat, kulit beuteung ieu nu kungsi mendeyang reuneuh, kulit beuteung ieu kungsi….salingkuh.

Lang….ilaing nyaho teu, waktu uing nelepon ka ilaing, supaya ilaing datang ka Hotel, basa urang rek papisah tea, naon pangna uing ngajak papanggih di Hotel..di kamar 26, enya inget keneh da ngahaja neangan kamar nomer 26 teh ambih sarua jeung umur uing harita, sabenerna lain kamarna aya puluhan, tapi di lantai 2 kamar nomer 6.
Ilaing keketrok kana panto, terus uluk salam…”Assalamualaikum..!”, uing harita hareugeueuen, naha kudu dijawab atawa ngan ukur mukakeun panto, uing nyaho lamun aya salam wajib dijawab, ngan asana geus lila tara ngucapkeun salam siga kitu, harita uing ngan ukur mukakeun panto.
Terus ilaing culang cileung neangan korsi keur diuk, nu terusna mah ilaing diuk dina kasur, enya kapan kamar hotel teh leutik, aya eta ge korsi mah tapi harita dieusian ku tas uing, jeung sababaraha buku, buku buku carita silat Cina.
Malah harita ge uing keur ngeukeuweuk buku nu judulna Telaga Darah, geuning ilaing nyerengeh bari ngomong…”Kahade buku eta mah eusina porno…”
Uing teu nembalan harita teh, da enya buku teh porno pas keur dibaca teh anu kituna pisan, puguh we rada era, terus buku teh dialungkeun, asana uing terus nyician cai herang kana gelas disodorkeun ka ilaing.
Lila ngobrol teh pan meh nepi ka jam dua welas peuting, ilaing terus amitan balik, sabenerna mah ku uing teh rek diajak mondok, rek diajak sare sagebrug
Teuing kunaon, uing ge da teu nyaho, ujug ujug jorojoy we aya niat kitu, teuing pedah uing geus lila rarandaan, dina hate uing teh rek mere kenangan ka ilaing atawa….teuing ah uing ge teu ngarti.
Tapi niat kitu teh teu werat diomongkeun, da ilaing hayeuh we ngajak ngobrol soal sajak-sajak jeung carita pondok nu kungsi ku uing dibacakeun waktu siaran, ari rek make tingkah provokatif hate teh asa teu merean, malah dina hate ngagerentes yen ilaing teh lalaki nu teu surti kahayang awwewe.
Sanggeus ilaing mulang, uing cunggelik sorangan, maca buku jadi teu nafsu, harita uing ceurik…henteu ari ceurik gagauran mah ngan ukur rambay cimata, ceurik pedah kunaon uing ge teu nyaho, ngan dina hate asa aya nu ngagerihan

Serelek ti Sigeu panjang ngagebay, ka beh handapna eusina loba ngadadarkeun pangalaman dirina, dina panungtungan serelekna manehna nulis :

Uing teh ayeuna geus loba incu, ti anu bungsu kakara borojol minggu kamari, awewe, lucu geulis. orok beureum keneh roroesan jeung ceurik, uing ge tangtu kitu, kungsi jadi orok beureum.
Lang…sabebenrna mah kabeh anak jeung incu ge eta anak tere, jeung incu tere, da uing mah teu kungsi boga budak, eta teh kabeh ge anak Si Jendral almarhum, ngan pedah ku uing kabeh budakna diurus, lantaran indungna meunang musibah waktu ngalahirkeun anu bungsu.
Geus ah urang geus tunduh rek sare heula, …sono euy hayang ngobrol deui siga baheula.

Kasubuhnakeun kuring nulis email jawaban keur Sigeu :

To : panyeumpxxx@yahoo.com
From : heuxxx@hotmail.com
Sent : 13 Okt 2003 22.43
Subject : Re:Inget baheula.

Geu….geus dikonci pantona..?
Alusna mah samemeh bulucun teh dikonci heula pantona, bisi ujug ujug aya ucing jalu asup kapan matak wegah akibatna, ucing jalu tea atuh sok kumahkar…eh nu kumahkar mah hayam rek ngendognya…., ucing jalu mah bisi ngarontok, nyakar, kapan aya sayang beurit lin...?!.
(heureuy ah…)
Mun teu salah aya nu kungsi nulis majarkeun “awak teh panjara” teuing panjara naon, aya oge anu nyebut awak teh mesin hasrat jeung aya oge nu nyebut diri……bae lah uing mah moal pipilueun ah kana palebah awak mah, da uing ge ayeuna kieu buktina, teuing boga awak teh naha goreng naha alus, nu leuwih penting mah asal sehat, kapan ceuk paribasa ge banda tatalang raga, raga tatalang nyawa.
Geu….nyaho teu…(nurutan didinya..), samemeh nulis ieu serelek teh uing ngambah heula dina internet, neangan gambar awewe nu umurna lima puluh genep taun bari.…bulucun…! na ari burudul teh geuning loba pisan nya…malah aya nu geus umurna dalapan puluh taun sagala….ambuing eta sayang beurit dina kelekna…..geus huisan…..!
Kabina bina nya, bet aya nu daek nembongkeun awak bari bulucun dina umur anu sakitu geus cueutna, enyaan dina internet mah sagala ge aya, abong kena disebut dunya maya, dunya virtual, dunya kabebasan anu alus saalus-alusna aya, nu goreng sagoreng-gorengna aya.

(Hampura Geu nya…uing geus nyipta nyipta awak didinya…ah teu jauh ti model nu ieu lah…..he he…aya huisan…bari kuring nelek-nelek hiji gambar awewe nu geus kolot nu keur bulucun..!!)

Samemeh poe kamari, kuring sakapeung sok ngawawaas jaman baheula, da anu kaimpleng teh hih…angger we didinya teh awewe geulis, ngora, lincah jeung pinter, implengan teh kakara robah poe kamari saprak panggih tea, enya asa ngagebeg geuning geus kolotnya umur teh, urang teu panggih teh aya kana tilu puluh tauna, lain waktu nu sakeudeung tah., urang teh geus jadi aki-aki jeung nini-nini. ( Geu…ari incu nyebutna naon…Nini, Ene, Eyang atawa Oma…ah ma enya nyebut Oma, kapan Oma mah tina basa Walanda lin..?)
Uing mah bulucun teh lamun keur mandi we, eta ge tara nelek-nelek awak sorangan, gebrus we mandi, lantaran lamun ditelek telek sok manggih nu matak kukurayeun (moal dijentrekeun naon nu matak kukurayeun teh bisi disebut buntut Oa…)
Geus ah, lila lila mah bisi jadi cawokah, sarua sono Geu…!

Si Belang tea.

Ti sanggeus ngirim serelek harita, pleng teu nampa deui serelek ti manehna,

1972

Unggal malem Saptu bari lalangkarakan di tempat indekos, bari ngareureuhkeun kacape, sok mindeng ngadengekeun radio, sok ngahaja neangan sora penyiar awewe, nya manggih sora awewe harita teh keur maca hiji sajak, sanggeus beres macana terus ngagalantang nyarita eusina eta sajak, sajak nu dibawakeun teh lolobana sajak rumaja nu idek liher dina dunya cinta.
Hiji waktu kuring ngawanikeun maneh nelepon ka penyiarna, nyaritakeun sajak nu kungsi dibacakeun ku manehna, kuring nelepon teh lain waktu manehna keur ngajomantara, nya nelepon kitu we atuh sakalian kuring ngawanohkeun diri bari nyebutkeun hayang papanggih, hayang kenalan.
Nya ti harita kuring wawawuhan jeung manehna, kuring nanya manehna, nanya ngaran nu sabenerna, manehna teh teu ngajawab kalawan saerewelena atuh kuring ge teu mere ngaran nu benerna, lantaran mimiti panggih teh kuirng make kaos belang manehna ngageroan kuring Si Belang, teuing meureun asa kurang merenah tungtungna lamun ngageroan teh nyebut Silang, atuh kuring ge ngageroan ka manehna teh Si Geulis sok terus disebut Sigeu.
Geulis, enya da geulis atuh manehna teh geura we awak jangkung ukur beda tilu senti jeung kuring ge, awak ngeusi disebut begang henteu, disebut montok henteu, donto meureun babasaanana teh, ari beuebeungeutan rada rada siga bentang pilem , sahanya poho deui ngaranna, ngan ieu mah beungeut Sunda, geulis Sunda.
Mun aya nu nyebut Silang ka kuring pasti manehna, kiru deui lamun nyebut Sigeu bisa dipastikeun kuring nyebut manehna.
Dina ngabasakeun teh sok teu puguh sakapeung kuring, uing, didinya, ilaing kalan-kalan ana jeung ente, sok sanajan umur kuring leuwih ngora, manehna teu nganggap dirina leuwih kolot anu kudu dihormat. Umur kuring 23 taun ari manehna geus nincak 26 taun.
Lila wawawuhan teh, sataun leuwih,
Papisah soteh pedah kuring kudu miang ka luar jawa, pindah dines, nya peuting harita kuring nepungan manehna di kamar 26 di hiji hotel, keur kenang-kenangan manehna mere pulpen, ceuk manehna “Mun nulis surat keur uing kudu make pulpen ieu, mun teu make pulpen ieu mah uing moal ngabales…”.
Dikangaranan pulpen, kakara ge sababaraha poe ge geus leungit, teuing kamana, atuh kuring nulis surat ka manehna make pulpen sejen, enyaan lebeng euweuh balesan.

2004

Kuring narima deui serelek ti manehna eusina teu panjang “….Lang uing rek jarah, rek munggah haji, do’akeun nya,…..jeung hampura bisi aya dosa boh nu karasa boh nu teu karasa, ari ente geus ka haji..?, mun encan mah sok we kukumpul keur ongksona ti ayeuna,…..eh uing ge ongkosna lain meunang kukumpul tapi pamere ti anak tere nu panggedena…”

Kuring maca serelekna teh sababaraha balikan, ….dina hate ngucap sukur jeung ngadoakeun sangkan inyana salamet, jeung jadi hajjah anu mabrurroh.
Teuing tah lamun geus balik ti Mekah, naha make tiung wungkul atawa ganti jadi make jilbab, atawa naha bakal eureun buukna make semir.
Serelek ti manehna ku kuring teu dibales, angkanan teh engke we satutas manehna munggah haji rek manggihan, rek didatangan, bari jeung rek aya nu ditanyakeun sabab dina serelekna nyebutkeun kungsi ngandeg, tapi dina serelek eta keneh nyebutkeun teu boga budak.

Cilengkrang Desember 2004.

(Di muat dina majalah Cupumanik No.39 Oktober 2006)

07 February 2007

SAJAK

KEUR UMI DI BANDUNG

Umi…!
Geuning umur Abah teh poe ieu geus nambahan
Mun diitung ku ramo leungeun jumlahna leuwih ti lima kalieun
Sigana geus manjing reureuh tina pakeukueh keukeuh
Isuk mah urang pakeukeup keukeup
Diharudum ku simbut haneut

Geura pek tah dengekeun
Keteg jajantung Abah
Itung hiji hiji sing taliti
Ray poe ray poe beuki ngerepan

Umi..!, geus kolot Abah teh.
Isuk mah urang buka lalangse hate
Dipelakan ku kembang ligar
Dipisieup ku kadeudeuh

Umi..!
Poe ieu Abah hayang diusapan.

Surabaya Mei 2003
Mapag milangkala nu ka 52

SAJAK

DI SUATU PAGI UNTUK ANAKKU.
untuk anakku pada ulang tahun ke-4

Hari ini kuberikan tatapan cinta, ketika kau masih tidur lelap
Tak ketinggalan kecupan dan harapan
Ketika kau bangun nanti tariklah nafas dalam dalam,
rasakan ada hidup ditubuhmu
Berikan senyum pada ibu dan waktu,
rasakan ada ruang ditubuhmu dan ada ruang disekitarrmu.
Jangan dulu ucapkan apa apa sebelum tahu dirimu ada
Melangkahlah.
Tatap daun dan embunnya
Tatap langit dan awannya
Tatap jalan dan tanahnya
Elus ayam kecil kesayanganmu
Peluk ibumu
Bermainlah, ada matahari di timur sana.

Surabaya 20 Maret 2003
Mamat Sasmita

06 February 2007

ALAMAT Rumah Baca Buku Sunda


Mamat Sasmita
Perumahan Margawangi
JL. Margawangi VII No. 5
Margacinta Bandung.
Tlp 022-7511914 email : kuringmsas@gmail.com

05 February 2007

"Ngageuing" Melalui Humor Sunda

Oleh : Mamat Sasmita *)

Ternyata kata humor itu mempunyai dua arti yaitu cairan atau zat setengah cair dalam tubuh dan kemampuan merasai sesuatu yang lucu atau yang menyenangkan,itu menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),tentu yang dibahas disini bukan tentang cairan tubuh, tetapi yang lucu itu, sedangkan dalam kamus bahasa Sunda kata humor tidak ada, ada padanan yang hampir sama artinya yaitu kata heureuy, artinya banyol, kelakuan yang bisa menyenangkan baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Katanya humor yang baik adalah humor setelah kita dibikin tertawa, kita juga disuruh berpikir merenungkan isi kandungan humornya dan diakhiri dengan mawas diri (Achdiat K Mihardja 1982).
Ada yang berpendapat orang Sunda suka humor, apabila orang Sunda kumpul atau bergerombol maka disana akan terdengar riuh rendah ketawa, karena disana sedang terjadi heureuy itu, sedang terjadi “kegembiraan”. Hidup penuh toleransi, darehdeh someah hade ka semah, raut muka lebih banyak tersenyum daripada ketus, begitupun tidak pernah berbuat semena-mena, berbuat tega terhadap orang lain, tapi cukup dengan tertawa dan menertawakan, apabila terdesak dilanjutkan dengan menertawakan ketololan diri sendiri (Utuy T Sontani 1957).
Tokoh humor dalam cerita yang paling terkenal di masyarakat Sunda ialah Si Kabayan, tokoh ini telah menjadi kekayaan batin orang Sunda, telah menjadi folklore yang disayangi orang Sunda. Si Kabayan sering digambarkan sebagai orang bodoh, tetapi saat itu pula tampak kepintarannya, jadi ada sifat paradok dalam diri Si Kabayan, malah bisa jadi ada sifat dualisme primordial.
Apabila digambarkan bodoh, akan nampak sangat bodoh seperti dalam cerita Si Kabayan Ngala Tutut (Si Kabayan Mencari Siput Sawah), dianggapnya sawah itu sangat dalam karena langitpun kelihatan dalam beningnya air sawah, setelah dia tahu sawah itu dangkal dia ngomong “ Eeel da deet “ (Eh kok dangkal), maka diapun terpingkal menertawakan dirinya sendiri. Lain lagi dalam cerita Si Kabayan Ngadeupaan Lincar (Si Kabayan Mengukur Panjang Papan Rumah), karena merasa tidak diundang tetangganya yang hajatan, maka dia bertelanjang dada mengukur lingkar papan rumah yang berdekatan dengan yang hajatan, maka yang punya hajat menegur “Kabayan kok kelakuanmu kayak anak kecil saja..”, maka si Kabayan spontan menjawab “Kalau dianggap orang tua ya tentu diundang dong….”.
Tokoh lain ialah Ki Lengser (ada yang menyebut Mama Lengser, Mamang Lengser, Ua Lengser) dalam pantun, cerita tutur Sunda. Sebutan Lengser itu sendiri bukan nama tetapi kedudukan dalam keraton kerajaan dalam cerita pantun itu.
Penggambaran tokoh Ki Lengser ini relatip sama dalam setiap cerita pantun yaitu orang yang telah berusia tua, kelucuan lebih sering digambarkan karena kepandaian juru pantun dalam bertutur menceritakan tingkah laku, berdandan, cara jalan ataupu ucapan-ucapannya (Ajip Rosidi 1984). Ki Lengser berfungsi sebagai medium yang arif antara dunia raja-raja dan dunia jelata, bagaimana caranya dia menyampaikan titah raja kepada rakyatnya, begitupun bisa sebaliknya menceritakan keadaan rakyat yang sebenarnya kepada raja, baik keadaan rakyat yang sengsara ataupun saat bahagia, tanpa ditambah atau dikurangi.
Ada tokoh lain lagi yaitu Si Cepot atau Astrajingga dalam dunia wayang golek Sunda, dalam pagelaran wayang golek kemunculan Si Cepot sering ditunggu-tunggu oleh para penonton karena bobodorannya yang dapat menyegarkan suasana.
Si Cepot mempunyai watak tersendiri sering cepat menyatakan sanggup, suka omong besar, mau menang sendiri, agak cunihin (kelakuan yang iseng ketika berhadapan dengan perempuan) dan cilimit (kelakuan yang selalu ingin merasakan setiap makanan atau kekayaan orang lain), walaupun demekian Si Cepot terkenal berani mengorbankan diri untuk membela kebenaran, setia dan banyak akal (Ajip Rosidi,1984)
Antara Ki Lengser dan Si Cepot sama sama abdi (punakawan) raja, berbeda dengan Si Kabayan yang mewakili rakyat yang lugu, keinginannya tidak berlebihan yang menjadi acuan dasarnya adalah kejujuran, bila dilihat ada penyimpangan Si Kabayan hanya tertawa, justru disanalah akan muncul guyonannya.
Humor Sunda hampir tidak pernah menertawakan kelemahan orang lain, tetapi lebih ditujukan sebagai otokritik, mentertawakan kelemahan dirinya sendiri. Dalam bahasa Sunda ada kata ngageuing dan ngageuhgeuykeun, dua-duanya mengandung unsur kritik. Ngageuing berarti menasehati supaya orang sadar akan ketidakbaikan atau ketidakbenaran dirinya sehingga bisa berubah, sedangkan ngageuhgeuykeun menasehati dengan berbaju humor bisa berbentuk sindiran atau bentuk lain sehingga ketidakbaikan atau ketidakbenaran menjadi ketawaan orang tertmasuk orang yang disindir itu sendiri menjadi tertawa (Achdiat K Mihardja 1982).
Dalam era pergaulan antar bangsa dan antar etnis yang rumit seperti sekarang ini, mungkin saja kedalaman humor Sunda tidak bisa ditangkap seutuhnya terutama oleh orang non Sunda, malah malah bisa menjadi bumerang karena dianggap orang Sunda itu selalu tertawa dan dianggap tidak pernah bisa daria (sungguh-sungguh) termasuk didalam pekerjaan. Nah.

*) Pensiunan TELKOM, penggiat Rumah Baca Buku Sunda, tinggal di Bandung.
(Dimuat di Kompas Jabar Jumat 10 Maret 2006)

Kenapa dibawa Tuan Snouck....?

Oleh : MAMAT SASMITA

Orientalis, adalah orang yang mempelajari dan mengetahui dengan mendalam tentang budaya timur, salah seorang yang cukup terkenal ialah Prof.Dr. C Snouck Hurgronje. Dia pernah tinggal di Mekah dengan mengaku sebagai muslim dan namanya sempat diganti dengan Abdul Ghaffar, juga sempat tinggal di Tatar Sunda dan di Aceh.
Tulisan ini bukan untuk mengulas tentang ke-orientalis-annya, tetapi tentang kolektor Naskah Sunda, pengertian naskah adalah hasil karya tulis tangan pada media berupa daun, bilah bambu atau pada kertas daluang yang ditulisi dengan cara gores biasanya memakai pisau pangot dan bila diatas kertas daluang memakai kalam dan tinta.

Keberadaan naskah Sunda pada awal abad ke 20 cukup banyak bisa berjumlah ribuan, sekarang tersimpan di Musium Nasional, Musium-musium di Jawa Barat, perorangan dan di Negri Belanda.
Berbekal buku Naskah Sunda Inventarisasi dan Pencatatan (Edi S Ekajati dkk,1988), mencoba menghitung naskah asal koleksi Snouck Hurgronje yang ada di negri Belanda didapat sebanyak 371 naskah dari 785 naskah, atau 47%. Mencengangkan. Salah satu koleksinya adalah naskah Siksa Kandang Karesiyan dengan nomor kode LOr.8450 (LOr, Lieden Oriental Department), huruf Sunda kuno, bahasa Sunda kuno.
Untuk mendapatkan naskah-naskah tersebut bisa saja Snouck Hurgronje dengan cara membeli atau diberi langsung oleh yang punya, bukan hal yang tidak mungkin, karena selama berada di Tatar Sunda sangat dekat dengan para menak, pemegang kekuasaan saat itu, termasuk dengan para penghulu, para pemuka agama.
Malah sempat menikahi gadis Sunda dua kali masing-masing dengan anaknya penghulu dan dari masing-masing istrinya mempunyai keturunan, langkah ini ada yang menyebut sebagai metode participatory observer, larut dengan masyarakat yang sedang ditelitinya.
Pernikahannya dengan gadis Sunda yang pertama yaitu dengan Sangkana anaknya Haji Muhammad Ta’ib, penghulu besar Ciamis pada tahun 1889, Sangkana meninggal setelah keguguran anaknya yang kelima. Pernikahan yang kedua dengan Siti Sadiah anaknya Haji Muhammad Sueb atau yang terkenal dengan sebutan Kalipah Apo di Bandung pada tahun 1898. Snouck Hurgronje pulang ke negri Belanda pada saat anaknya dari Siti Sadiah berumur 18 bulan, tentu sambil memboyong naskah koleksinya, dan tidak pernah kembali ke Indonesia. Setelah di Belandapun masih tetap mendapat kiriman naskah dari teman-teman karibnya dari Tatar Sunda. Snouck Hurgronje meninggal pada tahun 1936, sebelum meninggal menulis surat wasiat yang tidak boleh dibuka selama 100 tahun setelah kematiannya, surat wasiat tersebut sampai kini masih tersimpan di KITLV, institute kerajaan Belanda tentang kajian geografi,bahasa dan antropolgi. Kelak tahun 2036 surat wasiat tersebut baru boleh dibuka, mungkin saja akan menyingkap banyak rahasia.

Kolektor naskah Sunda lainnya disamping Snouck Hurgronje adalah KF Holle, juragan perkebunan teh Waspada di Cikajang Garut pada tahun 1856, jumlah naskah koleksinya kurang lebih 168. Naskah-naskah tersebut tidak dibawa ke negri Belanda, tetapi tetap berada di Indonesia dan sekarang tersimpan di Musium Nasional Jakarta. Salah satu koleksinya ialah Carita Perang Cina di Purwakarta, nomor kode SD.108 (SD, Sunda) huruf Sunda dan Latin, bahasa Sunda.
KF Holle sangat pasih berbahasa Sunda, oleh orang Garut waktu itu disebutnya Tuan Hola. Dia yang menganjurkan para menak Sunda yang melek huruf agar menulis cerita dalam bahasa Sunda, R.Haji Muhamad Musa penghulu Garut saat itu yang paling produktif menerima anjuran Holle, karyanya yang paling terkenal adalah Wawacan Panji Wulung. KF Holle meninggal dunia pada tahun 1896 dalam usia 67 tahun dan dimakamkan di Tanah Abang Jakarta, tahun 1899 di alun-alun kota Garut dibangun monumen Holle untuk memperingati jasanya, pada saat Jepang masuk ke Garut monumen tersebut dihancurkan.

Sebetulnya masih banyak kolektor naskah Sunda yang lainnya yang berasal dari Belanda diantaranya CM Pleyte, JLA Brandes, Th Pigeaud dan lainnya.
Saat sekarang menemukan naskah Sunda sudah sangat susah, jangankan berupa naskah berupa buku bahasa Sunda terbitan tahun 1950an pun sudah susah. Menurut informasi dari para pedagang buku lama, para pemburu buku bahasa Sunda lama semakin banyak, bukan saja oleh orang Sunda sendiri tetapi juga oleh orang asing, oleh orang dari luar negri. Kalau berita ini memang benar, cukup menggembirakan karena buku-buku lama bahasa Sunda dibaca lagi, kearifan local diungkap lagi, barangkali ini berkah era reformasi, era otonomi daerah.

Snouck Hurgronje telah “menyelamatkan” naskah-naskah Sunda yang begitu banyak untuk disimpan di negri Belanda, karena apabila tetap berada di yang empunya bisa jadi tidak pernah dibaca untuk dipelajari, jangan-jangan malah akan dijadikan tutungkusan, dijadikan benda keramat. Tapi, alangkah jauhnya kalau ingin melihat atau meneliti naskah Sunda oleh orang Sunda dari Tatar Sunda. Mudah-mudahan saja salah satu isi dari surat wasiat Tuan yang akan dibuka tahun 2036 nanti adalah mengembalikan naskah-naskah Sunda ke Tatar Sunda.

Mamat Sasmita
Pensiunan TELKOM, Penggiat Rumah Baca Buku Sunda.
(Dimuat di Koran Kompas Jabar hari Kamis tanggal 6 April 2006)

04 February 2007

KOLEKSI RUMAH BACA BUKU SUNDA


Koleksi buku tertua adalah buku Kamus Bahasa Sunda – Inggris karya Jonathan Rigg terbit tahun 1862, dengan ukuran buku kira kira 25 x 21 cm, 540 halaman.
Buku lainnya yang berbahasa Sunda meliputi buku buku Novel, Kumpulan Cerita Pendek, Sajak, Bacaan Anak-anak, Cerita Pantun, Sejarah, Roman Pop, Musik, Tokoh dan lain lain.
Sedangkan koleksi buku yang berbahasa Indonesia, Belanda, Inggris tetapi tetap mengenai Sunda diantaranya Gambaran Kosmologi Sunda, Priangan karya De Han, Tembang Sunda Wim van Zanten, J.Kunst Music in Java.
Secara keseluruhan jumlah koleksi buku mulai dari yang tebal sampai yang tipis dari majalah sampai buku kurang lebih 4.500 buku.

Buku Cetak (dan) Bahasa Sunda

Oleh : Mamat Sasmita *)


Michael Hart menempatkan Tsai Lun dari China (awal abad 2 ) pada posisi nomor tujuh dari seratus orang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, jasa Tsai Lun adalah orang yang dianggap pertama kali membuat kertas. Sedangkan Johann Gutenberg dari Jerman (abad 15) yang membuat atau penemu mesin cetak berada pada posisi ke delapan.
Pada saat Tsai Lun hidup, di Tatar Sunda ada Aki Tirem juga disebut Sang Aki Luhur Mulya seorang tokoh yang disebut sebut dalam Naskah Wangsakerta sebagai leluhur raja-raja Sunda, sedangkan sejaman dengan Gutenberg adalah Niskala Wastu Kancana yang tercatat salah seorang raja Sunda adiknya Dyah Pitaloka yang gugur di Bubat.

Didalam rentang waktu dari abad ke 2 sampai abad ke 19 kebudayaan tulis baca di belahan benua lain sudah demikian jauh melesat maju, di Tatar Sunda pun tulis baca sudah ada seperti Prasasti Ciaruteun ( diperkirakan abad ke 5). Sejak jaman Tarumanagara sampai jaman kerajaan Sunda dan Galuh terdapat 23 prasasti, 7 buah prasasti jaman Tarumanagara dan 16 prasasti jaman kerajaan Sunda dan Galuh (Edi S Ekajati, 2005).
Disamping prasasti, tulisan pada batu atau pada logam atau pada kayu, ada juga naskah, karya tulis tangan pada media daun, bambu dan daluang, yang ditulisi dengan cara gores biasanya memakai pisau pangot atau apabila diatas daluang ditulis dengan kalam dan tinta. Tinta yang terkenal di Tatar Sunda yaitu tinta gentur, nama gentur diambil dari nama kampung Gentur Desa Jambudipa Warungkondang Cianjur, pembuatan tinta ini memakai bahan baku jelaga dan beras ketan yang disangan sampai gosong. Sedangkan kertas daluang dibuat dari kulit pohon saeh (broussonetia papyrifera vent), keahlian membuat daluang ini masih berlangsung sampai sekarang dengan hasil yang sangat baik.
Naskah hasil karya masyarakat Sunda cukup banyak, bisa disebut ribuan tersebar mulai di Musium Nasional, perorangan hingga di negri Belanda, diantaranya naskah Siksa Kandang Karesian (1518) yang memuat tentang norma, aturan dan nilai social budaya untuk masyarakat Sunda pada waktu itu.

Kalau Gutenberg memperkenalkan mesin cetak pada abad ke 15, nampaknya kesadaran akan buku hasil cetak pada masyarakat Sunda, baru pada abad ke 19, ditandai dengan dicetaknya buku berbahasa Sunda yang berjudul Kitab Pangajaran Basa Sunda dengan huruf latin pada tahun 1850 (Mikihiro Moriyama, 2003), hampir empat ratus tahun tertinggal sejak diperkenalkannya mesin cetak oleh Gutenberg.
Sejak itulah sampai sekarang telah banyak buku buku Sunda dicetak, diterbitkan, dalam ragam bentuk, mulai dari buku, majalah, koran, begitupun isinya bukan hanya pengajaran bahasa Sunda tetapi atlas (geografi), ilmu pertanian, kesehatan dan sastra, termasuk bacaan anak-anak.

Yang menarik antara tahun 1960 kira kira sampai tahun 1975 sempat terbit buku buku roman pop bahasa Sunda seperti Neng Elah, Si Buntung Jago Tutugan dan puluhan judul lainnya. Keberadaan buku ini sempat sangat populer diantara para pendengar radio, karena ceritanya hampir setiap sore dibanyak studia radio di Bandung dibacakan didepan corong radio,dengan format hampir sama yaitu dongeng enteng pasosore (dongeng ringan sore-sore).
Rasanya belum pernah ada pengamat buku bahasa Sunda yang mengkhususkan mengadakaan penelitian tentang roman pop Sunda sampai sejauh mana pengaruhnya terhadap penggunaan bahasa Sunda di masyarakat. Masyarakat Sunda umumnya masih sangat mengenal buku buku seperti Neng Elah, Si Buntung Jago Tutugan itu dibanding dengan buku bahasa Sunda yang mendapat predikat karya sastra.

Apabila dihitung-hitung usia buku cetak bahasa Sunda baru seratus lima puluh enam tahun sejak buku bahasa Sunda terbit pertama (1850) sampai sekarang, usia yang masih relatif muda untuk sebuah kesadaran budaya.
Akhir-akhir ini ada anggapan bahwa bahasa Sunda sedang ditinggalkan oleh orang Sunda, sehingga bisa saja menjadi salah satu bahasa daerah, bahasa ibu, yang sedang antri menuju ke kematiannya. Walaupun ada anggapan bahwa gejala itu hanya di kota, karena kehidupan di pilemburan sehari-harinya tetap memakai bahasa Sunda, tidak pernah terpikirkan untuk merobahnya dengan bahasa yang lain, sekalipun dengan bahasa Indonesia.
Kalau saja benar bahwa bahasa Sunda sedang antri menuju ke kematiannya, alangkah pendek waktu mekarnya atau bisa saja disebut layu mati muda, usaha untuk mempertahankannya sudah ada baik secara peorangan, organisasi swadaya maupun pemerintah daerah.
Peraturan Pemerintah Daerah (Perda) Jawa Barat No.6 tahun 1996 yang diperbaharui dengan Perda Jawa Barat No 5 Tahun 2003 yang intinya bahwa bahasa Sunda, Cirebon dan Melayu Betawi perlu dipelihara, perda yang lain yaitu No.6 dan No. 7 tentang pemeliharaan kesenian dan arkeologi.
Tetapi perda ya tetap tulisan tanpa makna yang tersimpan rapi kalau tidak jelas implementasinya.
Kalau ingin tahu tentang orang Sunda, baik bahasanya, humornya, teriakannya, gembiranya maupun kesalnya tontonlah Persib dan bercampur-baurlah dengan para bobotoh. Persib satu-satunya ikon Sunda yang masih ada. Hidup Persib…!!.


*) Pensiunan TELKOM, penggiat rumah baca buku Sunda, tinggal di Bandung

(Sudah dimuat di Kompas Jabar Senin Tgl 20 Maret 2006)

03 February 2007

Jirangan : Mateakeun...............

Ku : Mamat Sasmita *)

Basa teh ciciren bangsa, ieu kacapangan geus jadi sabiwir hiji, diaku benerna ku sarerea. Kitu deui basa Sunda, ciciren ayana bangsa Sunda, Urang Sunda. Basa Sunda tangtu produk budaya Sunda anu dinamis, anu kudu bisa ngigelan jaman.
Lamun urang nitenan basa Sunda anu aya dina prasasti, contona dina prasasti Kawali I, eta teh ngagunakeun basa Sunda (kuna), kitu deui tulisan tulisan dina buku atawa naskah anu dijieun pertengahan abad ka 19, dibandingkeun jeung basa Sunda kiwari aya bedana, tah eta pisan anu disebut dinamis teh, hartina aya parobahan luyu jeung mangsana.

Geura urang cutat sagemblengna tina prasasti Kawali I :

“Nihan tapa Kawali nu siya mulia tanpa bhagya perebu raja Wastu mangadeg di kuta Kawali nu mahayuna kadatuan Sura Wisesa nu marigi sakuliling dayeuh nu najur sagala desa. Aya ma nu pa(n)deuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana”

Lamun di-Sunda-keun kana basa Sunda kiwari mah kira-kira kieu unina :

“Ieu nu tapa di Kawali teh nyaeta tapana nu mulya lir dewa, Gusti nu bagja, raja Wastu nu ngereh di kota Kawali, nu parantos mapaes karaton Sura Wisesa, nu ngadamel kakalen sakuriling dayeuh, nu nyantosaan sakuliah wewengkon.
Muga-muga kapayunna aya (para raja) nu kersa midamel kasaean, sangkan punjul di sajagat” (Drs R.Ma’mun Atmamiharja, 1958).

Eta parobahan basa Sunda teh tangtu jadi ciciren ayana kamajuan dina makena basa Sunda ku urang Sunda, disaluyukeun jeung kamajuan jamanna anu sok sanajan bisa bae ku ayana pangaruh basa deungeun, saperti kecap nihan kapan geus tara dipake tapi diganti ku ieu, kieu (Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda abad 11-18, Elis Suryani saparakanca, 2001).

Teu dipakena hiji kecap tangtu aya alesan-alesan anu tumuwuh di panyatur eta basa, contona kecap reueuy dina basa Sunda. Harti reueuy teh cai papagan kulit tangkal salam nu sok dipake nyelep heurap atawa kecrik supaya jadi beureum sarta kuat, sedengkeun heurap atawa kecrik biasana dijieun tina tali kulit tutuwuhan tuluy dirara, atawa tina kanteh gintiran.
Sigana kecap reueuy ge lila lila mah bakal teu dipake kulantaran heurap jeung kecrik dina mangsa kiwari dijieunna geus lain tina tali kanteh atawa tali tina kulit tutuwuhan anu dirara tapi tina kenur, kenur tea atuh teu kudu dicelep ku reueuy.
Kitu deui kecap kecap sejenna, kayaning etem, alat keur dibuat ngala pare, pare mangsa kiwari pararendek dibuatna cukup ku arit, delan arang langka kadenge da nu dipakena tarasi, sajalon (beungkeutan eurih nu dempet ku bebekan awi pikeun hateup), sacaeng , sacangi jste.

Parandene kitu, jul-jol deui kecap kecap anu boga harti anyar turta dipake deui, kecap jirangan upamana, tarjamahan tina basa Inggris “session”, aya nu ngusulkeun session ditarjamahkeun jadi alas mangsa atawa rintakan, keun kira-kira mana anu bakal payu, anu bakal loba dipake, nu puguh mah kecap jirangan mindeng dipake dina salah sahiji acara televisi di Bandung.
Kecap sejen kayaning mateakeun anu saharti jeung “pemberdayaan”, pamarekan anu hartina “pendekatan” atawa “approach”, kasang tukang keur “latar belakang”, sawala keur “diskusi”
Kecap-kecap saperti kieu aya alusna dieuyeuban, ditambahan keur ngabeungharan basa Sunda, sangkan luyu jeung pamenta jaman.

Mangsa kiwari nu kasebut jaman globalisasi, kecap globalisasi geus jadi mitis dunya, unggal bangsa dimana bae siga anu disirep ku kecap globalisasi, sakabehna hayang ngilu proses globalisasi. Kaayaan siga kitu sabenerna mah dimimitian ku alat anu disebut “komputer”, kaajaiban akhir abad ka 20, nu bakal leuwih mahabu dina abad ka 21 ayeuna, kusabab komputer geus jadi otak jeung tulang tonggong keur Tehnologi Informasi (MT Zen,2001).
Basa Sunda anu dipiharep sangkan langgeng dipake saendeng-endeng ku urang Sunda, tangtu kudu bisa ngawadahan kamajuan teknologi, basa Sunda lain ngan sakadar aya dina sastra atawa ngan sakadar aya dina panggung kasenian.
Istilah istilah teknologi informasi anu kacida ceuyahna, asana teu salah salah teuing lamun dimimitian ti ayeuna dijieun istilahna dina basa Sunda, naha rek sagemblengna dikana basa Sunda-keun atawa ngan sakadar nyutat siga basa aslina. Upamana kecap enter dina “keyboard” (papan konci?) komputer, jadi geblus, atawa rek tetep we enter, da ucapanana teu hese-hese teuing keur letah Sunda. Apanan korsi, alat paranti diuk anu aya sukuan jeung aya panyarandean, oge geus diaku jadi basa Sunda nu sabenerna mah asalna tina basa deungeun nyaeta tina basa Arab (aya oge anu nyebutkeun asalna tina basa Portugis).
Kitu deui istilah-istilah dina dunya internet, “search engine” bisa bae ditarjamahkeun jadi juru susud, “surfing” jadi ngambah atawa lalayaran, “download” jadi ngunjal cokot, “upload” jadi ngunjal kirim, “email” jadi serelek (serat elektronik) kumaha mun “attachment” naha bisa disebut arsip nangkod..?
Mangga, wilujeng lebet kana jirangan mateakeun juru susud ngambah reueuy…!!



*) Pangsiunan TELKOM, nu ngokolakeun Rumah Baca Buku Sunda, nganjrek di Bandung

Catetan : Tos dikirim ka Koran Sunda tgl 3 April 2006
Dimuat dina Koran Sunda dinten Rebo kaping 5 April 2006 kaca 10 (judulna diganti ku Koran Sunda jadi : “Jirangan”, “Reueuy” Nasib Andika )

"Korupsi" dina Basa Sunda

Ku : Mamat Sasmita

Dina kamus Sunda-Inggris karya Jonathan Rigg anu diterbitkeun dina taun 1862 kecap korupsi teu kapanggih, kitu deui dina kamus basa Sunda-Melayu karya R.Satjadibrata anu terbit dina taun 1944 jeung dina kamus Sunda-Sunda Satjadibrata anu terbit taun 1948 kecap korupsi teu kapanggih. Dina kamus basa Walanda-Sunda beunang S.Coolsma anu terbit dina taun 1910, kecap korupsi dina basa Walanda ge teu aya, sigana Coolsma ngahaja teu ngaseupkeun kecap korupsi kulantaran euweuh pisundaeunana.

Dina mangsa kiwari kecap korupsi teh geus diaku jadi basa Sunda, hal nu jadi tandana nyaeta mindeng asup kana media citak basa Sunda, malah kapan Majalah Cupumanik mah kungsi nulis ngeunaan korupsi, kecap korupsi dipake sagemblengna.
Anu jadi tanda sejenna kecap korupsi geus diaku jadi basa Sunda nyaeta geus asup kana kamus basa Sunda dina Kamus Sunda-Sunda LBSS (Lembaga Basa Sastra Sunda) ngan diejahna koreupsi, kamus ieu mimiti terbit taun 1975. Buku kamus Sunda-Sunda LBSS geus mindo citak anu ka tujuh panungtungan dicitak taun 1992, kecap korupsi tetep diejah koreupsi.
Hartina koreupsi ceuk kamus Sunda-Sunda LBSS nyaeta : koreupsi (tina basa Walanda); kacurangan dina ngajalankeun papancen nguruskeun duit atawa milik nagara atawa milik pausahaan jste, pikeun nguntungkeun diri pribadi atawa golonganana.
Buku kamus sejen anu ngasupkeun kecap korupsi nyaeta buku Sundanese-English Dictionary yasana RR Hardjadibrata anu terbit taun 2003, dicutat sagemblengna : korupsi noun (Dutch), corruption; ngorupsi, commit corruption with something, misappropriate something, (eg public property etc).

Diakuna hiji kecap basa asing kana basa daerah (Sunda) aya sababaraha alesan diantarana euweuh sasaruanana dina basa daerah sedengkeun eta kecap basa asing teh mindeng dipake jeung hartina geus dipikawanoh ku masayarakatna. Ana kitu kecap korupsi ge geus kacida dipikawanohna ku urang Sunda, bisa bae dipikawanohna teh alatan mindeng kajadian ayana korupsi atawa ngan sakadar hiji berita anu pantes dikanyahokeun ku masyarakat Sunda, bisa bae kajadian korupsi-na mah di luar tatar Sunda. Tapi sigana mah korupsi ge kungsi jeung eukeur mahabu di tatar Sunda, malah kungsi aya anggapan korupsi di Jawa Barat kaasup kadua panggedena (ilikan dina www.google.com , entry korupsi jawa barat )

Mukaan kamus basa Sunda bakal kapanggih kecap basilat, hartina basilat ceuk sababaraha kamus :
Kamus Sunda-Sunda Satjadibrata : neangan kauntungan nu ngarugikeun ka batur.
Kamus Sunda-Sunda LBSS : licik, curang, teu jujur; lampah basilat, lampah curang ngarugikeun batur upama nipu, koreupsi.
Kamus Sunda-Inggris RR Hardjadibrata : (adj) sly, corrupt, dishonest, deceiful, act deceitfully, distort the fact, corrupt practices.
Dua kamus nyebutkeun basilat teh sarua jeung korupsi.
Kecap basilat mangsa kiwari arang langka digunakeun ku media masa basa Sunda boh media citak boh media elektronik, hal ieu teh bisa bae kulantaran hartina kurang dipikawanoh, eleh populer ku kecap korupsi.
Hanjakal kecap basilat dina kamus Sunda-Inggris Jonathan Rigg teu kapanggih, sigana kecap basilat harita can aya atawa memang kecap anyar anu asalna tina basa deungeun, hal ieu bisa dibandingkeun jeung katerangan dina kamus Sunda-Melayu Satjadibrata anu nyebutkeun kecap basilat asalna tina kecap bersilat basa Melayu, diilikan harti bersilat tina kecap asal silat dina kamus eta keneh kapanggih : silat ; basilat (bandingkeun bersilat Melayu) lancung (kepada orang ). Tapi lamun ngilikan dina Kamus Besar Bahasa Indonesia hartina silat nyaeta olahraga ketangkasan menyerang dan membela diri, aya anu kira kira bakal saharti nyeta bersilat kata (lidah) nu kira kira pihartieunana debat, ngadu kapinteran silih tempas.

Kecap sejen kayaning ceceremed, cocorokot, maling, madog, maok, ngabangsat, curaling, nipu, ngarah ngarinah hartina mah kapan eta-eta keneh, ari curaling, nipu, ngarah ngarinah leuwih condong kana kalakuan teu jujur.
Rampog, begal, bajo mah teu kudu diasupkeun lantaran eta mah sanajan hartina ampir sarua maling maling keneh tapi bari jeung aya unsur maksa mirusa, dilakukan kalawan terang-terangan jeung dilakukeun biasana ku jalma leuwih ti saurang.
Nilik lobana kana kecap basa Sunda anu hartina maling, bisa bae disebut, eta teh kabeungharan basa Sunda atawa boa boa bakating ku loba kajadian pulang paling jaman karuhun baheula nya kecap basa Sunda nu hartina maling ge jadi loba atawa sabalikna karuhun baheula teh geus wacis jeung mere tangara supaya urang Sunda ulah ngalakukeun hal hal kalakuana anu goreng patut, lobana kecap teh sangkan jadi bebenteng diri tina kalakuan goreng patut eta.

Lamun urang nyaksian boh gambar dina media citak atawa ningali dina televisi, anu dituduh korupsi teh sok katingali perlente, make sapatu make dasi, terpelajar, leucir, boga pangkat, pinter, boga nomer induk kepegawaian, capetang pertentang, teu eraan. Kacida patojaiahna jeung anu katewak dituduh maling, beungeut kusut, tara nyisiran, make sendal capit, make kaos buntung, calana belel, ngomong ge siga nu embung kaciri beungeut.
Sigana anu jadi sabab nyaeta kecap korupsi mah asalna tina basa asing, basa deungeun, anu hartina ngan sakadar apal dina biwir, teu nyerep kana hate, jadi ngarasa henteu salah, beda deui lamun disebut maling, maok, sabab maling jeung maok mah kecap anu geus kaharti kalawan nyerep kana hate.
Ana kitu ganti we atuh kecap korupsi teh ku kecap maling, sugan we korupsi teh jadi ngurangan.


Mamat Sasmita
Pangsiunan pagawe Telkom, nu ngokolakeun Rumah Baca Buku Sunda
(Artikel ieu dimuat dina Majalah Cupumanik No.43 Pebruari 2007)